webnovel

Kemarahan Gunawan

Naira cukup terkejut dengan pertanyaan Gunawan. "D-dari mana Mas Gunawan tau? Apa Mas Gunawan melihat aku sama Sabina bertengkar di depan rumah sakit?" bisik batinnya resah. Ia tatap suaminya, begitu besar amarah yang di tunjukkan Gunawan terhadap dirinya selama sebelas tahun ia menikah.

Laki-laki itu mendekat, dan Naira mendadak ketakutan. "Kenapa diam, Bun? Atau Bunda gak punya jawaban dengan pertanyaan Ayah ini?"

Degh!

Jantungnya hari ini benar-benar kacau, sudah beberapa kali ia dikejutkan banyak hal, chat dari putrinya yang sudah lama tak bertemu. Tiba-tiba ia dikejutkan dengan keadaan mantan suaminya yang dalam kondisi mengkhawatirkan. Lalu Jessica menambah kejutannya hingga hatinya benar-benar hancur, permintaan Sabina juga membuat ia sedikit kaget kala putrinya meminta ia kembali pada hubungan yang sudah sangat rusak. Dan sekarang, ia harus dikejutkan dengan pertanyaan Gunawan yang bikin ia terdesak.

"Bagaimana ini? Mas Gunawan pasti akan sangat marah bila aku mengatakan semuanya!" bisik batin Naira tak tenang. "Tidak ... tidak, aku tidak boleh gugup aku harus tenang, ya, kamu harus tenang. Kamu tidak boleh menjawab secara gegabah, Nai! Biar Mas Gunawan tidak marah padaku," bisik batinnya membuat ia harus menenangkan diri.

"Apakah dia anak dari pernikahanmu dengan laki-laki itu?"

Degh!

Lagi-lagi dia mendapatkan kejutan dari pertanyaan laki-laki yang sangat ia cintai itu. Naira langsung menatap Gunawan dengan ekspresi yang cukup tegang juga takut. Ada mimik wajah yang melukiskan bahwa ia sedang gelisah mendapatkan pertanyaan tak terduga dari mulut Gunawan.

"M-maksud A-ayah?" Naira tetap saja tidak bisa bersikap tenang. Nada suaranya sangat jelas bahwa ia sedang gugup. "I-itu tidak benar, Yah! D-dia anak temanku. Tadi aku h-habis menjenguk teman aku yang sakit dan anak itu kesal karena ibunya tidak mendengarkan apa ia inginkan!" Naira mencari kunci dan mencoba membuka pintu rumahnya. Ia tidak mau pertengkarannya menjadi tontonan para tetangga yang selalu ingin tau tentang pernikahan dan rumah tangganya dengan Gunawan.

Gunawan tersenyum cukup misterius. Lalu ia mencondongkan wajahnya. "Teman ... atau mantan suami kamu?" bisik Gunawan di telinga Naira. "Sudahlah, Bun!" Ia lalu menegapkan kembali tubuhnya dan mengalihkan pandangannya dari Naira. "Ayah melihat dengan mata kepala Ayah sendiri, Bunda dan anak perempuan itu mempunyai garis wajah yang sama dan juga Ayah sempat dengar dia memanggil Bunda dengan sebutan Ibu!"

Degh.

Degh.

Degh.

Jantungnya benar-benar dibuat tak berhenti berdegub oleh Gunawan.

"Bagaimana ini? Mas Gunawan sudah mengetahui semuanya!" batinnya kian resah. Ia tidak bisa berkata apa-apa lagi untuk membantah semua ucapan Gunawan.

"Apa yang bisa Bunda bantah lagi?" Lirik Gunawan tanpa menoleh. Ia seperti enggan melihat Naira yang sudah membohongi dirinya.

Naira tetap terdiam, kini hanya bisa menundukkan kepala sambil memainkan kuku-kuku jari tangannya. Ia kehilangan semua kata untuk bisa menenangkan hati Gunawan yang kian terasa panas. Itu yang sedang ia rasakan saat ini.

"Tidak, aku tidak mau pernikahanku hancur lagi. Aku tidak mau kehilangan Mas Gunawan hanya gara-gara mantan suami dan putriku." pikirannya benar-benar tak tenang. Otak dan batinnya di liputi rasa bersalah pada suaminya. Padahal, ia sudah berjanji tidak lagi akan berhubungan dengan mantan suami dan anak perempuannya itu.

Naira tau, Gunawan pasti akan sangat kecewa dengan sikap tak tegasnya ini. Suaminya itu sangat tidak suka bila ia harus mengingat kehidupan rumah tangganya dengan Yogi mengganggu rumah tangganya yang sekarang. Sebab, hanya Gunawan yang mengetahui secara detail apa yang sudah terjadi padanya selama ia masih hidup bersama Yogi. Dan Gunawan termaksud laki-laki yang Yogi curigai sebagai selingkuhan Naira.

Naira mendongakkan kepalanya, kemudian ia tatap tubuh Gunawan yang membelakangi dirinya. Kakinya mulai melangkah pelan, diam kala dirinya sudah sangat dekat dengan Gunawan. Ia sentuh dengan sangat lembut punggung laki-laki yang rela menikahi dirinya yang seorang janda. Dulu, di bahu itu ia menyandarkan kepala sambil menangis. Naira mengingat kala Yogi membawa Sabina saat usia putrinya baru menginjak tiga tahun.

"Bukankah sudah aku katakan padamu, Bun! Untuk tidak lagi menemui mantan suamimu itu?"

"M-maaf!" Naira benar-benar merasa sangat bersalah pada suaminya itu. "Ini semua salahku, Mas! Aku benar-benar minta maaf sama Mas."

"Tapi kenapa kau malah mengingkari semua janji kamu padaku?" Gunawan terus memojokkannya.

"Aku tidak mengingkarinya, Mas! Tiba-tiba saja Sabina mengirimkan aku pesan, ia butuh pertolongan aku. Dan aku benar-benar tidak tau pertolongan apa yang di pinta, ia hanya bilang datang ke rumah sakit itu!" kata Naira berusaha menjelaskan dan berharap Gunawan mempercayai apa yang ia katakan itu.

"Lalu kamu datang sesuai permintaannya?" Naira tertunduk, baru kali ini Naira mendengar suara suaminya yang begitu kencang. Dan kemudian ia mengangguk pelan.

"Dan kamu juga bertemu dengan mantan suamimu itu 'kan?"

Sekali lagi, Naira mengangguk dengan pasrah.

Gunawan melotot, ia sangat kecewa dengan sikap Naira yang mengingkari dirinya. Ia menyambar file-file di atas meja ruang tamu dan kemudian pergi meninggalkan Naira tanpa sepatah katapun.

"Mas ... Mas, kamu dengerin aku dulu. Ini semua memang salahku, tapi, masa aku tidak boleh menemui putriku sendiri. Putri yang sudah lama tidak pernah aku temui selama bertahun-tahun?" Naira mengikuti Gunawan dari belakang. Ia berusaha menghentikan langkah suaminya dan juga menjelaskan semua yang sebenarnya terjadi.

Gunawan berhenti melangkah tepat di ambang pintu. "Aku tidak marah kamu bertemu dengan putrimu! Tapi aku sangat marah ketika kamu beralasan bertemu putrimu padahal kamu bertemu mantan suamimu yang sialan itu!" Suara Gunawan benar-benar membuat Naira menciut. Nada suara suaminya begitu menggelegar saat marah seperti sekarang ini.

"M-mas?"

"Kenapa? Kamu marah aku sebut mantan suamimu itu laki-laki sialan?" Bibir Naira bergetar, lidahnya begitu kelu dan tidak mampu berkata apa-apa.

"Seharusnya aku yang marah sama kamu! Aku ini Suamimu, bukan dia! Jadi aku berhak bertanya dengan siapa kamu bertemu!" Gunawan begitu marah ketika mengetahui siapa yang ditemui istrinya itu. Belum pernah ia semarah itu semenjak ia menikahi wanita yang kini ada di hadapannya yang tak bisa berkata apapun.

"Dan aku berhak marah, karena yang kau temui adalah mantanmu. Mana bisa aku membiarkan kamu bertemu lagi sama laki-laki itu?" Gunawan membalikkan tubuhnya dan pergi keluar. Menaiki mobil dengan hati yang sangat kecewa, sedangkan Naira, ia hanya terdiam dengan perasaan yang kalut.

Ia seperti merasakan dejavu, merasakan hal yang sama di kedua kali pada pernikahaannya ini. Ia tidak bisa berbuat apa-apa untuk menghentikan kemarahan suaminya. Gunawan, ia merasa laki-laki itu pantas marah akan kebodohannya. Semua yang dikatakan Gunawan benar adanya. Tidak ada yang pantas bagi wanita untuk menemui mantan suaminya disaat ia sendiri sudah menikah dengan laki-laki lain.

Hatinya kalut, jiwanya terguncang. Pikirannya mulai dipenuhi pertanyaan-pertanyaan yang terus memojokan dirinya. Dan di hatinya perasaan bersalahnya mulai mengusik ketenangannya yang sudah sepuluh tahun menikah.

"Maafkan aku, Mas!" ucapnya pelan. Matanya mulai berkaca-kaca. Ada embun yang memendarkan pandangannya, dan kristal yang cukup keras, kemudian terjatuh.

****

Bersambung.