1 1. Penolakan

[Zam Zam, pulanglah. Hari ini, Ayah, mengundang Zahro ke rumah. Dia sudah kembali dari Jakarta]

Pesan singkat dari Ahmad-ayahnya tersebut cukup lama menjadi fokus Nizam. Dia paham maksudnya. Ahmad pasti ingin menagih janji Nizam tiga tahun yang lalu. Ada sedikit rasa grogi dan gelisah di rongga dadanya. Seketika Nizam merasa tertekan.

"Bro." Panggilan Wisnu yang baru saja memasuki ruangan membangunkan kembali kesadaran Nizam. Dia pun duduk di sofa yang tak jauh dari meja kerja sang empu.

"Ada apa?" Nizam menghampiri Wisnu lalu duduk di sebelahnya.

"Iwan bilang ada pabrik tua yang lagi pembongkaran di daerah Cempaka dan mereka ingin menjual besinya ke kita," jelas Wisnu. "Tapi, besok gue harus ke Karawang. Untuk pabrik di Cempaka, nggak ada yang bisa pegang. Iwan masih sibuk sama pabrik yang di Pagaden-Subang. Gimana?"

"Ya udah, biar gue aja yang handle. Cempaka-nya di mana?"

"Nanti gue suruh Iwan buat kirim lokasinya."

"Oke." Nizam mengangguk setuju.

Nizam Airlangga, tiga puluh tahun. Seorang pengusaha besi tua di daerah Subang. Pengusaha muda yang cukup atraktif dalam bekerja tersebut adalah mantan manager di salah satu perusahaan besar di daerah Jawa Barat. Namun, berhenti karena alasan kesehatan. Lepas dari pekerjaan lamanya, Nizam mengajak Wisnu dan Iwan untuk bekerja sama. Kemudian terbentuklah PT. LD Jaya Makmur.

Nizam kembali beralih ke meja keagungannya.

"Pulang cepet, Zam?" Wisnu melihat Nizam berkemas.

"Iya, Nu. Ayah nyuruh gue pulang."

"Gitu, dong. Sekali-kali pulang, nengokin orang tua, jangan sibuk gawe mulu." Wisnu terkekeh.

"Iya-iyaaa." Nizam menyeringai lalu menggelengkan kepala.

Selesai, Nizam pun bergegas pulang. Malam ini dia akan bertemu kembali dengan gadis yang namanya senantiasa bersemayam di lubuk hati. Entah akan seperti apa pertemuannya nanti. Sebenarnya Nizam merasa belum siap, tetapi tidak berani menolak.

Sesampainya di halaman rumah, Nizam disambut oleh Zahro.

"Assalamualaikum, Azam." Zahro melengkungkan senyuman kala Nizam memasuki rumah.

"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh." Debar jantung Nizam seketika terpacu saat melihat gadis itu lagi.

Kedatangan Nizam disambut senyuman gembira semua penghuni rumah. Mereka pun melaksanakan makan malam dengan suka cita. Tak lupa Nizam menanyakan kabar Zahro dan bagaimana pendidikan wanita itu di kota rantau. Namun, keceriaan semuanya lenyap kala tiba di pembahasan serius.

"Maaf, Yah, aku nggak bisa," tolak Nizam dengan tegas.

"Tapi, kenapa? Kamu pasti mempunyai penjelasan, 'kan?" Ahmad tampak gusar.

"Nggak, Yah. Aku nggak mempunyai apa pun untuk dijelaskan." Nizam berpaling haluan lalu memijat rahangnya dengan gelisah. Hatinya terasa amat berat kala harus mengatakan semua itu. Namun, dia terpaksa melakukannya. Itu semua Nizam lakukan demi kebaikan Zahro dan dirinya. Dia tidak boleh menikahi gadis tersebut.

Ahmad terlihat kian geram. "Tiga tahun, Zam Zam! Tiga tahun lalu kamu sendiri yang mengatakan ingin menikahi Zahro, lalu kenapa sekarang berubah?! Apa kurangnya dia?! Zahro gadis saleha dan berbudi pekerti luhur. Dia juga berasal dari keluarga yang baik." Raut wajahnya kentara akan kekecewaan. Ingin hati Ahmad memukul kepala Nizam supaya bisa berpikir jernih. "Apa mungkin dia mabuk?" pikirnya gusar.

Nizam berputar balik, tapi terlalu pengecut untuk menatap mata ayahnya. "Itu hanya kesalahan. Saat itu aku nggak serius." Matanya terlihat lengah menatap ke sembarang arah.

"Apa kamu bilang?!" Ahmad melayangkan pukulan, tetapi tak kuasa mendaratkan di wajah sang anak. "Argh!"

Bugh!

Ahmad malah melabuhkan kepalan tangan ke tiang rumah di belakang Nizam saking gusar. 

"Aku ingin menikahi Zahro, tapi aku minta waktu untuk mempersiapkan semuanya. Aku ingin menjadi suami yang layak sebelum menikahinya." Tiga tahun yang lalu Nizam mengutarakan keinginannya di depan keluarganya, juga keluarga Zahro dengan mantap. Dahulu dia merupakan seorang pemuda berkehidupan bebas. Tidak mau terikat aturan apa pun. Hingga tiba saat Nizam melihat Zahro didekati Akmal Alanza Kaif. Dia tidak rela. Dari situlah Nizam menyadari perasaannya. Tidak mau menyia-nyiakan waktu, Nizam pun memutuskan untuk berbenah. Keluarga Zahro merupakan kumpulan orang-orang yang taat beragama. Nizam khawatir tidak akan mampu mengimbangi mereka bila meminang Zahro dengan keadaannya saat itu.

"Om, udah, Om. Azam sudah mengambil keputusan. Kita nggak bisa berbuat apa-apa lagi. Biarkan saja. Mungkin dia udah nggak mencintai Zahro." Zahro yang sedari tadi diam pun pada akhirnya mengambil tindakan. Dia tak kuasa melihat ayah dan anak itu harus ribut karenanya.

"Tapi, Nak. Om …." Ahmad mengurungkan bicaranya kala melihat Zahro menggeleng.

"Sudahlah, Om. Biarkan saja." Zahro tersenyum ramah meski ada semburat kekecewaan yang samar melekat di wajahnya.

"Apa kamu nggak merasa sakit hati diperlakukan seperti ini?"

"Sakit hati? Tentu saja nggak. Hanya sedikit kecewa, tapi apa yang bisa diharapkan dari janji tiga tahun lalu? Setiap orang pasti akan berubah, begitupun dengan sebuah keputusan," tutur Zahro seraya tersenyum kecut. "Sudahlah, Om. Lupakan saja. Sekarang semuanya sudah jelas."

Ahmad menatap Zahro penuh kelembutan seperti mengasihani. Kemudian dia menoleh geram kepada Nizam-anaknya. "Lihat Zam Zam! Betapa bijaksananya gadis yang kamu sia-siakan ini! Ayah yakin, kamu pasti akan menyesal!" sergahnya.

Tampak Nizam menatap Zahro sejenak lalu memalingkan pandangannya. Tatapan yang sukar diartikan, rumit. "Ada apa denganmu, Azam? Kenapa kamu berubah?" batin Zahro.

"Kamu dingin, Zam Zam. Ayah nggak mengenali kamu lagi. Kamu bisa, 'kan, meminta waktu untuk berpikir? Nggak perlu langsung menolaknya begini. Kamu nggak mikirin gimana perasaan Zahro saat kamu menolaknya langsung di depan Ayah dan Ibu."

Jauh di lubuk hati, Nizam amat mencintai Zahro. Namun, karena sebuah alasan, dia memutuskan untuk mengubur perasaan itu. Nizam tidak mau melukai Zahro. Dia tidak ingin menyusahkan siapapun, terlebih Zahro. "Maafkan saya, Zahro," batinnya.

Tak kuat melihat roman sedih keluarganya, terutama Zahro. Nizam pun memutuskan untuk pergi dari sana, tanpa pamit. Namun, saat hendak menaiki mobil, tiba-tiba saja Zahro menghampirinya.

"Azam, tunggu!" Zahro berlari kecil menghampiri Nizam.

Nizam pun berbalik tanpa menyahut.

"Bisa kita bicara sebentar?"

Nizam hanya mengangguk.

"Kamu udah punya pacar, yah?" Zahro agak malu mengajukan pertanyaan ini, tapi dia penasaran.

"Nggak."

"Apa kamu membenciku?"

"Nggak."

"Apa kamu udah nggak mencintaiku lagi?"

"Eng." Nizam yang agak tersentak dengan pertanyaan Zahro pun seketika menatap gadis itu. "Saya mempunyai alasan." Dia tidak mau berbohong. Nizam memang masih mencintai Zahro.

Zahro tersenyum ramah. "Kapan-kapan aku pengin ngobrol banyak sama kamu, Azam." Dia sungguh ingin tahu apa alasan Nizam membatalkan pinangannya. Padahal sudah sejak lama Zahro menunggu hari ini tiba. Dia kira Nizam akan segera menyetujui semua lalu mempersiapkan segalanya. Namun, dugaan Zahro salah. Ini semua di luar ekspektasinya. Nizam telah berubah.

Assalamullaikum

Hallo semua. Makasih kepada pembaca

yang sudah mau mengikuti akunku.

Aku ada kabar sedikit, nih.

Aku bikin cerita pendek untuk nemein waktu

nunggu magrib kalian pas puasa besok.

Jangan lupa untuk masukin ke pustaka yah.

Doakan lancar.

Untuk Indira dan Fantasi itu, aku akan simpan dulu.

Sementara aku akan fokus pada cerita ini dan Diamanti yang akan terbit.

Makasih.🙏❤️

avataravatar
Next chapter