webnovel

Aku dan Suamiku

Warning! Mature content! "Seperti Sha, sahabatku yang menikah sangat muda, aku pun sama. Menikah di usia 16 tahun. Bahkan aku telah menikah dua tahun lebih dulu darinya. Bedanya kalau sahabatku itu suaminya selalu standby 24 jam di sampingnya, aku tidak. Bahkan saat ini aku tak tahu dimana suamiku itu berada. Dia meninggalkanku seminggu setelah menikahiku. Hanya dua kali aku melihat wajahnya. Tapi, bukan itu masalahnya. Kalian harus tahu apa yang dilakukannya padaku setelah dia kembali. So guys, read my story with my husband, if you really want to know!

Sinnadwi · Urban
Not enough ratings
53 Chs

Part 2 Dia Datang Lalu Pergi

Seharian ini aku tidak keluar kamar sama sekali. Setelah pemakaman Papa, aku mengurung diri di kamar. Tak menghiraukan siapa pun yang perduli padaku. Aku belum sanggup menghadapi dunia ini tanpa Papa, seorang diri.

 

Aku hanya bisa menangis, entah sudah berapa lama aku menangis. Air mataku tak pernah mau surut meski sekuat tenaga aku menahannya. Bayangan Papa selalu muncul saat itu juga, saat aku berusaha menghentikan tangisku.

 

Papa yang selalu tersenyum padaku, Papa yang sabar, Papa yang sangat baik, dan Papa yang selalu menuruti kemauanku. Papa yang telah pergi meninggalkanku di dunia ini selamanya. Lagi, air mataku mengalir semakin deras diiringi isak yang juga tak mau berhenti.

 

"Papaa.."

 

"Papaaa.. Hannah sama siapa sekarang? Siapa lagi yang bisa masakin Hannah, siapa yang akan antar Hannah sekolah. Papaa.."

 

Kudekap foto Papa dalam bingkai. Di sana Papa tersenyum bahagia dengan aku di pangkuannya. Meskipun saat itu aku sudah duduk di bangku SMP.

 

"Papa jangan pergi Pa.. Hannah sayang sama Papa."

 

Isak tangisku berhenti sesaat ketika tiba - tiba pintu kamarku dibuka paksa. Menimbulkan suara benturan yang sangat keras. Jantungku pun berhenti berdetak beberapa detik.

 

Dari pintu itu, muncul seorang pria jangkung dengan tatapan tajamnya. Langkahnya begitu mantab, tegas dan lantang. Kaki panjang itu semakin mendekat ke arahku. "Bangunlah." ucapnya dingin.

 

Aku hanya diam menatapnya. Tak mengerti apa maksud dari perkataannya itu. "Bangun, dan ikut saya." katanya lagi.

 

Kali ini tangannya menarik tanganku. Membawaku bangun dan turun dari ranjang. "Nggak mau! Mau kemana?!"

 

"Diam dan ikuti saya. Sudah cukup kamu mengurung diri di sini."

 

"Nggak mau! Nggak mau! Papaaaa!"

 

"Papaa! Hannah nggak mau!"

 

Teriakan demi teriakan yang aku hasilkan terbuang percuma. Tubuh tinggi itu dengan mudahnya menarik tanganku keluar dari tempat persembunyianku selama ini. Tubuhku terseret - seret memasuki mobil, entah milik siapa. Bahkan pintu mobil pun ditutupnya dengan kejam sebelum ia mengambil alih kemudi.

 

Rengekan dan teriakanku berhenti kala mata tajam itu menatapku sekali lagi. Tanpa kata dan hanya gerakan mata, membuat aku sekuat tenaga menahan isak tangis. Sesaat kemudian, mobilnya melaju membelah kemacetan kota yang selalu terjadi. Tanpa henti.

 

Satu jam kemudian, mobilnya memasuki sebuah halaman rumah yang luas. Rumah yang bagus, tapi terlihat sangat sepi. "Turunlah!" katanya bahkan sebelum aku selesai mengamati sekitar.

 

"Ini di mana?" tanyaku lirih. Takut - takut aku melihatnya. Nada suaranya yang dalam, membuat nyaliku menciut. Aku tak berani menatap matanya. Mata orang asing yang tiga hari lalu sah menjadi suamiku.

 

Dia turun. Tanpa menoleh dan tak menjawab pertanyaanku. Dua detik kemudian, pintu sebelahku terbuka. Dengan gerakan mata malasnya, ia menyuruhku untuk turun.

 

Aku menurut. Turun mengikutinya memasuki rumah besar yang serba putih ini. Langkahnya begitu lebar berkat kaki panjangnya itu. Sedang aku terseok mengikuti langkahnya.

 

Tanpa mengetuk, pintu itu dibukanya. Di dalam sana terlihat seorang wanita yang sangat cantik. Sepertinya aku pernah melihatnya. Tapi aku lupa. Beberapa hari ini aku tak pernah memperhatikan sekitarku. Tepatnya setelah Papa kritis dan masuk rumah sakit.

 

Wanita itu tampak terkejut, setelahnya tersenyum hangat saat melihatku. "Elang! Kamu nggak kasih kabar mau datang?" sapanya pada lelaki di sebelahku ini. Namun, yang disapa hanya diam. Dan aku tak berani mendongak menatap ekspresinya.

 

Wanita itu mendekat, semakin lama semakin dekat ke arahku. "Sayang, kamu sudah datang?" sapanya memelukku sungguh erat.

 

"Tolong Kakak urus anak ini. Aku mau pergi."

 

"Maksudnya?" aku dan wanita yang dipanggilnya kakak itu sama - sama mendongak. Tak paham dengan apa yang diucapkannya.

 

"Urus anak ini. Aku harus pergi!" katanya lagi. Sangat dingin.

 

"Kamu mau ke mana?"

 

Tanpa bicara, lelaki dingin dan keras itu membalik badannya. Pergi meninggalkan kami begitu saja. "Elang! Elang! Ya Allah! Elang!"

 

Bahkan teriakan kakaknya tak dihiraukan sedikit pun. Sesaat kemudian terdengar deru suara mesin yang kuyakin adalah miliknya. Kakaknya yang berlari mengejarnya diabaikan begitu saja.

 

Dasar adik durhaka!

 

"Hannah, duduk sini Sayang!"

 

Aku menurut saat lengan lembut itu merangkul dan menuntunku untuk duduk. "Mbaaak! Tolong siapkan minum." wanita itu berteriak, entah pada siapa. Mungkin pada asisten rumah tangganya.

 

"Hannah kelas berapa sekarang?"

 

"Kelas dua Tante."

 

"Loh, kok panggilnya Tante sih, panggil Kakak aja. Biar sama kayak Elang." katanya lembut. "Oh iya, kita belum sempat kenalan kan?"

 

Aku mengangguk menjawabnya. "Arunda, Kakaknya Elang. Suamimu." Tangan putih nan mulus itu terulur ke depanku.

 

Aku mengangguk dan menyambut uluran tangannya yang begitu lembut. Wanita ini benar - benar cantik. Rambutnya panjang sebahu, matanya lebar dan bersinar. Senyum ramah selalu menghiasi wajahnya.

 

"Sementara kamu tinggal di sini dulu ya, tunggu Elang pulang. Jangan sungkan sama Kakak. Kalau perlu sesuatu, katakan saja."

 

Aku mengangguk lagi. Entah berapa usia wanita ini, rasanya memanggil Kakak kurang sopan untuk diucapkan. Kak Arunda ini jelas usianya jauh di atasku.

 

"Kamu sudah makan Sayang?"

 

"Sudah Kak."

 

Bohong. Aku lupa kapan terakhir memasukkan nasi ke mulutku. Nafsu makanku menghilang. Lapar pun aku tak merasakannya.

 

"Ya sudah, nanti kita makan malam bersama saja. Sama Elang juga." tangan lembut itu mengelus pelan kepalaku. Membuatku tenang. Membuatku teringat kembali pada Papa yang selalu melakukan itu padaku. Juga teringat Mama yang mungkin juga pernah melakukannya.

 

Aku menunduk, air mataku kembali merembes. Hatiku benar - benar sakit. Bagaimana hidupku setelah ini?

 

"Hannah, sudah Sayang, ikhlaskan semuanya. Allah lebih menyayangi Papamu. Kamu tidak sendirian Sayang, ada kami di sini. Ada Elang yang akan selalu menjagamu, ada Kakak ada juga Ayah sama Ibu. Jangan menangis lagi ya." katanya yang merengkuh tubuhku kepelukan hangatnya. Tanpa suara, aku terisak di pelukannya.

 

"Sudah dong Sayang. Gimana kalau kita cerita tentang Elang saja. Kamu tidak penasaran dengan suamimu?"

 

Aku menatapnya saat ia melerai pelukan kami barusan. Lalu aku menggeleng. Aku tak bisa memikirkan apa pun setelah Papa meninggal. Bahkan aku lupa kalau aku sudah menikah. Dan tentu saja hidupku akan berubah sejak malam itu.

 

"Tidak ya?" Kak Arunda terlihat berpikir. Mungkin sedang mencari bahan obrolan baru denganku karena aku tidak penasaran dengan adiknya.

 

"Hmm.. Elang tampan tidak?" tanyanya bersemangat, seperti baru saja mendapat undian berhadiah. Mungkin dia senang karena mendapatkan bahan untuk dibicarakan denganku.

 

"Apa?" tanyaku memastikan.

 

"Elang tampan tidak?"

 

Aku menggeleng, "saya tidak tahu."

 

Aku hanya dua kali bertemu dengannya, saat akad dan pagi sampai siang ini. Aku tak sempat mengamati wajahnya. Lagi pula bagaimana aku bisa melakukannya disaat Papa sakit parah sampai aku kehilangan Papa. Mataku juga selalu mengabur dipenuhi air mata saat bertemu dengannya. Dan, aku tak sempat perduli dengan sekitarku. Yang kutahu hanya sosoknya yang tinggi, serta sekilas wajahnya yang begitu tegas, galak, dan kejam.

 

"Mmm... Menurutmu, dia bagaimana?"

 

"Galak dan pemarah." jawabku tanpa filter. Aku tak sempat lagi menyaring kata yang keluar dari mulutku.

 

"Galak? Hahahahaha." Kak Arunda tertawa. Wajahku datar memperhatikannya. Apakah ada perkataanku yang lucu? Apa yang ditertawakannya sampai seperti itu.

 

"Oh! Maaf maaf. Sebentar." kuperhatikan wanita yang katanya Kakak suamiku itu. Tangan dan bibirnya melakukan suatu gerakan. Nafasnya ia atur sedemikian rupa untuk menghentikan tawa sepertinya. Apakah sebegitu lucunya? Dimana?

 

"Ekkhmm... Elang itu, adik Kakak yang paling manis lho. Dia itu baik, penurut, juga sabar. Tidak galak sama sekali."

 

Aku menggerutu dalam hati. Manis dari mananya? Apakah lelaki pemaksa, kejam juga kasar bisa disebut manis? Dan apakah sikap kasarnya barusan itu bisa disebut manis dan penurut??

 

Aku hanya tersenyum miris menanggapinya. Berpikir lagi, bagaimana hidupku setelah ini. Menikah di usia enam belas tahun, tanpa orang tua, ditambah dengan suami kejam yang entah kemana saat ini.

 

Bisakah kukatakan kalau hidupku sudah hancur?

 

"Baiklah, kita lupakan Elang. Sepertinya kamu malas membahasnya."

 

Ya, tepat sekali. Aku malas membahas orang asing itu. Bagaimana bisa Papa menitipkanku pada lelaki tak bertanggung jawab sepertinya. Dan pertanyaanku, kenapa harus dengan menikah?

 

"Bagaimana sekolahmu?"

 

Aku kembali menapak mendengar suara Kak Arunda. "Baik." jawabku seadanya. Apa dia tidak tahu kalau aku sedang tidak dalam mood untuk berbicara?

 

"Kamu rencananya mau kuliah di mana setelah ini?"

 

"Saya tidak tahu."

 

Aku tidak tahu rencana hidupku setelah ini. Semua ini terlalu mendadak dan cepat untukku. Jangankan kuliah, sekolah saja aku sudah mulai kehilangan semangat.

 

Saat teman - temanku sudah mulai sibuk membicarakan rencana hidup mereka, saat itu aku sibuk memikirkan kesembuhan Papa. Dan sekarang pikiranku sedang kosong. Aku tak tahu lagi harus memikirkan apa. Apa rencana kuliah lebih penting dari kelangsungan hidupku saat ini?

 

"Ya sudah, kamu istirahat saja dulu. Nanti saat makan malam, Kakak bangunkan." Tangannya lembut mengelus kepalaku. "Ayo Sayang, kamu tidur saja di kamarnya Elang."

 

Aku berdiri mengikutinya, menuju ke sebuah kamar di lantai dua. Rumah ini begitu besar, namun sangat sepi. Tak ada orang lain selain kami dan asisten rumah tangganya.

 

"Nah, sekarang ini kamar kamu juga. Elang selalu di sini kalau sedang manginap. Kalau butuh apa - apa jangan sungkan ya."

 

Aku mengangguk, dan mendudukkan tubuhku di ranjang besarnya. Sebentar kuamati kamar ini. Besar sekali tentu saja. Tak ada fotonya sama sekali. Jika minggu depan dia tidak kembali, maka sudah dipastikan aku tak akan mengenalinya lagi saat bertemu. Bahkan saat ini aku sudah hampir lupa dengan sosoknya.

 

"Ya sudah, Kakak tinggal ya. Buat diri kamu senyaman mungkin. Anggap saja ini rumah kamu sendiri."

 

"Makasih Kak."

 

Sesaat kemudian kurasakan kecupan di keningku. Aku terhenyak. Aku tidak ingat kapan terakhir kali aku diperlakukan seperti ini. Aku juga sudah lupa dengan semua sentuhan Mama. Mama terlalu cepat meninggalkanku.

 

"Istirahatlah."

 

Setelah Kak Arunda menghilang dibalik pintu, air mataku kembali mengalir. Aku merindukan semua orang yang telah meninggalkanku.

 

----------

-tbc