webnovel

Di Usir Dari Rumah

"Sungguh memalukan. Kali ini, aku tidak akan memaafkanmu. Pergi dari sini, dan jangan bawa apapun!" seketika nafas Pak Leo terengah-engah. Itu karena riwayat penyakit asmanya yang kambuh.

Suasana makan malam itu kini berubah menjadi petaka. Semua orang memandangi Kai sebelah mata. Apalagi papanya, Alan William yang emosi melihat tingkah putranya.

"Pergi Kai. Pergi dari sini, jika terjadi apa-apa dengan kakek. Kau tidak akan bisa ku maafkan!"

Kai menitikkan air matanya. Ia begitu tersudut. Tidak ada yang membelanya sama sekali. Bahkan kedua orangtuanya. Sesekali ibunya menatap dan ingin memeluknya, akan tetapi kembali ia disibukkan dengan kondisi kakek yang tiba-tiba down. Tampak Kai melirik Nino, sepupunya itu. Tapi lagi-lagi ia hanya melirik tajam ke arahnya. Tak ada pilihan lain, Kai terpaksa pergi meninggalkan ruang makan itu.

"Berhenti Kai!" terdengar suara seseorang memanggilnya, ia pun tersenyum dan membalikkan badannya. Berharap kali ini langkahnya dihentikan oleh mereka, dan berkata 'jangan pergi Kai'.

"Papa? Apa papa mengehentikan ku?"

"Bicara apa kamu? Cepat berikan kunci mobil, dompet, dan barang berharga yang kau bawa sekarang!"

"Tapi pa, aku harus kemana? Pa aku bersumpah aku tidak melakukannya pa, itu semua fitnah pa!"

"Cepat berikan!"

Kai pun pasrah, sebisa apapun ia menyangkal. Semua orang tidak ada yang mempercayainya. Dengan berat hati ia memberikan kunci mobil dan dompet kepada papanya. Setelah mendapat apa yang diinginkan, papanya pergi begitu saja tanpa menghiraukan perasaan Kai.

Seperti yang diketahui sebelumnya. Kaisar William. Atau biasa dipanggil Kai. Ia adalah pria muda yang dipercaya untuk mengurus pusat perbelanjaan terbesar di kota itu. Pratama Global group, adalah perusahaan turun temurun dari kakeknya yang kini ia kelola. Namun karena kejadian yang tidak sengaja ia perbuat, Kai harus kehilangan semuanya dalam sekejap. Berita sangat cepat menyebar, hingga membuat saham perusahaannya anjlok. Walaupun sebenarnya Kai juga menyadari selama ini ia bekerja tidaj sepenuh hati. Ia sering membolos dan melakukan hal-hal tidak penting.

Kai menghela nafasnya, berdiri di depan gerbang rumah kakeknya. Kepalanya menengok ke kanan, ke kiri. Ia bingung harus pergi kemana?. Sedangkan ia tak punya keluarga lain, selain orang tua Nino. Akan tetapi mereka juga tampak menyudutkan Kai. Ia pun akhirnya memutuskan untuk terus berjalan dan berjalan tanpa arah.

"Mili, kau lihat berita tadi pagi kan?"

"Berita apa La?"

"Ah, kau ini. Makanya jangan kudet. Padahal ini berita viral"

"Lola. Kau tahu sendiri kan? Aku nggak punya waktu untuk itu? Di sela-sela pekerjaanku, pasti ada pekerjaan lain yang harus aku selesaikan!"

"Iya, iya tahu. Jangan baper!"

"Pak Kai. Bos kita, pemilik mall ini!"

"Orang dingin dan angkuh itu? Kenapa dia?"

Memang seperti inilah kebiasaan Karyawan, selalu menggosip di tengah lelahnya dalam bekerja. Hal ini membuat mereka merasa sedikit terhibur, dan menghilangkan kebosanan serta kepenatan.

"Iya. Dia kedapatan berbuat mesum di mall ini, di lift pribadinya" ungkap Lola antusias.

"Hah. Dasar pria sesat. Aku tidak peduli. Yang penting aku kerja, dan mendapat gaji" jawab Mili yang masih mengelap produk-produk yang terpajang di rak.

"Dengar-dengar dia sekarang diusir dari keluarganya yang kaya raya itu, dan menjadi gelandangan"

Mili mengernyitkan dahinya. "Sukurin. Itu akibatnya jadi orang terlalu sombong!"

"Ehem…" terdengar seseorang berdehem. Yang tak lain adalah supervisornya.

"Eh Pak Heru" kata Lola menepis malu, saat kedapatan bergosip.

"Apa sudah bergosipnya? Lanjutkan pekerjaan mu!"

"I-iya pak" jawab Lola yang kemudian berlari kecil dengan membawa kemoceng itu.

"Mili. Setelah ini, tolong kamu stok rak snack ya!" perintah pak Heru.

"Baik pak." jawab Mili menganggukkan kepalanya.

Emilie Natasha, ia seorang karyawan teladan dan pekerja keras. Meskipun baru 2 tahun ini ia bekerja, namun Mili berhasil menyandang predikat karyawan terbaik. Lewat beberapa promosinya, Mili selalu berhasil mencapai penjualan yang ditargetkan.

Kai duduk menelungkup memeluk erat lututnya. Kepalanya menunduk dan meletakkannya di atas lutut.

"Krukk…krukk…"

Beberapa kali perutnya berbunyi. Bahkan ia belum makan dari kemarin. Tubuhnya yang berpostur tinggi putih bersih itu. Kini terlihat lusuh, pucat, dan berantakan. Ia masih mengenakan setelan jasnya. Akan tetapi keadaan membuatnya terkesan seperti gelandangan.

Tiba-tiba saja seseorang melemparkan uang senilai 5 ribu rupiah ke arahannya.

Seketika Kai berteriak. "Woy, aku bukan pengemis. Dasar…apa mereka nggak tahu aku siapa? Aku ini cucu Leo William. Tapi…"

Mata Kai kembali nanar, ia mencoba untuk tidak menangis lagi. Akan tetapi hatinya semakin kacau. Ken kembali menundukkan kepalanya dan menangis. "Maafkan Kai kek, Kai minta maaf"

Tiba-tiba tangis Kai terhenti saat mencium bau yang begitu sedap. Perutnya semakin keroncongan. Rasa laparnya mengalihkan segalanya. Kai mendengus denguskan hidungnya, dan mencari sumber aroma makanan yang lezat itu.

Tampak seorang wanita membawa kresek berisi kotak martabak. Ia berjalan sambil meloncat-loncat kecil mengikuti iringan musik yang ia dengarkan lewat headset. Tiba-tiba saja, seseorang merebut kresek itu dengan paksa.

"Woy, kembalikan martabakku!"

Aksi tarik menarik pun terjadi. Akan tetapi karana Kai merasa sangat kelaparan, tenaganya pun begitu kuat hingga merobek kresek itu. Akhirnya kardus martabat itu pun robek, sehingga beberapa tercecer jatuh ke tanah. Namun ada sebagian yang masih tersisa di kardus. Kai segera memakannya dengan lahap. Walaupun martabat itu masih panas, Kai tak menghiraukannya. Sesekali mulutnya berdesah karena kepanasan. Mili yang melihatnya hanya melotot dan meringis.

"Kau kelaparan?" tanya Mili.

Tapi Kai hanya mengangguk dan menundukkan kepalanya karena malu.

"Pelan-pelan makannya. Aku nggak akan minta! Lagian udah habis, separuhnya juga tercecer"

Tapi tiba-tiba Kai mulai mengambil dan akan memakan bagian martabak yang tercecer.

"Hentikan. Itu kotor!" teriak Mili menepak tangan Kai.

"Jika kau mau, aku akan beli lagi untukmu!" sambungnya.

Kai hanya diam dan masih menundukkan kepalanya. Ia begitu malu dengan keadaannya yang sekarang. Dulu ia adalah seorang konglomerat. Berkuasa, dan penuh harta melimpah. Ia begitu tegas, bahkan dari tatapan matanya saja membuat semua pegawainya takut. Namun semua berbalik begitu saja, saat Kai mendapatkan hukuman dari perbuatan yang tidak ia lakukan.

Mili menatapi Kai dengan cermat, menelusuri dari atas sampai kakinya. Baju yang terlihat mewah dan bermerek. Sepatu yang ia yakini lebih mahal dari gajinya setahun, lalu kembali menengok ke arah pergelangan tangannya. Jam tangan yang terbilang tidak murah. Harga jam yang bisa untuk membeli beberapa unit perumahan. Mili memanyunkan bibirnya, ia kembali penasaran dengan pria tersebut.

Karena rasa penasarannya begitu kuat, Mili memegangi dagu Kai dan mendongakkan kepalanya.

"Astaga…!!!"

Saking kagetnya, Mili pun terjatuh dan tersungkur di atas trotoar itu.

Kai hanya diam melirik Mili dengan wajah datar.

"Pa-pak Kai? Apa yang anda lakukan di sini?" tanya Mili gemetar.

"Kenapa kau begitu kaget. Aku bukan hantu!"

Mili melotot. Tak biasanya orang itu menjawab sapaan karyawannya. Akan tetapi sekarang, dia menjawab pertanyaan Mili dengan santai. Hal itu membuat Mili semakin penasaran dan merasa aneh.

Next chapter