1 Melahirkan

Oek … oek ….

Suara tangis seorang Bayi terdengar cukup keras di sebuah ruangan.

"Alhamdulillah. Bayinya lahir dengan selamat serta sehat dan segalanya dalam keadaan lengkap." ucap seorang Bidan yang membantu proses kelahiran anak ketiga dari pasangan suami istri yang terbilang cukup terkenal di kotanya.

Senyum manis terlihat jelas di wajah sang Ibu dengan keringat yang masih membasahi sekujur tubuhnya. Namun,

Berbeda dengan seorang Pria yang ikut menyaksikan bagaimana susahnya berjuang mengeluarkan seorang malaikat kecil dari dalam rahim istrinya, ia hanya berdiam diri sambil menatap Bayi yang masih merah itu sekilas.

Tak ada senyum apalagi tangis haru di wajahnya.

Ia hanya berdiam diri dengan ekspresi yang sangat kecewa.

"Tuan. Putrinya sangat cantik," ucap Bu Bidan setelah beres membersihkan juga memakaikan perlengkapan di tubuh sang Bayi.

Ia menyodorkan Bayi mungil tersebut ke hadapan bapaknya, "Tuan. Silahkan di adzani," ucapnya lembut.

Pria tersebut hanya meliriknya.

Tanpa sepatah kata pun, ia langsung berlalu dari hadapan mereka semua dan keluar dari ruangan tersebut. 

Setitik air menetes dari pelupuk mata seorang wanita. Ia tahu apa yang membuat suaminya seperti itu. 

"Mas?" ucapnya sambil menatap pintu yang sudah tertutup kembali.

"Nyonya," Bu Bidan mendekat dengan seorang Bayi di pangkuannya.

"Bu. Boleh minta tolong ambilkan ponsel saya?" ucapnya lirih. Ia menyeka air mata yang berhasil mengalir membasahi kedua pipinya.

"Boleh, Nyonya. Boleh banget," jawabnya antusias. 

Ia menidurkan Bayi yang berada di pangkuannya ke samping ibunya. "Anak cantik!" ucapnya seraya menoel pipinya pelan.

Senyum tipis terlihat di wajah sang Ibu.

"Sabar, ya, Nyonya?"

Anggukan pelan sebagai jawaban darinya.

"Sayang. Kamu adalah putri ibu … darah daging Ibu …  Kamu segalanya bagi Ibu," ucapnya lirih, "Sabar, ya, Sayang. Mungkin papamu lelah," ucapnya menghibur dirinya sendiri.

Ia mengusap-ngusap pipi anaknya lembut.

"Ya Tuhan. Kenapa kau mengujiku terlalu berat. Hamba tidak kuat, ya Tuhan," gumamnya dengan air mata yang telah mengalir deras.

"Nyonya. Ini ponselnya."

"Makasih, Bu Bidan," ucapnya dengan suara yang sedikit bergetar.

"Sama-sama," jawabnya.

Ia kemudian meraih ponsel yang diberikan oleh Bu Bidan.

Satu nomor ia tekan, kemudian ia tempelkan ponsel tersebut ke telinganya.

Hhhhhh ….

Satu tarikan nafas ia hembuskan sebelum seseorang yang ia telepon mengangkat panggilan darinya. 

Ia juga menyeka air matanya terlebih dahulu sambil terus berusaha menenangkan dirinya.

"Halo, Bang." ucapnya dengan suara yang sedikit serak.

"Ada apa, Nasya?" Terdengar sebuah jawaban dari seberang telepon.

"Bang. Aku sudah melahir-kan," ucapnya sedikit tercekat.

"Kapan?"

"Barusan, Bang. Ini juga masih di rumah sakit," jawabnya sedikit tenang.

"Alex mana? Apa dia ada disana? Kenapa tidak menghubungi kami disini?" brebet pertanyaan darinya berhasil membuat kedua mata Nasya berkaca-kaca.

"Sya? Nasya?!"

"Em," Nasya tidak langsung melanjutkan ucapannya. Nafasnya sedikit sesak dengan mata yang sedikit perih, "Mas Alex, … ada Bang. Ada. Dia lagi tidur. Mungkin kelelahan karena dari semalam tidak tidur jagain aku," ucapnya berbohong.

"Sya. Jangan coba-coba untuk membohongi Abang. Abang tahu kalau Alex tidak ada disana."

Nasya terisak. "Bang?"

"Sudah. Jangan menangis lagi. Abang langsung kesana sekarang. Kamu jangan pikirin orang yang seperti itu," ucapnya penuh kasih sayang.

"Iya, Bang. Makasih banyak," jawabnya lirih.

"Jangan menangis lagi."

Nasya mengangguk sambil menyeka seluruh air matanya.

Tutt ….

Panggilan berakhir.

"Bu. Aku mau mau mandi dulu. Titip anakku, ya? Kalau ada yang nelpon, Ibu angkat saja," ucapnya lembut

"Baik, Nyonya."

Nasya turun dari atas ranjang sambil dibantu oleh seorang Suster, dan membawanya sampai ke depan kamar mandi.

"Kasihan sekali dirimu, Nak," gumam Bu Bidan sambil duduk di sisi ranjang.

Ia menatap lekat wajah mungilnya dengan mata yang berkaca-kaca, "Kenapa di dunia ini harus ada seorang Bapak yang seperti itu," ucapnya lirih. Ia tak tega melihat seorang Bayi yang diabaikan begitu saja oleh bapaknya sendiri tanpa mau mengadzaninya terlebih dahulu.

Air matanya sudah tidak bisa ia tahan lag, "Semoga kamu terus diberi kebahagiaan, Nak," ucapnya sambil menangis. Ia  mengelus pipi Bayi tersebut lembut, "Semoga kau jadi anak yang berbakti, berguna, dan sholeh, Sayang."

Rasa perih yang dirasakan oleh orang lain, tidak sebanding dengan rasa sakit yang yang tengah dirasakan oleh Nasya.

Sakit dan juga kecewa bercampur jadi satu dalam dirinya.

Tapi,

Ia selalu tegar dan sabar dalam menghadapinya.

.

.

Setengah jam berlalu. Kini Nasya sudah terlihat sangat segar dengan baju khas rumah sakit yang ia pakai dan ruangan yang sudah berbeda.

"Nyonya. Kami permisi dulu?" ucap seorang Bidan dan Suster yang sedari tadi menemaninya.

Nasya mengangguk pelan. "Terimakasih banyak."

Mereka mengangguk.

"Aku salut dengan hatimu, Nyonya," gumam Bu Bidan dalam hati.

Mereka kemudian berlalu meninggalkan mereka berdua dalam kesunyian.

Namun,

"Nasya!"

Seorang Pria berparas tampan dan penampilan yang sangat rapi, masuk ke dalam ruangan tersebut.

Nasya menatapnya sambil tersenyum manis. "Abang," ucapnya pelan.

"Nasya."

Mereka berpelukan dalam sesaat.

"Uh. Ponakan Om … cantik banget, sih?" ucapnya seraya mendekat pada Bayi yang tengah tertidur pulas.

Nasya semakin melebarkan senyumannya.

"Sudah kamu beri nama, Sya?"

Deg ….

Raut wajah Nasya seketika berubah.

"Kenapa, Sya?"

Nasya hanya menunduk sedih.

"Sudah … jangan kamu pikirkan lagi Pria yang seperti itu, Sya." ucap kakaknya lembut.

Nasya menggeleng.

"Sya?" Ia menyeka air mata adiknya yang berhasil keluar.

"Dia belum di adzani, Bang?" ucapnya lirih.

Hah?

Nasya menatap kakaknya dengan wajah yang basah. "Bang?"

Tanpa pikir panjang. Sang kakak langsung meraih Bayi merah tersebut, dan langsung mengumandangkan adzan di telinga kanannya.

Suara tangis dari Bayi tersebut pecah bersamaan dengan suara adzan yang keluar dari mulut omnya.

Tangisannya juga berhasil membuat Nasya menangis kembali.

Antara haru juga sakit ia melihat juga mendengarkan kakaknya lah yang mengadzani anaknya.

"Sakit, ya Allah. Sakit sekali batinku melihat anakku yang di adzani bukan sama papanya," gumamnya dalam hati.

"Anakku. Kau lah anakku, Nak. Anakku yang paling cantik sedunia," ucapnya setelah mengumandangkan iqamah di telinga kiri keponakannya.

Ia memeluk tubuh mungil itu dengan penuh kasih sayang.

"Ayahmu adalah aku," ucapnya sembari mencium seluruh wajahnya.

Aaaaaa … aaaaa ….

Bayi tersebut malah terus menangis.

"Cup, Sayang. Jangan menangis lagi. Ayah ada disini bersamamu," ucap kakaknya Nasya dan berhasil membuat hati Nasya semakin terasa diremas-remas.

"Bang. Sepertinya dia haus.  Biar aku kasih ASI dulu, Bang," ucapnya lirih.

Kakaknya menatap Bayi yang berada di pangkuannya teduh. Kemudian ia beralih menatap adiknya, "Jangan menangis terus, Sya? Abang sakit melihatmu seperti itu," ucapnya seraya menghapus air mata adiknya.

Nasya mengangguk, lalu ia meraih anaknya.

"Kamu tinggalkan saja suamimu, Sya. Abang tidak kuat melihatmu tersiksa terus seperti ini," ucapnya seraya membelai rambut adiknya lembut.

Nasya menggeleng.

"Apa yang kamu harapkan, Sya? Hanya sekedar mengadzani anakmu saja, ia tidak mau, Sya? Apa masih pantas kau harapkan Lelaki seperti itu?"

Nasya menunduk sambil menatap anaknya teduh.

"Mungkin Mas Alex khilaf, Bang."

"Sya?!"

"Bang. Seburuk apapun Mas Alex memperlakukanku, … dia adalah suamiku, Bang … dan aku harus patuh padanya."

"Tapi, Sya. Ini sudah kelewat batas. Dia sudah tidak pantas disebut sebagai suami lagi!"

Nasya tetap menolak untuk menurut pada kakaknya.

"Sya. Coba kamu nurut dan dengerin apa kata Abang. Mungkin semuanya tidak akan seperti ini, Sya."

Nasya hanya bisa diam sambil menunduk meratapi nasibnya yang semakin memburuk setelah mempunyai seorang anak. Terutama setelah melahirkan anak kedua.

Semuanya sikapnya,

Perhatiannya, dan,

Kasih sayangnya langsung berubah.

Dia juga jadi tidak betah di rumah.

Dia selalu keluyuran dan pulang larut malam. Kemudian paginya ia sudah berangkat bekerja.

Meskipun begitu. Nasya selalu sabar menghadapi suaminya yang makin kesini makin berbeda. 

Nasya mengingat akan bagaimana nasib d kedua Putri-putrinya nanti, dan sekarang ia sudah bertambah satu Putri lagi. 

Ia harus ekstra sabar untuk menjalani rumah tangganya yang hanya tinggal sebuah nama dan itu juga sudah berada di ujung tanduk.

______ Kerukunan di dalamnya telah hilang ditelan sebuah keinginan yang sulit dipenuhi oleh istrinya _____ 

avataravatar
Next chapter