webnovel

episode 9

"Penyakit ini kamu sendiri yang buat. Kanzia, selain menghabiskan uang, kamu hanya bisa membuat malu keluarga. Seharusnya ibumu tidak melahirkan anak pembawa sial seperti mu!" bentak Valo, menatap putrinya dengan mata teramat dingin.

"Lalu, kenapa tidak membunuhku saja waktu itu? Kenapa ayah membiarkan ku hidup kalau harus di perlakukan seburuk ini!" sahutnya di saat meneriaki sang ayah dengan air mata.

"Anak bodoh! Jika aku tahu kamu perempuan sudah pasti aku meminta ibumu membunuh mu saat itu juga," jawab Valo menekan bekas luka sayatan di pergelangan tangan Kanzia.

Kanzia menjerit kesakitan, namun Valo tidak melepaskan. Semakin menekan dan seketika membuat air mata Kanzia banjir sebab sakit di tangannya begitu menusuk.

"Ayah, sakit! Lepas," ucap Kanzia lirih, dengan tenaga tersisa berusaha memberontak.

"Jika dokter tidak melakukan kesalahan, saat ini kamu tidak akan pernah terlahir," tuturnya melepas tangan Kanzia dengan dingin.Kanzia meringis kesakitan sembari menahan tangisannya yang sejak awal sudah tidak bisa di tahan.

"Zia juga anak ayah dan ibu ," ucap Kanzia kini berderai air mata, wajah pucat dengan bekas tamparan di pipinya. Tapi, kenapa ayah tidak bisa menyayangi Zia? Apa salah Zia, ayah?" "

"Karena kamu anak pembawa sial! Ingat satu hal ini Zia, kalau kamu berani melakukan hal bodoh ini lagi. Semua fasilitas mu akan ayah ambil," jawab Valo dengan wajah penuh akan amarah.

"Jangan coba-coba membuat masalah untuk keluarga kita lagi. Hal ini juga berlaku untuk mu," sambung Valo menoleh kearah Verena, anak bungsunya.

Verena mengangguk dan berkata, "Rena tidak akan membuat keluarga kita malu."

"Bagus, jangan tiru kakak bodoh mu itu."

Dengan lembut Verena kembali mengangguk pelan dan tersenyum lembut. "Tapi, ayah, kak Zia juga tidak salah. Rumor itu tidak benar."

"Berhenti membela kakak bodoh mu itu! Dia bahkan tidak sebaik kamu, setidaknya kamu tidak suka mempermalukan keluarga Volker," sahut Valo menyela kata-kata Verena.

"Tapi ayah, kakak Zia memang tidak bersalah dan semua itu tuduhan palsu," balas Verena masih membela Kanzia yang kini menangis.

"Rena, jangan terlalu baik pada kakak mu itu. Dia bisa saja menyeretmu dalam masalahnya, berhenti membela kakak mu yang pembawa sial itu," ucap Valo memperingati.

"Ayah."

"Diam, lebih baik kamu pulang. Untuk apa di sini, buang-buang waktu saja," ujar Valo kini tidak ingin mendengar omong kosong sang anak bungsu.

"Ayah, kakak tidak bersalah. Tolong percaya.""Rena, ayah bilang pulang, ya pulang. Apa saat ini kamu tidak mengerti bahasa manusia ?" ujar Valo menatap putri bungsunya itu tajam, tidak ada kelembutan di matanya.

"Ayah, kak Zia masih terluka. Rena masih mau di sini bersama kakak," jawab Verena menangis dengan sangat menyedihkan, tapi di dalam hati dia merasa senang.

"Luka itu akibat ulahnya sendiri, tidak ada yang memintanya menyayat tangannya. Rena, kamu terlalu baik dan lugu, Nak. Ayah suka sifat baik mu itu, tapi jangan bodoh," sahut Valo enggan berdebat terlalu lama bersama putrinya itu.

"Sekali ini saja, ayah!" Verena memohon ketika menatap sang ayah, jauh berbeda dengan apa yang ada di hatinya, berdoa agar ayahnya tidak menerima permohonannya itu.

"Tidak."

Mendengar penolakan Valo, senyuma tertahan Verena tidak bisa di sembunyikan. Dia bahagia dan ingin rasanya menari-nari saat ini juga, tapi mengingat ada Kanzia di sini. Verena tidak mau kedok buruknya terbongkar.

Kanzia mengamati percakapan keduanya, tidak berniat menyela. Melihat kearah Verena sekilas dan menatap sinis, membelanya di depan, tapi juga menusuknya dari belakang.

"Dasar munafik, layak mendapat penghargaan, huh!" Batin Kanzia di dalam hati, mencibir dua orang bodoh di depannya itu.

Valo menoleh kearah Kanzia, menemukan jika putri tertuanya itu melihat Verena dengan cara yang aneh. Dia menyadari kalau Kanzia saat ini tidak menyukai Verena, dasar anak tidak tahu diri.

"Lihat adik mu, dia rela memohon untuk tetap di sini agar bisa merawatmu. Tapi, lihat dirimu Kanzia. Kamu menatap adikmu dengan rasa iri yang sangat buruk," ujar Valo menemukan jika tatapan Kanzia berikan pada Verena salah dan terlihat seperti orang iri hati.

Mendengar penuturan sang ayah, Verena tidak diam saja. Dia menoleh kearah Kanzia, melihat sang kakak dengan mata menyipit, seolah mau menyelediki sesuatu.

"Kakak membenciku? Kenapa! Apa kakak saat ini masih marah pada Rena?" ucap Verena kini menunduk dengan wajah sedih.

"Kak, Rena salah. Ke-empat orang itu memang bukan teman kakak, Rena takut ayah marah di saat Rena membawa mereka kesini," sambung Verena meninggikan tingkat suaranya.

Kemudian kembali berkata, "Rena cuma mau bantu kakak. Orang-orang itu Rena bawa kesini karena mereka percaya rumor yang beredar di kampus itu tidak benar. Maaf kak, Rena sudah mengatakan mereka teman kakak barusan."

Verena menangis sedih, tampak menyedihkan bagi orang-orang dungu yang melihatnya. Valo terkejut mendengar pernyataan itu awalnya.

Tapi, di saat mendengarkan penjelasan Verena berikan, Valo merasa terharu dan percaya akan semua kata-kata putri bungsunya.

"Putri bungsuku memiliki hati yang baik." Batin Valo saat menatap wajah menyedihkan Verena ketika anak bungsunya itu menangis.

"Tsk... bukannya kamu yang memintaku waktu itu mengiris pergelangan tanganku, Ren?" ucap Kanzia kini membuka suara, pelan dan lantang saat dia berbicara.

"Kakak, Rena tidak mungkin meminta hal tidak masuk akal itu padamu," sela Rena kini tengah di banjiri keringat dingin, jantungnya berdetak sangat kencang tak kala melirik kearah Valo.

Takut sang ayah akan membencinya juga, tidak ingin bernasib sama dengan Kanzia yang kedua orang tuanya benci sejak kelahirannya.

Mata redup Kanzia menatap Verena lekat-lekat dan tersenyum tipis. "Kenapa kamu tidak mau mengakuinya, Ren? Bukannya kamu bilang jika aku melakukan itu, orang-orang akan percaya padaku?" tanya Kanzia sedih, seolah dia akan

mati jika orang lain salah bicara.

"Ayah, apa yang Kanzia katakan tidak benar. Itu fitnah, Rena tidak pernah memintanya melukai diri sendiri. Rena cuma minta kakak bersabar," tutur Verena berjalan mendekati Valo dengan air mata memenuhi pipinya, menolak tuduhan itu.

"Ayah percaya sama Rena, kan?" tanya Verena di kala menemukan ayah mereka hanya diam.

Kanzia berdecak sebal, lagi-lagi wanita ini pakai air mata untuk menarik simpatik orang lain. Ini terlihat memuakkan, tapi Kanzia masih enggan berhenti memainkan peran kakak yang tengah teraniayaya dan lemah tanpa daya.

"Sebenarnya kakak tidak mempermasalahkan hal itu, kakak tahu kamu memiliki niatan yang baik. Tapi ... melihatmu membantahnya, kakak merasa sangat kecewa," tutur Kanzia menatap Verena dengan wajah penuh akan kekecewaan teramat besar, dia menggeleng kepala dengan perasaan sedih.

Sontak saja Verena terdiam, jika Kanzia sampai menjauh darinya. Dia akan kesulitan untuk bisa menghancurkan kakak tercintanya itu, dia mau Kanzia menderita dan mati secara perlahan.

Verena bergumam pelan," Bagaimana ini, kakak Zia tidak boleh menjauhiku. Jika sampai terjadi, sulit untuk menghancurkannya dari dalam ."

"Tapi ... aku juga tidak mau ayah membenciku seperti mereka membenci kakak," monolognya kini merasa bimbang dengan situasi ini, di sisi lain.

Tidak mau rencana yang selama ini dia siapkan gagal total sebab satu kesalahan ini. Di sisi lain dia juga tidak ingin Kanzia menjauh dan sudah pasti akan mempersulitnya.

Karena merasa iri Kanzia lebih populer darinya, lebih cantik, pintar dan memiliki seorang pacar yang tampan melebihi kekasihnya. Dia dengan sadis berencana membuat Kanzia hancur dan menderita dengan cara menggunakan tangan Kanzia itu sendiri.

"Aku benar-benar muak melihatnya bahagia."

Gigi Verena menggertak keras dengan tangan yang menggepal erat. Semua perubahan yang terjadi di amati Kanzia secara seksama.

"Kena kamu." Batin Kanzia tertawa dalam hati, tidak sabaran melihat Verena masuk ke dalam jebakannya.

"Kak... Rena," bisik Verena dengan nada gugup dan khawatir, berusaha menjelaskan semua itu dengan bibir bergerak-gerak pelan.

Dia tidak mau Kanzia lolos dari cengkramannya dan akan mempersulitnya di masa depan. Saat ini ketakutan serta keraguan menggelayuti hati Verena yang mencoba keras mempertahankan ikatan persaudaraan mereka.

Setiap butir air mata yang mengalir dari sudut matanya mencerminkan tekad besarnya dalam meneguhkan hati. "Kak, aku mohon dengarkan aku dulu. Rena berani sumpah, kalau aku tidak pernah memiliki niat buruk terhadap kakak."

Melihat sikap Verena yang Mendadak Minta maaf untuk apa, kamu tidak salah, Nak," sahut Valo mencoba menenangkan Rena yang menangis. bersikap aneh, membuat Valo mengernyit." Minta maaf untuk apa, kamu tidak salah, Nak," sahut Valo mencoba menenangkan Rena yang menangis.

"Kanzia! Kamu tidak seharusnya menuduh adik mu atas apa yang kamu lakukan sendiri," lanjut Valo membentak Kanzia saat melihatnya sudah membuat putri bungsunya menangis.

"Aku... tidak bermaksud ayah. Zia tidak tahu ini membuat Rena jadi sedih, maaf. Tapi ayah, apa yang Zia katakan benar," jawab Kanzia, saat dia berbicara kepalanya tertunduk seolah bersedih dan sangat menyesali telah mengatakan hal ini.

Tanpa keduanya sadari, seringai kecil terukir di bibirnya yang pucat. Menantikan moment saat adik abal-abalknya itu membuka aibnya.

"Kanzia, ayah tidak pernah mengajarkan kamu jadi anak yang suka menfitnah," bentak Valo di saat melihat Kanzia tidak mau menyerah, sejak Kanzia lahir, Valo sudah membenci anaknya itu melebihi membenci musuhnya.

"Ayah, Zia tidak bohong."

Saat Valo ingin mendekati ranjang tempat sang putri tertua berada, mencoba memberi Kanzia pelajaran berarti karena berani melimpahkan kesalahan pada adiknya sendiri.