webnovel

episode 13

Mata Kanzia terpejam, kemudian terbuka lagi di detik selanjutnya. "Keluar!" bentak Kanzia.

Verena terkejut melihat wajah marah Kanzia, sebelumnya dia tidak pernah melihat kakak yang biasa menyayanginya marah. Kini baru Verena sadari, kesalahan telah dia lakukan ini memiliki dampak yang buruk.

"Kak, Rena bisa jelasin semua." Verena tidak bisa menahan tangisnya, dia ketakutan saat melihat Kanzia begitu marah.

"Aku bilang keluar, apa kamu tidak dengar?"

"Tolong dengerin penjelasan Rena dulu, kak!" ucap Verena berusaha mendekati Kanzia, tapi tangannya di tepis dan di dorong oleh Kanzia dengan sangat kasar.

"Keluar!"

"Alat penyadap itu ayah yang suruh pasang, Rena tidak tahu apa-apa," tutur Verena tidak bisa menahan air matanya, masih terduduk di lantai akibat dorongan Kanzia tadi.

Dalam hati Verena mengutuk Kanzia dengan begiti kejam, sebab Kanzia dia merasa takut dan harus merasakan sakit di pantatnya saat ini. Di masa depan, Verena berjanji membuat Kanzia merasakan sakit yang sama.

Kemarahan Kanzia sedikit mereda, kemudian berseru, " Ayah ... kamu di suruh ayah pasang ini di kamarku?"

Mendengar kemarahan Kanzia mereda, mata Verena sedikit bergejolak serta mengangguk.

"Iyaa, ayah yang memintaku memasang alat penyadap suara itu. Awalnya Rena tidak mau kak, tapi Rena takut di pukul ayah," tuturnya menjelaskan dengan suara lantang, bersikap seolah semua yang di katakan olehnya benar.

Penuturan yang Verena berikan membuatnya tersenyum kecil, senyum yang tidak di sadari oleh Verena.Matanya melirik kearah pintu di saat adik abal-abalnya itu menjelaskan.

Lalu, Kanzia berpura-pura tidak tahu seraya berkata, "Jadi, semua ulah ayah! Kamu tidak bersalah? Maafkan kakak Rena, kakak salah sudah mendorong mu."

Kanzia mendekati Verena dan meminta maaf atas segala apa yang telah terjadi. Semua ini ternyata salah paham dan sekarang dia telah membuat adiknya tersakiti.

Verena mengangguk dengan air mata deras, "Iya, alat penyadap ini di pasang oleh ayah."

"Rena tidak mau, tapi aku takut di pukul ayah jika tidak menurut. Maafin Rena," ucapnya di saat memeluk Kanzia dengan erat, senyuman benci Verena tampak jelas dan kian meninggi di saat mengingat dorongan kasar kakanya.

Saat mereka tengah berpelukan, Verena yang tidak melihat kearah pintu terus mengatakan hal-hal buruk tentang ayah mereka berdua.

Valo sudah berada di sana sejak sang bungsu mengatakan kalau dia yang meminta supaya putrinya itu memasang alat penyadap dalam kamar putri tertuanya, Kanzia.

Yang membuat Valo semakin marah, saat dia mendengar Verena mengatakan hal-hal tidak baik dan buruk tentang dirinya. Amarah yang semula ingin di luapkan pada Kanzia, saat ini harus di alih kan pada Verena.

"Verena!" Teriak Valo dengan suara keras dan terkesan menyimpan kemarahan besar yang terpendam serta siap meledak hari ini juga.

Tubuh Verena menegang dan berguma pelan saat menoleh kebelakang. "Ayah, sejak kapan ayah berada di sini ?" tanya Verena gugup.

"Bangun," jawab Valo tidak memberi respon berarti. "Kamu tuli? Masih tidak mau berdiri?"tanya Valo menatap Verena dengan dingin.

"Ayah ... Rena!"

"Bangun ayah bilang, jangan membuat ayah mengulanginya," sela Valo, tidak butuh yang namanya bantahan dan penjelasan.

Niat hati ingin memarahi Kanzia dengan cara yang kejam sebab telah mempermalukannya dan keluarga. Namun, sekarang dia malahan mendengarkan putri yang di percayainya kini tengah menebar fitnah tenang dia.

"Rena bisa jelasin, ayah!" ucap Verena tanpa sadar menyadari di mana letak salahnya.

Kanzia segera menjadi tameng untuk Verena dan berkata, "Ayah tidak seharusnya marah!"

"Oh, kamu ingin membela adikmu?" tanyanya menatap Kanzia tajam, tidak ada kelembutan di mata gelap sang ayah.

"Jangan sakiti Rena, cukup Zia aja." Ucapnya di kala berusaha melindungi Verena, jika dia boleh jujur, Kanzia sebenarnya malas, tapi ini perlu di lakukan untuk meyakini kalau Kanzia kakak yang berbudi luhur.

"Hubungan kakak adik yang harmonis," tutur Valo tertawa dingin, berjalan mendekati serta segera mendorong Kanzia kasar dan dengan cepat menarik rambut Verena.

"Jika ayah katakan bangun, maka kamu perlu bangun," ucap Valo kasar, menariknya keluar dari kamar Kanzia.Apakah Kanzia mengejar? Tentu saja jawaban yang dia berikan iya, pada akhirnya dia perlu melihat pemandangan menakjubkan itu. Jika Verena bisa bersikap kasar padanya, dia juga bisa melakukan hal lebih gila dari itu.

Di luar sana terdengar suara tamparan keras serta tangisan dari mulut Verena, cukup lama dia mendengar. Suara isakan tangis, dia tidak berhenti meminta maaf serta ampunan sang ayah yang tengah menghukumnya.

Kanzia menonton semua itu dari jarak cukup dekat.

Sekarang Verena tengah mendapatkan hukuman, pipi putihnya kini tercetak bentuk gambar telapak tangan sang ayah.

Tidak sebatas itu saja, rambut Verena tengah di tarik kasar oleh Valo. Hal paling menyakiti Verena, selain malu menjadi pusat perhatian para pelayan rumah. Dia juga kehilangan diri sendiri sekarang, Verena adalah orang yang bangga atas dirinya sendiri.

Kehilangan muka di depan banyak orang!

Verena yang biasanya di manjakan oleh sang ibu dan Kanzia, tidak pernah mendapat jenis perlakuan seburuk ini. Hal ini membuat raut wajah Verena memburuk, kini dia hanya bisa memohon belas kasihan dari sang ayah.

Tapi, sayang sekali. Valo bak ayah yang telah kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Saat ini Valo murni di kuasai oleh amarah, semua perasaan bangga pada Verena hilang bak di telan bumi.

Sampai suara seseorang bergema di dalam rumah, membuat Valo yang kesetanan saat ini berhenti memukuli Verena. Dengan cepat menoleh kearah sumber suara dengan raut wajah kaku dan pucat.