webnovel

Berkekalanlah Dalam Menyebut Allah dan Mengingatnya

 Apabila dalam Kalam Hikmah yang lalu ditekankan bahwasanya amal ibadah kita baru yakin diterima Allah s.w.t. apabila amal ibadah itu baik dan bagus, yakni tidak ada padanya riya', 'ujub dan lain-lain di samping hati kita selalu beserta Allah s.w.t. pada setiap mengerjakannya dan terhindar pula dari segala waswas iblis dan syaitan.

Untuk mencapai yang demikian itu, jalannya tidak gampang, tetapi kita harus berusaha dengan tekun agar jalan untuk itu dapat kita lalui dengan sebaik-baiknya. Karena itu maka yang mulia AlImam Ibnu Athaillah Askandary telah merumuskannya dalam KalamHikmah beliau yang ke-47, sebagai berikut:

"Jangan anda tinggalkan zikir (menyebut atau mengingat Allah), karena tidak hadir (hati) anda serta Allah dalam zikir itu. Karena bahwasanya kelalaian anda daripada mengingatNya lebih berat dari kelalaian anda pada ada mengingatNya. Mudah-mudahan Allah Ta'ala akan mengangkat anda dari zikir di samping ada kelalaian kepada zikir di mana. hatinya jaga (tidak lalai lagi). Dan mudah-mudahan Allah Ta'ala akan mengangkat anda dari zikir yang beserta kehadiran Allah dalam hati kepada zikir di mana lenyap selain Allah. Dan itu semua tidaklah sukar bagi Allah s.w.t."

Terjemahan Kalam Hikmah ini sulit kita fahami, apabila kita tidak dapat merasakan istilah-istilah Tauhid dan Tasawuf di samping rahasia bahasa Arab yang begitu sulit dan dalam. Untuk mengetahui pengertian Kalam Hikmah ini, baiklah kita uraikan sebagai berikut: 

I. Menurut para ulama Islam dalam Ilmu Syariat dan Hakikat, bahwa jalan yang paling dekat kepada Allah s.w.t., ialah zikir. Artinya hendaklah kita selalu mengingat Allah dan sifat-sifatNya, apakah hati kita beserta dengan lidah kita pada mengingatNya, ataukah hati kita tidak beserta lidah kita, tetapi jangan tinggalkan zikir dan teruslah dalam berzikir, sebab lidah pada lahirnya dapat kita kuasai, tetapi kekuasaan mutlak pada hati kita adalah dari Allah s.w.t. lnilah tujuan Hadis yang diriwayatkan oleh Termidzi, lbnu Majah, Ibnu Hibban dan Al-Hakim dari Abdullah bin Bisyr r. a.

"Bahwasanya seorang laki-laki telah berkata (bertanya): Wahai Rasulullah! Bahwasanya syariat-syariat Islam sungguh telah banyak atasku, maka khabarkanlah oleh Tuan kepadaku sesuatu di mana aku dapat bergantung dengannya. Nabi menjawab: Senantiasalah lidahmu basah pada menyebut Allah."

Maksud Hadis ini ialah, bahwa menyebut nama Allah dan sifat-sifatNya dapat dijadikan pegangan amal yang pasti diterima Allah, di samping Allah juga akan memberikan kurniaNya pada kita, semoga dengan selalu menyebut namaNya dan sifat-sifatNya kita akan terus dekat kepadaNya. Karena itulah dalam satu Hadis Rasulullah s.w.t. telah bersabda:

"Perbanyaklah menyebut Allah sehingga orang-orang berkata (bahwa kamu itu) orang gila." 

Maksudnya supaya dalam setiap waktu dan keadaan kita berzikir dan menyebut nama Allah. Jangan kita tinggalkan zikir itu karena hati kita tidak sejalan dengan lidah kita, sebab tidak berzikir sama sekali adalah lebih jelek daripada berzikir tetapi hati kita lalai. Tegasnya, lebih baik lidah kita menyebut nama Allah, meskipun hati kita terbang ke mana-mana daripada tidak menyebut Allah dan sifatsifatNya, di samping hati kita juga tidak mengingat Tuhan sama sekali. Keadaan ini disebabkan tiga unsur:

[a] Bahwasanya menyebut nama Allah dalam arti yang luas, berarti kita masih menghadap Allah daripada tidak menyebut nama Allah dan hati kita pun lalai pula pada mengingatiNya.

[b] Bahwa dalam menyebut nama Allah dalam arti yang luas adalah menghiasi tubuh kita dengan ibadah, meskipun hati kita terbang dan tidak sejalan dengan lidah kita. Hal keadaan ini lebih baik daripada kebalikannya, yaitu tidak menyebut nama Allah dan lalai pula hati kita pada mengingatiNya.

[c] Bahwa menyebut nama Allah dalam arti yang luas, berarti mendatang-kan jalan-jalan rahmatNya supaya kita diangkat olehNya dari derajat yang rendah kepada derajat yang tinggi, tetapi apabila tidak menyebut namaNya dan lalai pula dari mengingatiNya adalah menghampakan jalan datangnya rahmat atas kita.

Orang yang ada akal kepalanya akan berfikir, bahwa menghadap Allah dan berhadapan denganNya, meskipun sedikit dan tidak banyak adalah lebih baik daripada tidak ada sama sekali. Walhasil, menyebut Allah dengan lidah meskipun tidak sejalan dengan hati, termasuk rahmat dan nikmat Allah pada kita, dan itu sudah merupakan taufiqNya atas kita.

II. Faedah menyebut nama Allah, apakah lidah kita sejalan dengan hati kita atau tidak, ialah supaya kita sampai pada titik penghabisan di mana seluruh hati dan perasaan kita bulat sebulat-bulatnya pada mengingati Allah s.w.t. Untuk mencapai titik tujuan ini, pada umumnya kita selaku hamba Allah apabila tekun dalam taat dan ibadat maka kita harus menjalani tingkatan-tingkatan dan derajatderajat sebagai berikut:

[a] Allah s.w.t. dengan izinNya dan kehendakNya akan mengangkat kita daripada status hati yang lalai kepada status hati yang bangun. Yakni apabila kita selalu berzikir dengan tidak bosan-bosannya, meskipun hati kita banyak lalai dalam mengingatiNya, Insya Allah s.w.t., kita akan diangkat olehNya pada suatu waktu sebagai hambaNya yang lidahnya menyebut" nama Allah dan hatinya pula sejalan dengan lidahnya. Apabila hati kita dan lidah kita sudah sejalan pada satu arah, yaitu mengingat Allah s.w.t. berarti kita sudah naik kelas dari kelas satu ke kelas dua, yakni kelas di mana lidah kita berzikir, tetapi hati kita lalai dan kosong, kepada kelas di mana lidah kita berzikir dan diikuti oleh hati kita.

[b] Apabila kita terus beramal seperti di atas, maka Allah s.w.t. dengan izinNya dan kurniaNya akan menaikkan kita dari maqam kedua ke maqam ketiga, yakni dari standard menyebut nama Allah s.w.t. di samping diikuti oleh hati kita, kepada standard menyebut nama Allah sedangkan Allah telah ada dalam hati kita, yakni Allah s.w.t. selalu melihat kita, baik ketika kita berzikir atau lain-lain, yakni segala perbuatan dan tindak-tanduk kita dilihat oleh Allah s.w.t. Dan inilah yang dimaksud dengan istilah AL-MURAQABAH bagi ahli tasawuf. Apabila kita telah sampai pada maqam ketiga ini, maka pengertian zikir itu telah melengket dalam hati kita, di mana kita tidak dapat lagi melupakan Allah, baik ketika menjalankan perintah dan anjuranNya maupun ketika menjauhi laranganNya. Ketika itu zikir dalam hati sudah lebih baik dan lebih afdhal daripada zikir lisan, yakni menyebut nama Allah dengan lidah kita pada standard pertama dan kedua.

[c] Apabila kita selalu istiqamah, yakni tetap dan tekun dalam beramal sesuai dengan izin Allah pada kita dalam status ketiga di atas, maka kita dengan kurniaNya pula akan dapat naik ke tingkat terakhir, yaitu tingkat fana, artinya tenggelam hati dan perasaan kita dari selain Allah s.w.t. Jadilah hati kita pada ketika itu sebagai rumah Tuhan. Lidah kita menyebut namaNya, tanpa disengaja dan tanpa diatur sebelumnya.

Pada waktu itu tidak ada wujud yang hakiki selain wujud Allah s.w.t. Tubuh, hati dan semua perasaan dalam diri kita telah dikuasai oleh Ketuhanan yang Maha Esa dan Maha Kuasa. Tenggelamlah diri kita dan perasaan kita sehingga kita tidak sadarkan diri selain hanya terbenam dalam ingatan yang pen uh pada Allah s.w.t. Tauhid yang telah sampai ke tingkat ini adalah tauhid khawas, yakni tauhid yang dimiliki oleh Wali-wali Allah dan hamba-hambaNya yang saleh.

Cuma ada perbedaan antara Wali-wali Allah dengan para Nabi dan sahabat-sahabatnya. Adapun bagi Nabi dan sahabat-sahabatnya, tauhid yang demikian telah mereka punyai tetapi mereka tidak sampai karam dan tenggelam dengan gelombang samudera ketauhidan itu.

Karena mereka telah diberikan kekebalan dan ketahanan oleh Allah s. w.t., ibarat kapal besar yang dapat mengarungi samudera luas yang penuh dengan gelombang-gelombang besar. Kapal tersebut tidak oleng, bahkan tetap seperti biasa seolah-olah tidak ada gelombang apa-apa.

Itulah sebabnya kita tidak melihat dalam sejarah adanya keramat-keramat yang luar biasa pada para sahabat Nabi, apalagi pada Nabi, tetapi pada Nabi-nabi, Allah Ta'ala memberikan mukjizat-mukjizat pada beliau-beliau itu, bukanlah karena ketekunan amal ibadah mereka, tetapi sebagai bukti-bukti kenabian dan kerasulan yang diberikan kepada manusia, bahwa mereka adalah Rasul-rasul atau Nabi-nabi.

Adapun Wali-wali Allah dan hamba-hambaNya yang saleh dikurniai juga oleh Allah ketauhidan yang paling tinggi dan mendalam, tetapi wadah mereka kecil atau lebih kecil. Inilah yang menyebabkan mereka sampai fana dan tenggelam perasaan, setelah merasakan ketauhidan yang mendalam itu. 

Justeru karena itulah kita mendengar dari ulama-ulama, dan kita membaca kitab-kitab yang ditulis oleh beliau-beliau itu dan disaksikan oleh sebagian manusia adanya keramat atau karamah bagi para Wali. Macam-macamlah yang kita dengar, ada yang disebutkan dapat berjalan di atas air, ada yang disebutkan dapat ditemui oleh manusia di mana-mana dan lain-lain. Ini adalah pengaruh kekuatan ketauhidan terhadap Ketuhanan Allah s.w.t., sehingga mereka dapat diibaratkan laksana kapas diterbangkan angin. Anginlah yang menentukan dan berkuasa atas kapas-kapas, menurut pandangan penglihatan lahiriah kita.

 Kesimpulan:

Martabat dan derajat hamba-hamba Allah dalam melihat Allah s.w.t., terbagi menjadi empat sebagai berikut:

1. Martabat hamba-hamba Allah biasa, yaitu lidahnya menyebut nama Allah atau sifat-sifatNya tetapi hatinya kosong dan lalai.

2. Martabat Al-'Uqala, yaitu lidahnya menyebut nama Allah atau sifat-sifatNya dan hatinya mengikuti ucapan lidahnya.

3. Martabat Al-'Ulama, yaitu Allah s.w.t. sudah berada dala.m hatinya, yakni Allah selalu memperhatikan segala perbuatannya dan tindak-tanduknya.

4. Martabat Al-'Arifin, yakni martabat para Wali-wali Allah. Walhasil, perpindahan dari satu martabat kepada martabat yang atas, tidak sukar, asall5an Allah menghendakiNya untuk memberikan kurnia kepada hamba-hambaNya yang tekllll dalam menyebut dan mengingatiNya untuk memberikan kurnia kepada hambahambaNya yang tekun dalam menyebut dan mengingatiNya dalam arti yang luas.

Mudah-mudahan kita diizinkan oleh Allah termasuk hambahambaNya yang selalu ditingkatkan olehNya kepada martabat mengingatiNya untuk menghampirkan diri kepadaNya.

Amin, ya Rabbal-'alamin