webnovel

episode 11

Kaki Kanzia menuruni taksi dengan elegan, di waktu bersamaan mata cantik Kanzia melihat kearah depan dengan raut wajah malas serta acuh tak acuh.

Mengedarkan pandangan matanya pada satu titik, dia mengamati rumah besar ketika bibir ranumnya melengkung membentuk seringai aneh.

"Huh, rumah ini tidak layak di jadikan tempat tinggal," ucap Kanzia mendengus dingin, kini dia berbalik dan membayar ongkos taksi.

Hal wajar Kanzia mengatakan kediaman dari Volker berukuran kecil, mengingat ketika dia masih hidup dulu. Mansion keluarga ayahnya jauh lebih besar dari kediaman Volker ini.

Sepuluh kali lipat lebih besar dari kediaman keluarga Volker di dunia ini, tidak perlu kita bahas mansion keluarga Grayson yang tidak biasa itu.

"Ini lebih mirip kandang babi," ucap Kanzia di kala menggeleng lelah, harus di akui dia saat ini merasa frustasi akan tempat tinggalnya.

"Ck, apakah ini yang namanya keluarga kaya raya?Bahkan rumah mereka cuma seupil, ini lebih mirip orang miskin," gumam Kanzia kini tidak bisa berbuat banyak.

Kanzia buru-buru menggeleng, "Tidak buruk, setidaknya aku di sini tidak penyakitan hehe!" ujar Kanzia tidak bisa menahan tawanya dan bahagia dengan kondisi tubuh sehatnya.

Banyak uang, tapi penyakitan telah membuat Kanzia menderita sepanjang hidupnya. Tidak bisa melakukan apa pun secara bebas, walau begitu Kanzia masih terkenal menjadi wanita pembawa masalah dan nakal.

Sekarang tentu saja berbeda, Kanzia merasa jauh lebih baik dan hidup. Walau agak sedih karena harus berpisah dari kedua orang tua tercintanya. Tapi, Kanzia bukan

orang bodoh yang akan menangisi nasib malangnya yang mati karena lupa minum obat.

"Mama, Zia akan hidup dengan baik di dunia ini! Mama jangan cemaskan Zia lagi," gumam Kanzia melihat langit dengan senyum manis.

Menghirup oksigen dengan bebas, matanya tampak cerah. Papa, harus jaga mama. Saat ini Zia tidak bisa bersama kalian lagi," imbuh Kanzia ketika menatap langit, seakan tengah berbicara dengan kedua orang tuanya.

Mendesah lelah, Kanzia segera menampilkan wajah menyedihkan. Hari ini merupakan hari kepulangan Kanzia dari rumah sakit, tapi dia tidak mendapat jemputan dan pulang sendiri dengan taksi yang di pesan oleh Kanzia.

"Boro-boro di jemput, di sambut aja enggak," ujar Kanzia tertawa sinis, tapi apa perdulinya pada hal-hal tidak berguna semacam itu.

Mau mereka perduli atau tidak, Kanzia sama sekali tidak merasa sedih. Apa lagi berduka di saat di abaikan, jauh lebih baik begini. Kanzia tidak akan memiliki keterkaitan dengan ayah dan ibu Kanzia dunia ini.

"Akan jauh lebih mudah menghancurkannya, aku tidak sabar lagi," ucap Kanzia tersenyum kecil saat memikirkan hal menyenangkan itu.

Langkah kaki Kanzia tidak cepat saat berjalan masuk ke area rumah, memperhatikan setiap detail tempat ini dengan matanya sendiri.

Kini Kanzia berjalan masuk ke dalam rumah, benar saja suasana rumah tampak sepi. Tidak ada tanda-tanda kehidupan sama sekali, saat itu Kanzia menyimpulkan sesuatu.

"Sepertinya kepulangan ku di rumah ini tidak di harapkan," gumam Kanzia dalam hati, bibir pucatnya bergerak-gerak pelan mengejek.

"Berdasarkan ingatan Kanzia, kamarku pasti berada di lantai atas." Ucap Kanzia bergegas berjalan keatas dengan langkah yang malas.

Kenapa kamarnya tidak di lantai utama, agak menyebalkan untuk naik ke lantai dua. Wajah kusut Kanzia semakin jelek ketika dia melihat keberadaan Verena di atas sana.

"Tsk.. aku sangat malas melihatnya seriusan, deh!? Kenapa adik abal-abalku pakai muncul segala di sini." Batin Kanzia berdecak kesal di saat melihat Verena tengah tersenyum manis kearahnya, rasanya perut Kanzia mules.

Verena tersenyum manis kearah Kanzia, raut wajah sang adik tampak bahagia menyambut kedatangan kakak tercinta. Sedangkan untuk Kanzia sendiri, dia merasa muak dan jengah.

"Kakak, maaf Rena tidak bisa menjemput mu di rumah sakit. Ibu dan ayah melarang Rena, tapi sekarang mereka sudah pergi bekerja ke kantor," tutur Verena mendekati Kanzia, tidak lama menyentuh tangan Kanzia dan menatap sedih kearahnya dengan bibir cemberut.

Kanzia memaksa senyum di bibir pucatnya di kala membujuk adik abal-abalknya itu. "Ayah sama ibu sudah pergi bekerja?" tanya Kanzia pura-pura kaget, mimik wajahnya kini terlihat murung.

"Kakak jangan sedih, di sini masih ada Rena."

Bibir Kanzia tersenyum tipis, mengelus surai Verena dengan perasaan dingin. Membujuk adik abal-abalnya itu untuk tidak merasakan, perasaan bersalah karena tidak menjemput.

"Um, cuma ada Rena juga udah cukup, kok!" jawab Kanzia lembut, bibir pucatnya tampak tersenyum dengan pandangan yang hangat.

"Rena akan mengantar kakak ke kamar. Rena juga udah bersihin kamarnya," imbuh Verena kini banyak bicara, mengumbarkan kebaikan yang telah dia lakukan untuk Kanzia.

"Terimakasih." Kanzia tersenyum, matanya di waktu yang sama menatap kearah tangannya Verena yang meraih tangan Kanzia.