webnovel

Daud yang Romantis

Mayang kebingungan sendiri saat memilih pakaian. Padahal hanya untuk makan ke Plaza, tapi sudah kayak mau pergi ke pesta saja.

"Haduh, aku enggak punya pakaian gimana ini?" Mayang memandang ke arah semua pakaian yang sudah dia bongkar dari lemari. Pakaian mewah semua, pemberian dari Andini.

"Belum make up lagi." Mayang melirik ke cermin yang memantulkan wajahnya yang kuyu. Namun, masih cantik tanpa kerutan. Dipoles make up sedikit, cantiknya sudah kebangetan.

"Harus tertutup, tapi menarik." Mayang akhirnya menjatuhkan pilihan kaos putih yang dipadupadankan dengan Cardigan untuk menutupinya. Bagian bawahnya menggunakan celana jogger pants. Terlihat sporty dan simple.

"Astaga, kayak anak kuliahan gini sih aku." Mayang narsis setelah pakaian melekat. Dia melenggangkan badan dan memutar tubuhnya di depan cermin. Dia senyum-senyum sendiri. Sekalipun tubuhnya terlampau berisi. Namun masih sangat sedap dipandang.

"Kira-kira gimana ya kalau orang-orang lihat nanti, Aku jalan sama Daud." Mayang mengetuk-etuk ujung telunjuknya dengan dagu. Membayangkan Daud yang bertubuh tegap dan besar itu bersanding dengannya. Apa mungkin dia masih dikira tante-tante? Pacar? Atau bahkan istri Daud?

"Bu Mayang, Sudah jam dua lho? Jadi enggak?"

Lamunan indah Mayang buyar. Sang pangeran ternyata sudah lama menantinya. Maafkan, daku pangeran, permaisuri memang butuh waktu lama untuk bersiap diri supaya tampil cantik. Mayang terkekeh. Geli sendiri dengan dirinya yang begitu excited, padahal Daud hanya mengajaknya makan lho.

"Sebentar! Make up belum selesai." Tinggal lipstick saja sebagai sentuhan akhir. Warna merah menyala sangat cocok dengan wajah Mayang yang putih. Terkesan cantik dan garang bersamaan.

Begitu Mayang membuka pintu, Raut wajah Daud yang semula suntuk berubah menjadi terperangah. Memperhatikan Mayang dari bawah sampai atas. Beberapa kali. Sampai kepalanya mengangguk-angguk.

"Kamu kenapa sih? Liatin saya gitu banget." Mayang menahan untuk tersenyum, meski berkata ketus. Berharap Daud memujinya dengan kata-kata indah.

"Berjam-jam saya menunggu, Bu Mayang hanya berpenampilan seperti ini?" Seketika wajah Mayang cemberut. Tidak sesuai dengan ekspektasi.

"Oh, jadi kamu tidak suka kalau saya dandan lama-lama. Ya, sudah enggak jadi deh." Mayang ngambek. Bagaimana tidak ngambek. Hampir tiga jam, dia dibuat kelimpungan untuk memilih pakaian yang pas. Walau pilihannya jatuh ke pakaian yang paling simple, tapi setidaknya hargailah perjuangan Mayang ini. Kan dia berpenampilan menarik demi kamu, Daud.

"Haduh, Tuan putri pakai acara ngambek segala. Bu Mayang tetap cantik kok, mau pakai pakaian sesimple apapun." Daud berkata jujur. Tidak dibuat-buat. Tulus. Mayang bisa merasakannya. Dada Mayang serasa mau meledak rasanya.

"Gombal kamu. Jadi berangkat enggak ini."

"Tentu, Tuan Putri. Ayo."

Daud menunggu Mayang menutup pintu terlebih dahulu, Barulah mereka berjalan menuruni tangga. Sekilas, Mayang melihat Daud yang hanya menggunakan kaos hitam dan celana jeans. Tidak lupa dengan kalung titanium yang menjadi identitasnya. Juga aksesoris gelang seadanya. Pasti pria itu tidak banyak berpikir saat memilih pakaian. Tinggal pakai saja, terus minyak wangi, minyak rambut. Lima menit kelar. Beda dengan cewek yang harus mempertimbangkan ini itu.

"Ini, Bu." Daud memberikan helm kepada Mayang.

"Hah, Naik motor?"

"Iya, memangnya kenapa?"

"Enggak, apa-apa sih."

"Ya, sudah. Ayo pakai. Terus berangkat. Sudah lapar banget ini."

Mayang tidak banyak berkomentar. Duh, padahal dia sudah dandan cantik begini malah diajak naik motor. Nanti kalau make up-nya luntur bagaimana. Sampai mall, enggak cantik lagi deh.

Mayang sudah memakai helmnya. Begitupun Daud yang menggunakan helm full wajah. Padahal wajahnya tertutup gitu kok masih keren saja sih. Belum lagi ketika dia menggunakan jaket jeans yang sengaja ditinggal di motornya. Gantengnya bertambah berkali-kali lipat.

"Naik." Daud memerintah. Terlebih dahulu, pria itu membenarkan letak pijakan supaya Mayang gampang menaikinya.

"Sudah siap?" Daud berucap setelah posisi Mayang begitu terhimpit oleh punggung besarnya. Iya, Belahan dada Mayang tergencet dengan punggung keras dan berotot itu.

"Joknya tinggi banget sih."

"Dari pabrik, memang sudah seperti itu, Bu." Daud menanggapi sekedarnya. Iya, kalau berdebat dengan Mayang nanti enggak selesai-selesai. Cacing di perutnya sudah demo.

Pria itu lantas menstater motornya. Kemudian, melaju.

Sepanjang jalan, Dada Mayang tergencet dengan bagian belakang tubuh Daud. Besar dan bidang. Mayang agak sedikit terkejut tatkala melewati jalanan di lorong kost penuh lubang. Mayang secara refleks memegang paha itu.

Pegangannya tidak terlalu kuat. Tidak mau terlalu kentara, karena sejujurnya dia suka bagian paha Daud yang keras dan sekal. Bergelembung depan layaknya pemain sepak bola. Intinya Mayang suka kaki pria pemain sepak bola.

Lepas dari kos, Daud mulai mempercepat laju kendaraannya. Mau tak mau, Mayang mempererat pegangannya. Kali ini bukan ke paha, melainkan ke perut Daud yang sekal berotot sembari Mayang yang menyandarkan kepalanya di punggung lebar itu. Entah kenapa, Pada saat itu Mayang merasakan tempat ternyaman untuk bersandar. Rasanya itu bahkan sampai menembus ke hati.

Namun, momen itu tidak bertahan lama, karena mereka sudah sampai di sebuah plaza.

Mayang turun duluan, baru kemudian Daud. Pria itu dengan cekatan melepas helm. Menyugarkan rambutnya berhadapan dengan spion. Memang kelakuan cowok rata hampir di semua tempat. Setiap turun dari motor selalu menyugarkan rambut. Sok ganteng. Tapi kalau Daud yang melakukannya. Enggak apa-apa, kan emang sudah ganteng.

"Bu Mayang enggak bisa lepas helm ya?" Daud beralih ke Mayang yang tampak kesusahan melepas pengait helm. Wajah Mayang memerah karena ketahuan tidak pernah naik motor. Namun, Mayang tidak malu berlebihan karena Daud yang memaklumi. Gaya pria itu juga hangat saat membantu Mayang melepas helm.

"Sudah, yuk jalan."

Setelah meletakkan helm, Daud mengajak Mayang masuk ke lift basement di mana parkiran itu berada.

Mayang memperhatikan Daud yang berjalan dulu. Pria itu cuek saja saat melepaskan helm Mayang. Dia tidak menyadari kalau Mayang baper parah. Berhadapan sedekat itu, dibantu dilepaskan helm. Mayang merasa diperlakukan romantis, sekalipun pria itu seperti tidak sengaja melakukannya.

"Bu Mayang, jangan kayak orang bingung. Sini."

Keluar dari lift tadi, Mayang seperti kebingungan karena begitu banyak orang di mall. Juga mallnya yang Mayang tidak pernah masuki. Begitu luas dan asing. Mayang hanya pasrah oleh pegangan tangan Daud yang menuntunnya menuju sebuah food court. Sekali lagi Daud membuat jantungnya berdebar-debar.

Ketika memasuki food court, Daud memegang ponselnya. Sebuah panggilan masuk.

"Ibu Mayang pesan dulu ya, Saya mau mengangkat telfon."

"Kamu pesan apa?"

"Apa saja terserah Bu Mayang."

Daud terlihat beringsut menjauh. Mayang memperhatikannya sejenak, sebelum akhirnya memilih tempat duduk dan memesan makanan.

Mayang memperhatikan gerak-gerik Daud. Suaranya agak meninggi, seperti marah. Beberapa kali, dia melontarkan kalimat ketus. Wajahnya berubah menjadi sangar. Cowok banget. Astaga, kenapa pikiran Mayang tidak henti-hentinya mengaitkan Daud dengan kekaguman.

Beberapa saat kemudian, dia menutup telfon. Wajahnya merah. Masih tampak emosi. Emosi yang terlihat juga tatkala Daud melakukan pemuasan diri di kamar mandi. Hasrat yang menggebu sama saja dengan marah. Dan Daud selalu mempesona di kedua situasi tersebut.

Selama tinggal bersama Daud, Mayang sedikit banyak tahu mengenai perangai dari pria itu. Kadang begajulan, slengean. Namun, di lain sisi, dia bisa begitu dewasa, penuh tanggung jawab, cool. Sifat asli dari Daud mulai terkuak secara perlahan.

Mayang pura-pura tidak melihat tatkala Daud mendekat. Pura-pura memainkan ponsel. Dia tidak mau bertanya sedikit pun. Pura-pura cuek dengan masalah yang menimpanya.

Sekilas, Mayang melirik, wajahnya agak tegang. Rahangnya bergerak-gerak menahan marah.

Anehnya, Mayang malah suka melihatnya. Suka melihat lelaki yang marah, mungkin karena aura kejantanan yang lebih terlihat.