1 Sebuah Pesan Untuk Naira

Pagi yang damai, langit yang begitu cerah, dan suara kicauan burung menambah betapa hari begitu indah. Di sebuah rumah yang cukup mewah, seorang wanita berusia tiga puluh tujuh tahun sedang sibuk di dapur. Kegiatan biasa yang dilakukan seorang ibu sekaligus seorang istri.

Betapa mahirnya ia menggunakan peralatan dapurnya, meracik bumbu dan juga menata masakan di piring agar menjadi lebih cantik. Kali ini, ia memasak nasi goreng sea food dengan topping telor mata sapi berbentuk hati, lalu ada sosis dipotong dan dibentuk cumi-cumi yang lucu. Ia meletakan piring berisi nasi goreng itu di meja, aromanya begitu menggoda siapa saja yang mencium aroma sedap ini.

Lalu, ibu dua anak itu menata makanan-makanan di tempat makan. Ada tiga tempat makan yang harus ia isi nasi berserta lauk pauk menggugah selera.

"Mmmh ... " seorang laki-laki tampan dan berkacamata itu bergegas turun dari tangga dan langsung menuju dapur. Ia melihat istrinya dengan cekatan menyiapkan semua sarapan dan bekal makan siang itu. Ia menghampiri, "Istri kesayanganku benar-benar hebat." Tangannya menyentuh bokong dan memeluknya dengan erat. "Masakan selalu saja terlihat enak dengan aroma menggoda, seperti kamu saat di kamar!"

"Ihk, apaan sih, mas! Pagi-pagi udah ngegombal aja. Nanti dilihat anak-anak aja," protes Naira. Namun ia tidak bisa menolak apa yang dilakukan suaminya itu.

"Biarin, abis udah kangen." Gunawan mengecup pipi wanita bernama Naira itu. Wanita yang ia nikahi 10 tahun lalu dengan status janda. Gunawan begitu mencintainya hingga ia menentang kemauan keluarganya untuk tidak menikahi seorang janda. Ia sama sekali tidak peduli apa yang di kata keluarga dan orang-orang.

Tangannya bergerak cepat memeluk lebih erat Naira. "Mas, masih pagi ah. Nanti anak-anak lihat kan bahaya," kata Naira. Ia menyingkirkan tangannya, sambil mengawasi ambang pintu. Ia takut anak-anaknya melihat apa yang ia lakukan dan suaminya.

Dan benar saja, "Ikh, Ayah sama Bunda pagi-pagi udah pacaran!" Anak perempuan yang berusia lima tahun itu nyeletuk. Saat melihat kedua orang tuanya berpelukan mesra.

"Jangan dilihat, Raina, bahaya!" Januar, anak laki-laki berusia sepuluh tahun itu bergegas menutup mata adiknya, ia pun menutupi matanya sendiri.

Naira dan Gunawan bergegas melepaskan pelukannya. Keduanya tampak canggung dan sedikit malu, membereskan pakaiannya yang sedikit acak-acakan. "Eh, kalian sudah rapih? Ayo, sarapan dulu. Bunda sudah buatin nasi goreng kesukaan kalian. Dan ini ... " Naira menepuk-nepuk kotak bekal makan siang kedua anaknya itu. "... buat kalian makan siang dengan menu spesial," kata Naira.

"Bunda sama Ayah sudah selesai?" tanya Januar, ia masih belum berani menurunkan tangannya itu.

"Su-sudah. A-yo duduk sini!" Nada suaranya sedikit serba salah saat Januar menanyakan hal apa yang sudah ia dan suami lakukan itu.

"Jadi kami boleh turunin tangannya?" tanya Januar sedikit ragu.

"Boleh," sahut Gunawan yang sudah duduk di kursi. "Ayo cepat sarapan, nanti kita terlambat!" ucap Gunawan menepuk-nepuk kursi. Januar menurunkan tangannya pelan-pelan, namun Raina tak sabar ingin segera melihat apa yang ayah dan bundanya lakukan.

Januar bernapas lega.

Tetapi Raina tidak, "Bunda sama Ayah tadi abis ngapain sih?" bocah polos itu masih saja penasaran dengan apa yang di lakukan kedua orang tuanya.

"Huust!" Gunawan menghentikan rasa penasaran Raina itu. "Anak kecil gak boleh tau."

"Udah-udah, kalian sarapan dulu. Nanti kalian telat." Naira sibuk memasukan kotak bekal ke masing-masing tas suami dan kedua anaknya itu.

Naira, Gunawan dan kedua anaknya sarapan bersama di meja makan. Saling berbicara tentang sekolah, kerjaan dan masih banyak hal-hal lainnya. Keluarga itu tampak bahagia, ya, sangat bahagia sebelum semua akan menjadi berantakan.

"Dah, Bunda. Aku berangkat dulu, ya." Bocah imut itu melambaikan tangan dari mobil, Januar pun ikut melambaikan tangan. Mereka bersiap untuk pergi sekolah bersama Gunawan. Naira membalas lambaian tangan sambil menebar senyuman.

"Hati-hati sayang! Belajar yang rajin ya, kalian!" seru Naira. Lalu menutup pintu pagar rumahnya. "Selanjutnya, kita nyuci baju dan ngegosok," ujarnya.

Namun langkahnya terhenti, suara chat masuk terdengar sangat mengganggunya. "Siapa ya, pagi-pagi begini?" pikir Naira merogoh saku celananya. Ia melihat satu nomor asing dan tak di kenal tertangkat di layar hp oleh matanya.

"Nomor tidak dikenal? Apa ini nomor baru ibu?" Batin Naira menduga-duga. Ia bergegas membuka pesan itu, dan ia pun sangat terkejut dengan pesan yang masuk di kotak chatnya.

'Ibu tolong Sabina, bu. Tolongin Sabina!'

"S-Sabina? Bagaimana ia bisa tahu nomor hpku? D-dan ada apa sebenarnya?" gumam Naira antara bingung dan senang.

Ia pun membalas pesan dari Sabina, puteri dari pernikahan pertamanya dengan mantan suaminya bernama Yogi.

'Sa-Sabina Amalia Putri?'

'Iya, bu! Aku Sabina, anak ibu. Apa ibu sudah benar-benar melupakanku? Sampai-sampai ibu gak tau anaknya sendiri?'

Naira, ia terdiam saat membaca pesan dari putri pertamanya itu. Ia tidak menduga anaknya akan menghubunginya setelah sekian tahun menghilang tanpa kabar.

"T-tidak mungkin, d-dia benar-benar Sabina?" Naira mulai mengingat bagaimana ia harus kehilangan anaknya yang dibawa Yogi setelah perceraian itu. Yogi, suami pertama Naira tidak pernah mengijinkan anaknya itu untuk bertemu dengannya walau hanya sekali saja. Ia sangat ingat, bagaimana Yogi memperlakukannya saat ia memohon pada mantan suaminya itu sampai-sampai ia berlutut untuk bisa bertemu dengan Sabina.

Tetapi Yogi memperlakukan Naira dengan sangat jahat. Ia menendang, bahkan memaki Naira yang hanya ingin bertemu anaknya itu. "Dengar kamu, Naira. Kamu telah berselingkuh dariku, maka jangan harap kau bisa bertemu anakmu lagi!" Naira masih sangat ingat ucapan Yogi itu, ia tidak bisa melupakan apa yang sudah terjadi padanya. Bahkan ia juga ingat apa yang dikatakan Yogi setelah itu, "Sekarang kamu pergi dari sini, dan anggap saja aku dan Sabina sudah mati. Aku gak mau Sabina tau bahwa ibunya berselingkuh dengan laki-laki lain, benar-benar menjijikan!"

Naira sangat sakit hati di tuduh Yogi berselingkuh. Ia tidak pernah melakukan apa yang laki-laki itu tuduhkan, justru malah sebaliknya, ia beberapa kali menemukan bukti perselingkuhan Yogi dengan beberapa wanita termaksud Liana, teman sekantor Yogi.

Ia menutup mulutnya dengan telapak tangan, ia masih tidak percaya Sabina mengirimnya chat. Sudah hampir sepuluh tahun ia tidak mendapatkan kabar, dan ia juga terus menerus keberadaan mantan suaminya dan juga Sabina."Ya Tuhan, dia benar-benar Sabina. Anak gadis kecilku yang selalu aku rindukan untuk bertemu." Dan sekarang, ini seperti mimpi dan juga bencana buatnya. Sebab, Gunawan amat membenci masa lalu Naira yang sangat menyakiti hatinya itu. "Mungkin sekarang, dia sudah menjadi gadis yang cantik!" Walaupun begitu, Naira tetap mencintainya seperti dulu.

'Bu, apa Ibu udah lupa sama Sabina? Kalau pun memang Ibu ingin melupakan Sabina, bisakah Ibu menolong Sabina sekali saja?'

Pesan itu masuk ke kotak chatnya.

'Tidak ... tidak ... Ibu tidak mungkin melupakanmu, Nak. Kamu anak Ibu, kamu lahir dari rahim Ibu, sampai kapanpun Ibu akan selalu mengingat kamu, Sabina!' balas Naira begitu semangat. 'Apapun yang kau pinta, akan Ibu kabulkan. Jangankan satu, sepuluh bahkan ratusan pun akan Ibu kabulkan!'

'Terima kasih, Bu! Sabina mau kasih tau ke Ibu, Bapak sekarang sakit keras. Dan Sabina mau Ibu datang dan merawat Bapak, bu! Ibu mau kan datang dan merawat Bapak?'

Balasan pesan dari Sabina membuat Naira membisu. Ia tidak tau harus membalas apa. "Apa? Mas Yogi sakit? Dan-dan Sabina meminta aku untuk merawatnya?" Ia sangat bingung untuk menyanggupi permintaan putrinya itu. Sangat mustahil baginya untuk melakukan permintaan Sabina.

'Itu gak mungkin, Sabina! Bapak kamu sudah punya istri dan ibu juga sudah punya keluarga sendiri. Jadi, Ibu gak bisa mengabulkan permintaan kamu itu, Sabina.'

'Bukankah Ibu bilang mau mengabulkan semua permintaanku? Kalau emang itu benar, aku minta Ibu datang dan jangan banyak alasan!'

Balasan Sabina membuatnya terkejut. Isi chat Sabina begitu kasar dan sedikit mengancam dirinya. "Sabina? Kenapa dia bicara seperti ini padaku? Apa dia sangat membenciku? Tapi aku tidak bisa mengabulkan permintaan dia ini, kalau aku mengabulkannya, bagaimana dengan perasaan Mas Gunawan? Dia pasti membenci aku bertemu lagi dengan Mas Yogi!"

Apa sebenarnya hubungan Gunawan dengan kehidupan lama Naira? Kenapa Gunawan begitu membenci sikap Yogi. Laki-laki itu menuduhnya sebagai selingkuhan Naira yang dulu ia tidak begitu akrab atau bertegur sapa secara intens. Ia hanya sekali mengantar, saat Naira dan Gunawan lembur bersama mengerjakan proyek yang sama.

Seperti apa kisah dari keduanya?

Bersambung ....

avataravatar
Next chapter