webnovel

episode 2

Selain keluarga, bahkan Kanzia tidak memiliki seorang teman.

Trauma dengan masalalu saat masih sekolah SMA dulu, Kanzia pernah di khianati sahabat dan pacarnya sendiri. Mulai saat itu, dia tidak pernah bisa mempercayai orang lain.

Mereka mendekatinya karena harta yang dia miliki dan kekuasan orang tua serta keluarga Kanzia punya, bukan karenanya. Tidak dapat menemukan orang yang tulus mau berteman dengannya.

Mulai dari itu Kanzia menarik diri dari semua orang di sekitarnya, bersikap dingin dan juga tidak perduli sekitar.Menghajar orang-orang yang berani menyapa, apa lagi yang memiliki keberanian mengusik, mereka akan berakhir di rumah sakit.

Pindah sekolah? Haha, sudah di jadikan oleh Kanzia makanan sehari-hari. Apakah ibu dan ayahnya marah! Tentu saja iya, tapi keduanya percaya Kanzia tidak akan memulainya lebih dulu.

Buruknya dia di keluarkan dari sekolah milik ayahnya sendiri, mungkin kakek Joshua telah merasa bosan dan jengah memarahinya.

Berkat temperamennya yang buruk itu, tidak ada yangberani mendekati. Bahkan dia telah menerima gelar sebagai iblis dari neraka.

Hey, bung. Bisa-bisanya wanita sencantik dia di sama ratakan dengan iblis, tentu dia tidak dapat menerima julukkan edan itu. Yaa, tapi Kanzia tidak begitu perduli bagong.

Begitulah cara Kanzia menarik diri dari orang munafik yang mendekatinya karena memiliki motif terselubung. Menjijikan, Kanzia cemberut ketika mengingat masa-masa sekolahnya.

"Apa lagi yang kamu pikirkan? Menikah saja belum, tapi sudah banyak pikiran gitu,"

Ucap Evans tertawa kecil melihat adiknya yang kini tengah melamunkan sesuatu.

"Tsk, kamu terlalu berisik," sahut Kanzia acuh tak acuh, melirik kearah ibunya yang tertawa kecil melihat tingkahnya.

"Jangan pikirkan apa pun, nikmati saja hidup mu," tutur Oliver tersenyum lembut.

Mendengar itu Kanzia merasa hangat, hanya ibu dan keluarganya yang senantiasa sayang serta tulus mencintainya.

"Zia jadi laper," jawab Kanzia langsung pergi memeluksang ibu erat, pelukan yang hangat dan selalu membuatnya merasa nyaman.

"Katanya laper, tapi kenapa jadi peluk mama mu?" tanya Ansel menatap putrinya, dia tahu anak ini sangat pemalas dan gemar rebahan di kamarnya.

"His, papa sirik aja kerjanya! Sama kayak sih anu," ujar Kanzia tertawa kecil saat menoleh kearah Evans yang tengah asik makan.

"Anak nakal, kamu mau aku tampol lagi," ujar Evans memelototi adiknya itu.

"Ogah, soalnya Evans bau kambing."

"Ughh, kalau gak ada Ano awas." Evans kini ingin melempar adiknya itu dengan roti yang ada di tangannya.

Tanpa memperdulikan kakaknya yang tengah sibuk mengoceh, Kanzia pergi memeluk sang ayah, kakek, buyut dan tentu saja sang kakak yang tersenyum licik kearahnya.

"Apa lihat-lihat! Mau di peluk, ya! Ogah, Evans bau," ucapnya mencoba menghindari.

"Aku ini kakak mu bodoh! Panggil kakak kek, ini malah Evan, Evans," sahut Evansmenarik adiknya itu paksa dan memeluknya, sebelum membiarkan Kanzia pergi, dia menampolnya lebih dulu.

"Iya, abang Evans yang buruk rupa," celetuk Kanzia segera menjauh, membuat pria yang di katai mendelik dengan iringan tawa kecil.

"Dasar kunti bogel," jawab Evans malas.

Hanya di respon Kanzia dengan cengiran, hal itu membuat perut Evans mulas. Oliver tidak dapat menahan tawa, segera meminta putri nakalnya itu segera pergi.

"Berhenti menganggu.putri Tercintanya tidak hanya bermalas-malasan di kamar.

Keputusan Ansel tidak salah, meskipun putri pemalasnya ini mageran. Anak itu tetap bisa mengambil alih perusahaan dengan baik dan bertanggung jawab atas amanah yang sudah Ansel beri.

Sebagai seorang CEO muda, Kanzia memiliki kapasitas tinggi dalam memimpin. Semua itu terbukti dengan perusahaannya kini memiliki cabang di kota lain.

Tapi, di bawah kepemimpinan Kanzia, semua karyawan merasa tertekan walau gaji mereka dapatkan besar. Kanzia orang yang disiplin di setiap pekerjaan, semua harus tepat waktu.

Melihat kedatangan Kanzia, membuat semua karyawan di sana membeku. Tidak ada orang yang berani bersuara, bahkan untuk mereka bernapas saja tidak ada punya keberanian.

Semua orang menahan napas dingin mereka, takut bila Kanzia mendengarkan suara napas mereka dan berakhir di pecat dari pekerjaan.

"Kalian boleh pergi," ucap Kanzia tidak begitu perduli di permukaan, namun matanya selalu mengamati gerak-gerik mereka.