1 Awal Permainan Bunga Merah

Empat orang siswa putih abu-abu berkumpul di kelas yang sudah lama tidak digunakan. Meja, kursi yang terbuat dari kayu sudah rusak berbaris di pojokan ditata tidak rapi. Bau ruangan lembab bercampur debu ada genangan air di lantai dari atap yang bocor, menimbulkan bau amis. Di luar siang hari tapi di sini cahaya seolah enggan masuk.

"Lo, yakin main disini?" tanya Pelita sambil mengerutkan kening mengedarkan pandangan memutari ruangan. "Ko gue worried ya?"

"Gak mungkin juga kita main di kelas?" tutur Qiana. Menarik meja usang yang penuh dengan coretan tidak jelas, bahkan pinggiran mejanya sudah patah juga terdapat jejak rayap.

"Gimana Cara mainnya Qin?" tanya Vanessa, melihat Qiana meletakan satu lembar kertas juga uang logam di atasnya.

"Ikutin gue! Tapi, jangan lepas tangan kalian dari koin ini, ngerti?"

Semua mengangguk, mengerti.

Qiana, Pelita, Vanessa, Federica. Meletakan masing-masing telunjuk mereka di atas koin lama seratus rupiah tertera tahun pembuatannya pada tahun 1978 silam. Qiana sendiri mendapatkan uang logam itu dari orang yang memperkenalkan permainan memanggil roh ini. Dulu ia sempat berpikir ini hanya akal-akalan Suri temannya. Ternyata saat Suri tidak ada dan roh dipanggil, nyatanya uang logam itu memang bergerak di bawah telunjuknya. Awalnya terasa aneh, namun kini sudah terbiasa, Qiana mainkan bersama temannya.

Suri adalah anak seorang pendatang yang kebetulan menyewa rumah di samping Qiana dulu. Ia datang ke kota ini untuk berobat, katanya Suri mengidap penyakit yang belum ditemukan penyebabnya. Ia bisa sewaktu-waktu meraung kesakitan yang tidak jelas asal sakitnya dari mana. Kebetulan di kampung Qiana ada orang pintar. Dulu berbulan-bulan Suri di sana sampai akhirnya ia sembuh lalu kembali ke kampung halamannya. Persahabatan mereka pun sampai disitu, lagi pula Qiana pun meneruskan pendidikan di kota besar menjadi anak kos.

Jailangkung jailangse di sini ada pesta kecil-kecilan datang tak dijemput pulang tak diantar.

Jailangkung jailangse di sini ada pesta kecil-kecilan datang tak dijemput pulang tak diantar.

Jailangkung jailangse di sini ada pesta kecil-kecilan datang tak dijemput pulang tak diantar.

Mereka memulai permainan. Satu kali mantra diucapkan Qiana bertanya.

"Jailangkung apa kamu sudah hadir?" Tidak ada pergerakan koin masih di tempat kosong, yang artinya roh belum hadir.

Mantra kembali mereka ucapkan untuk memanggil.

"Jailangkung jailangse di sini ada pesta kecil-kecilan datang tak dijemput pulang tak diantar."

"Jailangkung jailangse di sini ada pesta kecil-kecilan datang tak dijemput pulang tak diantar."

"Jailangkung jailangse di sini ada pesta kecil-kecilan datang tak dijemput pulang tak diantar." Qiana kembali bertanya, "Jailangkung apa kamu sudah hadir?" Koin itu bergeser dari lingkaran kosong menuju lingkaran yang berisi kata.

"Ya."

Napas keempatnya seakan terhenti. Jantung mereka berpacu. Pelita, Vanessa, Federica bersamaan menoleh melihat Qiana. Seakan bertanya apakah ini sungguhan?

Suasana seketika sunyi.

Qiana sangat mengerti apa yang ada di kepala mereka sama dengan pertanyaannya dulu pada Suri. Qiana memejamkan matanya sesaat, ikuti permainan!

"Siapa nama kamu? " tanya Qiana lagi.

Koin itu kembali bergerak di bawah telunjuknya menuju huruf-huruf yang tertera di kertas satu persatu sampai membentuk sebuah nama "Bunga" Koin itu belum selesai ia terus bergerak menuju huruf, m.

"Bunga merah," ulang Qian. "Kenapa kamu mati?"

Uang logam itu kembali berputar menunjuk satu demi satu huruf. "Bakar!"

Qiana makin heran baru kali ini ia memanggil roh yang jawabannya tidak sesuai dengan pertanyaan yang ditanyakan. "Kamu mati karena terbakar? Ada kebakaran?"

"Stop! Lo kalo nanya yang bermanfaat kenapa sih! Bunga siapa yang juara kelas? Di kelas gue?" Federica dengan gaya centilnya bertanya.

Koin itu kembali berputar mencari huruf, sampai membentuk nama. "Federica."

Federica tersenyum bangga, melihat semua temannya, ia memang pintar juga cantik. "Bunga. Dewa punya cewek gak?" Ia kembali bertanya makin penasaran dengan permainan juga merasa semakin menarik, jika kita bisa mengetahui segala hal dengan permainan roh ini.

"Tidak," kata itu kembali membuat Federica melebarkan senyuman antusias.

Federica bersorak dalam hati laki-laki yang ditaksir sejak lama ternyata memang tidak memiliki kekasih, tapi kenapa laki-laki begitu dingin pada perempuan? "Bunga. Dewa suka cewek kaya apa sih?" tanyanya lagi.

Koin itu kembali bergerak. "Yang baik."

"Gantian gue yang nanya Fee." Pelita unjuk suara dibanding pertanyaan soal laki-laki lebih baik pertanyaan yang berfaedah.

"Rese deh lo... Gue belum selesai nanya, pengen tau tentang Dewa lebih banyak." Federica mulai emosi pada Pelita, derajatnya lebih tinggi dari Pelita tidak sepantasnya parasit digrupnya ini menyela pertanyaan pentingnya soal Dewa.

"Bunga. Dimana ibu aku sekarang? " Pelita tidak gentar dengan perkataan Federica. Ia harus mencari tahu di mana ibunya berada dengan cara apa pun.

Uang koin itu kembali berputar mencari satu demi satu huruf sampai membentuk kata.

"WC."

Pelita dan Qiana saling beradu pandang. Ibu dari Pelita sudah lama pergi ke kota lain bekerja menjadi asisten rumah tangga dan beberapa bulan ini tidak ada kabar dari beliau. Pelita sudah mencoba mencari ke tempat ibunya bekerja tapi kata pemilik rumah ibunya sudah lama berhenti.

"Woyyyyy.... Lagi pada ngapain lo? Wah…. Pada main apa lo semua? Alah... Bohong, ini tangan lo kan yang gerak?" Tunjuknya pada wajah Qiana

Empat anak laki-laki masuk mengagetkan Qiana dan yang lainnya. Dengan suara berisik serta memukul-mukul meja keempatnya tidak percaya dan terus saja berisik.

"Loh, semua bisa pada diem gak sih!" geram Qiana tapi tidak di hiraukan yang lain, para anak Laki-laki itu semakin banyak yang datang melihat kelas yang tadinya sunyi seketika jadi gaduh.

Koin di tangan Qiana berputar, terus saja berputar melingkar koin itu tidak mau berhenti ke tempatnya, Qiana kebingungan apa yang harus ia lakukan siswa lain terus saja berdatangan mengelilingi mereka sampai harus menarik meja untuk berdiri melihat Qiana dan yang lainnya.

"Bunga kamu marah? " Qiana bertanya ditengah suara gaduh siswa lain yang terus saja berkata tidak percaya.

"Ya."

Koin kembali berputar. Semakin kencang Federica dan Vanessa mulai panik mereka ingin melepaskan jarinya dari koin. Tapi ingat apa yang dikatakan Qiana sebelum permainan dimulai tidak ada yang boleh melepaskan jarinya, kecuali koin sudah masuk pada tempat yang kosong.

Koin terus berputar Qian mulai bingung apa yang harus dilakukan sedangkan siswa semakin banyak berdatangan tidak menutup kemungkinan guru juga akan datang.

"Bunga sekarang kamu pulang yah!"

"Tidak!" Koin kembali berputar.

"Nanti ada guru, kamu pulangi dulu!"

"tidak!"

Qiana kembali terdiam roh itu menolak untuk pulang telunjuknya mulai lelah terus berputar.

"Nanti kita main lagi! Sekarang kamu pulang dulu!"

Koin itu berhenti lalu bergeser.

"Ya."

Saat koin sudah kembali pada tempatnya barulah Qiana lega, permainan usai. Sekalipun masih ramai di sana. Ada kelegaan dimata Qiana. Ia melihat tajam seisi kelas dibalas tawa para anak laki-laki yang mengganggu permainannya. Semuanya bubar meninggalkan kelas berjalan ke arah pintu.

Qiana paling belakang tiba-tiba saja angin berhembus kencang, mengibarkan rambutnya dan membuat bulu-bulu halus di tengkuknya berdiri. Qian sedikit menoleh pada sudut ruangan, di situ berdiri siswi lain yang asing untuk Qiana. Rambutnya sebahu dengan poni menutupi mata, ia sedikit menunduk jadi Qiana tidak begitu jelas melihat wajahnya ada yang aneh ia seakan tidak, berjiwa. Qian kembali berjalan meninggalkan sosok asing yang ia lihat 'mungkin anak kelas lain' ujarnya dalam hati.

"Qin mana kertas tadi sama koinnya?" pinta Federica.

"Buat apa Vee?" Qiana tetap memberikan pada Federica.

"Nggak cuma pengen nyimpen. Sore balik bareng gue?"

"Gak usah."

"Oke deh, gue duluan ya!" Federica melambaikan tangan.

avataravatar