1 Part 1 - Malaikat di Bawah Hujan

Apakah kalian percaya keajaiban cinta?

Entah percaya atau tidak, kemari. Akan kubisikan satu rahasia.

Lebih tepatnya bukan tentang aku. Tapi dia. Perempuan berbaju navy yang datang dan pergi bersama hujan. Mungkin kalian tidak tahu. Atau, barangkali kalian tau, tapi tidak percaya. Kala langit menitikkan bulir-bulir bening nan dingin, dia ada diantara kalian.

Dia tak bisa tidak menengadahkan tangannya saat hujan. Tersenyum gembira sembari sesekali memejamkan mata. Barangkali karena dinginnya hujan, kilau bulir-bulirnya, ditambah angin yang menerpa, membuat mata kalian tak melihatnya.

Di salah satu sisi jalan yang basah, dia berdiri mamanggul ransel navynya. Dia si gadis gila buku yang tidak percaya pada keajaiban. Payung selalu dibawanya. Bukan berarti ia tak suka hujan. Justru kebalikannya. Ia kerap kali menantinya. Dialah Nurul Hayya. Akrab dipanggil Ayya.

Hujan memerangkap gadis itu di teras mushola. Di sisinya, berdampingan dengan jalan raya. Dia mengawasi langit kelabu sambil menggigiti bibir. Jari-jarinya mengetuk-ngetuk kaki. Di kedua pipinya, hujan meninggalkan jejak. Butir-butir kecil yang hampir tidak tampak. Tangan kanannya memegangi lengan kirinya yang ngilu—seakan tak menyatu.

"Kak Ayya...," salah seorang anak berpayung motif kartun kucing memanggilnya.

Ayya tersenyum. Sembari tetap memegangi lengan kirinya. Sesaat, dilepaskannya. Untuk leluasa melambaikan tangan pada anak berpayung kartun kucing yang memanggilnya.

"Kak Ayya belum pulang?" salah seorang anak lain mendekatinya di teras Mushola.

"Belum, sayang. Adek kenapa belum pulang?" 

"Mau sholat dulu, Kak."

Ia tersenyum. Sesekali memeriksa jalanan. Seperti sepasang kekasih di tengah hujan, lalu menunggu seseorang menjemput dengan payungnya. Namun, tunggu dulu. Apakah dia menanti seorang kekasih? Atau dirinya yang lain?

Ia malah memeriksa buku di ransel navynya. Matanya lekat memastikan halamannya aman. Tak basah karena hujan. Tak rusak karena terlipat jarak.

Dia tidak punya waktu. Satu jam lagi, ia harus sampaikan sesuatu. Tak ada musim yang menunggu kotanya siap sedia. Kota itulah yang harus siap sedia selalu. Siapapun tak bisa mengutuk hujan, hanya karena waktu. Apalagi hanya karena gerutu.

Kalau saja di ranselnya tak ada buku dan sesuatu itu, mungkin ia akan menerobos hujan. Lebih dari satu jam ia menunggu di sana, hujan tak kunjung reda. Aroma petrichor yang dinantikannya, pun belum muncul sempurna.

Gadis itu kembali membuka ranselnya. Mencari pena dan menuliskan rahasia di bukunya. Percik-percik kembang api keluar darinya.

Bersama rintik jatuhnya bulir bening dari langit, dahinya mengernyit. Diperiksanya ponsel kembali. 

"Kamu sudah sampai mana?" Sebuah pesan kembali dilayangkannya.

Namun, sampai lima menit tak ada balasan. Perempuan yang mengeluarkan percik kembang api dari penanya itu tetap membuat garis senyum penuh kesabaran. Kembali, ia mengirim pesan. 

"Kamu masih dalam perjalanan? Disana hujan deras kah? Kamu bawa jas hujan 'kan?" Pesannya mulai berbeda. Ya. Kekawatiran mulai menyelimuti matanya.

Anak kecil yang tadi menyapanya keluar dari mushola. "Kak Ayya belum pulang?" "Belum, sayang. Masih nunggu jemputan."

"Ouh gitu. Aku duluan ya, Kak. Kawatir ditungguin Bu Nana. Assalamualaikum, Kak Ayya... ." Ia memakai sandal ungunya. Segera berlari menerobos hujan dalam cerianya.

Kawatir. Apakah kekawatiran hanya usaha sia-sia menebak takdir yang tak perlu ditebak? Namun, lihatlah. Perempuan gila buku yang mengeluarkan percik kembang api di penanya tetap tersenyum. Tangannya mengulur pelan menerima bulir-bulir bening dari langit malam itu. Memejamkan mata. Meninabobokan cemas dan kawatir di matanya.

Sebuah kotak pesan masuk di ponselnya.

"Maaf, aku sepertinya terlambat. Kamu masih di sana 'kan?"

Tanpa membuat pengirim pesan itu menunggu, perempuan itu langsung membalasnya.

"Gapapa. Iya, aku masih di sini. Hati-hati, ya. Jangan ngebut." Segaris senyum kembali dibuat di bibirnya yang kian dingin.

Perempuan itu kembali melanjutkan yang ditulisnya di halaman buku. Percik kembang api keluar dari penanya. Letupan-letupan kecil nan lucu itu selalu saja disukainya. Aneh, memang. Kenapa perempuan ini menyukai hal-hal kecil yang bahkan orang lain akan menganggapnya sebuah kesia-siaan? Ah, tunggu dulu. Apa pula makna sia-sia?

Tak ada sia-sia dalam kamus hidupnya. Denting waktu di jam tangan bermotif buku itu menunjuk angka sembilan lewat sepuluh menit. Sudah satu setengah jam ia menunggunya. Namun, tak ada raut wajah sedih, kesal, apalagi marah darinya.

Kata orang, wajah perempuan sepertinya tak cocok kalau marah. Jadi, ia sudah belajar tak menampakkan marah sedari kecil di wajahnya. Ia pindahkan dalam pena. Ke dalam halaman-halaman buku yang penuh mata dan telinga.

"Kamu masih terjebak hujan? Atau sudah jalan?" Perempuan itu kembali mengirim pesan pada seseorang yang ditunggu.

"Sebentar lagi aku kesana. Sabar, ya."

"Sabar?" Ehm, sebut saja perempuan itu belum memenuhi kriteria sabar. Saat hujan mulai kembali ke tanah sepenuhnya, aroma petrichor menyerbak indahnya. Mata perempuan itu terpejam. Dibiarkannya hidungnya mencium aroma khas itu.

"Indah... sejuk. Aku suka aromanya."

Sebuah motor berwarna biru melintas tak jauh dari Mushola tempat perempuan itu menunggu. 

"Dia? Kok? Ko gak kesini? Siapa perempuan yang diboncengnya?"

"Ah, aku salah melihat saja paling." Ia menutup halaman buku yang berisi sesuatu. Memasukkannya ke dalam tas, dan mempersiapkan diri dijemput entah oleh siapa.

Perempuan itu memegang secarik kertas. Ternyata, ia sudah mengambilnya terlebih dahulu. Dimasukkannya ke dalam sebuah amplop lucu. Sebuah amplop bermotifkan buku dan hujan. Hujan dan buku. 

"Semoga kamu suka." Lirihnya pada amplop lucu itu.

Namun, seseorang yang ditunggu tetap tak kunjung di depan matanya.

"Kamu gapapa 'kan? Ada halangan di jalan? Motormu macet? Atau... bajumu basah kena hujan?"

Anehnya, tak ada mata curiga apapun pada yang ditunggunya. Perempuan itu tetap menumbuhkan kasihnya. Semata, berharap seseorang yang akan diberinya kertas di amplop lucu itu baik-baik saja. Tak ada balasan. Namun, waktu terus berjalan. Angka di jam tangannya kian menghantarkan pada gelapnya malam. Pukul sepuluh lebih sepuluh.

"Ya Tuhan, sebenernya dia dimana? Dia baik-baik saja 'kan?" Matanya mulai berkaca, tapi ditahannya bulir mata segera.

"Kak Ayya gak pulang? Mampir ke panti aja, yuk, Kak. Gapapa kan, Bu?" seorang anak kecil bersandal ungu itu merengek. Meminta Bu Nana untuk memberi atap panti untuk Ayya.

"Iya, Nak. Daripada di mushola. Sudah malam, kawatir. Ayuk, mampir ke panti aja. Anak-anak pasti suka."

"Terimakasih, Bu. Tapi saya sedang menunggu seseorang." Jawabnya ramah.

Seseorang dengan motor biru itu tiba-tiba datang di depan matanya.

"Naah, dia sudah datang, Bu. Sebelumnya terimakasih ya, Bu. Maaf, kalau sudah membuat kawatir Ibu." 

"Ouh, iya Nak. Gapapa. Syukur, kalau yang jemput sudah datang. Kalau ada apa-apa, mampir ke panti lagi aja, Nak. Nginep di sini gapapa." Jawabnya ramah.

Anak kecil bersandal ungu dan Ibu Nana pun segera berlalu. Meninggalkan perempuan berbaju navy yang datang dan pergi bersama hujan. Pun, meninggalkan seseorang yang menjemput perempuan itu. Seorang laki-laki berwajah hujan dengan motor biru.

"Maaf, sudah membuatmu lama nunggu." Ucap laki-laki berwajah hujan itu. Tak lain tak bukan adalah Aksa.

"Gapapa. Kamu baik-baik aja 'kan?" Perempuan itu masih saja mengkawatirkannya. Padahal, dirinya agaknya lebih perlu dikawatirkan. Saat perempuan itu hendak memakai helm, aroma lain tercium. 

"Oh ya, kamu tadi pake jaket apa? Kok gak basah kena hujan?"

"Ouh, tadi dari rumah emang pakai jaket coklat. Tapi kehujanan, dan tadi mampir lewat temen, dikasih pinjam ini."

"Pantesan. Jarang sekali kamu pakai jaket merah muda. Aneh aja."

"Hehe iya. Gapapa 'kan?"

Perempuan itu hanya tersenyum. 

"Oh ya, kamu bawa apa?" Laki-laki berwajah hujan itu tak jadi mengenakan helm padanya. "Kayanya itu buat aku yah?" 

Perempuan itu mengangguk. Laki-laki berwajah hujan itu kian mendekatinya. Bersiap menerima amplop lucu itu. Amplop lucu yang berisi sesuatu—dibuat dari tinta yang dikeluarkan pena dengan percik kembang api di dalamnya. Mata mereka semakin bertemu. Namun, hal lain terjadi. Perempuan itu melihat bunga lain tumbuh subur dari mata laki-laki berwajah hujan itu. Selama ini, hanya satu bunga yang selalu dilihatnya. Namun, malam itu bunga lain tumbuh juga. Refleks, perempuan berbaju navy itu menjatuhkan amplopnya.

"Kenapa?"

"Gak papa. Aku baru ingat ada perlu lagi sama anak di panti. Sepertinya, aku akan menginap di sana malam ini. Kamu pulang saja. Maaf." Perempuan itu menunduk. Memaksa diri berbohong, untuk tak memerlihatkan amarahnya. Berlari kecil menyusul seorang Ibu dan anak bersandal ungu. "Bu, Maaf, boleh saya menginap di panti untuk malam ini?" Sapanya.

"Boleh sekali, Nak Hayya. Mari." Mereka berlalu. Meninggalkan laki-laki berwajah hujan yang menumbuhkan dua bunga di mata perempuan itu. 

"Tunggu! Kamu kenapa?" Sia-sia. Laki-laki itu memungut amplop lucu. Sebuah amplop yang berisi kertas dengan tinta percik kembang api di dalamnya. Seakan terbakar beberapa detik saat bertemu dengannya.

Dibukanya amplo berisi sesuatu itu.

Selamat Ulang Tahun, Hujanku.

Semoga kau tetap merawat satu bunga di halaman matamu.

Bulir bening mengalir begitu saja darinya.

***

Namun, di jalan yang lain, perempuan itu terus menebar kasih. Ia tetap membaca buku. Menulis sesuatu. Mengeluarkan percik kembang api dari pena. Meluapkan amarah pada halaman buku yang penuh mata dan telinga. Menebar senyum dan tawa pada anak-anak.

Pun, menawarkan teduh puisi pada mereka. Ia terus saja begitu. Seakan melupa, hujan tak lagi datang dan pergi bersamanya. Hujan tak lagi turun dari langit. Tapi dari matanya yang terus menebar kesejukan. Tanpa terhalang siapapun yang mengecewakannya.

Ia percaya apapun yang menimpanya, ia ingin menjadi seperti malaikat di bawah hujan. Hanya menaburkan kasih, tanpa peduli apa yang didapatnya. "Mulai hari ini, biarlah aku seperti malaikat di bawah hujan. Datang dan perginya membawa rahmat. Apapun yang kudapat. Maafkan aku, Aksa. Aku hanya kecewa." Lirihnya.

"Keajaiban. Apakah sekarang aku perlu memercayainya?" "Aksa, kenapa percaya dan melupa jadi sedemikian dekat jaraknya? Baru saja aku memercayakan telingamu, tapi hari ini?" Lirih Ayya.

avataravatar
Next chapter