1 Hari yang Melelahkan

Aurora berlari sekuat tenaga mencapai sebuah halte bus yang terletak tidak jauh dari rumahnya. Hari ini dia akan melakukan sesi interview pekerjaan. Namun sayangnya gadis itu terlambat bangun hingga harus berangkat dengan terbirit-birit.

Setelah lulus dari sebuah universitas negeri dengan indeks prestasi kumulatif pas-pasan, akhirnya tiga bulan kemudian dia mendapatkan sebuah panggilan interview untuk yang ke sekian kalinya. Tidak tanggung-tanggung sebuah perusahaan besar berminat merekrutnya saat ini. Sungguh sebuah kesempatan emas.

Namun, dasar Aurora .... gadis barbar yang tidak pernah mempunyai komitmen dalam hidup malah bangun kesiangan dan hampir menyia-nyiakan kesempatan emas itu. Halte terlihat ramai dengan beberapa orang yang menunggu kedatangan bus mereka. Wajar saja, ini hari Senin di mana banyak orang masih bersemangat untuk pergi bekerja.

Aurora melihat arlojinya yang menunjukkan pukul delapan kurang lima belas menit. Lima belas menit lagi adalah janji temu ia dengan kepala bagian HRD. Sebuah bus dengan tujuan yang ia inginkan tepat berhenti di depan halte. Orang-orang bergerombol masuk ke dalamnya. Sayangnya Aurora kurang cepat. Saat akan naik, bus itu sudah sesak dengan penumpang. Terpaksa ia mengurungkan niatnya.

Sebelah kakinya menghentak kesal di Lantai halte. Gemertak gigi yang beradu menyiratkan kegusarannya. Kemungkinan diterima pekerjaan pun sirna jika saat akan interview saja ia sudah telat datang.

Di sebelah Aurora, kira-kira berjarak satu setengah meter, tampak seorang pria tampan berdiri dengan kemeja putih bergaris hitam tipis yang sedang menoleh ke arah arlojinya. Sebuah name tag terkalung di lehernya. Namun, tidak terlihat jelas siapa namanya dan di mana ia bekerja. Pria itu tampak menggigit bibir bawahnya dengan gelisah. Dia pria yang bernasib sama seperti Aurora. Tidak mendapatkan busnya pagi ini.

Gadis itu menoleh kepada pria di sampingnya. Tanpa sengaja mata mereka saling bertemu. Tak disangka, wajahnya mengalihkan dunia Aurora meskipun hanya sebentar. Wajah tampan yang dapat menghipnotis seluruh wanita di dunia.

"Astaga! Astaga! Tampan sekali." Mulutnya komat-kamit mengatakan hal itu. Kalimat yang meluncur dari mulut Aurora terdengar olehnya. Si pria tampan tiba-tiba mengernyit menatap Aurora.

"Ada yang salah?" tanyanya setengah berteriak.

Mata Aurora membulat mendengar suara beratnya. Kadar hormon testosteronnya pasti sangat bagus. Suara si pria terdengar seksi layaknya pria macho. Jantung Aurora pun mulai berdegup tidak karuan.

Kepala Aurora sontak menggeleng kuat. Aurora tampak rikuh dibuatnya. Ia sontak menyunggingkan senyuman aneh hingga pria itu menggeleng pelan. Dari kejauhan, tampak sebuah taksi yang melaju. Dengan sigap, pria itu mengulurkan tangannya ke depan. Taksi pun berhenti tepat di depan mereka. Tanpa membuang waktu lagi, pria tampan itu segera masuk ke dalam.

Mata Aurora membola. Diikutinya langkah pria tersebut masuk ke dalam taksi. Tidak peduli tujuan sang pria, yang ada di dalam benak Aurora adalah ia harus cepat sampai di Diamond Smith Company. Kalau perlu, ia merebut taksinya, seperti yang saat ini ia akan lakukan.

Duduk berdampingan dengan pria itu di dalamnya membuat pria itu tersentak kaget. Dia membeliak tatkala melihat seorang gadis yang duduk di sampingnya.

"Hei, ini taksiku!" pekiknya membuat Aurora menoleh sambil menyengir tidak tahu malu memperlihatkan barisan gigi serinya yang yang rapi.

"Kalau boleh tahu, ke mana tujuan Anda? Jika tujuan Anda searah dengan kantor Diamond Smith Company, saya ikut. Saya sudah telat. Sangat telat! Saya mohon bantuannya," katanya memohon.

Kening laki-laki itu mengernyit. "Kau bisa turun untuk mendapatkan taksi lainnya."

Pandangan Aurora menukik ke arah name tag yang menggantung di lehernya. Nama laki-laki itu Ben Reagan Amancio, Diamond Smith Company. Namun tidak ada tulisan jabatan di sana.

Membaca tulisan yang tertera pada name tag-nya sontak membuat cengiran gadis itu bertambah lebar karena mereka mempunyai tujuan yang sama.

"Bagi dua .... Ongkosnya bagi dua, ya? Kita mempunyai tujuan yang sama. Oke, Tuan Ben?"

Ben mengernyit, langsung menundukkan kepalanya. Menyadari kalau Aurora mengetahui namanya dari name tag yang ia kenakan.

Ben bernapas panjang seketika. Tanpa menyahut lagi perkataan Aurora, dia menyuruh sopir taksi untuk menjalankan mobilnya. Sepanjang jalan Aurora tak bisa mengalihkan pandangannya dari tangan kekar Ben yang sibuk memperhatikan ponselnya. Entah apa yang membuat pria itu begitu sibuk.

Ben tidak memberi kesempatan untuk Aurora bertanya tentang perusahaan yang akan mereka datangi. Padahal Aurora ingin sekali bertanya banyak hal mengenai perusahaan kepada Ben. Ya! Sekali lagi Ben tidak peduli dengan gadis itu.

Memangnya Anda siapa, hah?! Mungkin kalimat ini yang mampir di benak Ben selama perjalanan.

Tiga puluh menit kemudian mereka tiba di depan lobi kantor. Ben melangkah tergesa memasuki lift. Aurora menghela napas panjang berjalan beberapa meter di belakang Ben. Terjadi sebuah insiden yang membuat pria itu tampak lebih kesal dari sebelumnya.

Setelah sosok itu menghilang, Aurora kemudian melangkahkan kakinya menuju meja resepsionis. Jam dinding di belakang resepsionis menunjukkan waktu tepat pukul delapan lebih lima belas menit. Walau sudah terlambat datang interview, Aurora masih berharap bisa melakukan interview emasnya pagi ini.

Pandangannya menatap wajah dua orang resepsionis yang duduk di sana. Wajah mereka yang segar nan cantik tentunya sengaja diperlihatkan di lobi kantor karena mencerminkan identitas perusahaan.

Sayangnya, Aurora menjadi kurang percaya diri dibuatnya. Wajahnya yang biasa-biasa saja hanya mampu ditopang oleh bedak dan lipstik tipis agar terlihat segar. Setidaknya bagi orang-orang asing yang akan melihatnya. Sebenarnya itu hanya sebuah pembenaran bagi Aurora. Ia tidak bisa berdandan layaknya para wanita yang pintar bersolek.

"Selamat pagi. Maaf, apa saya masih bisa ikut interview pagi ini? Saya harus bertemu dengan Nona Magdalena."

"Sebentar, ya." Resepsionis itu melirik jam dinding di belakangnya. "Atas nama siapa?" tanya resepsionis itu lagi.

"Aurora Marry Jhonson."

Resepsionis itu lalu mengangkat teleponnya. Dia menghubungi seseorang. Tidak lama kemudian telepon itu ditutup. Mengangkat wajahnya seketika memandang Aurora.

"Nona Magdalena memperbolehkan Anda untuk ke atas. Ruangan interview di lantai sembilan belas. Ini kartu visitornya dan good luck untuk interviewnya, ya!" kata resepsionis itu memberi semangat.

"Wah, terima kasih atas bantuannya. Saya sangat terharu."

Aurora lalu berjalan menempelkan kartu visitornya hingga berbunyi dan bisa lewat jalur pembatas lobi. Debaran jantung yang membuatnya gugup mendadak datang padahal ia belum bertemu dengan Nona Magdalena.

"Semoga lancar. Semangat, Rora!" katanya menyemangati diri sendiri.

Aurora masuk ke dalam lift, menekan lantai sembilan belas. Tak lama kemudian, ia keluar dari sana. Berjalan di lorong yang sepi dan bertemu dengan seorang sekuriti.

"Permisi, saya ingin melakukan sesi interview. Di mana ruangan interview-nya?" tanyanya kepada sekuriti itu.

"Anda bisa masuk ke dalam." Sekuriti itu membukakan pintu ruangan mempersilakan Aurora untuk memasuki ruangan yang mirip dengan aula.

"Terima kasih," ucap Aurora.

Gadis itu melihat lurus ke depan. Sekitar tiga puluh bangku hampir terisi semua. Aurora menelan ludahnya melihat pemandangan itu. Semuanya akan melakukan interview yang sama. Mereka akan bersaing mendapatkan pekerjaan di Diamond Smith Company.

Semangat, Rora! Kau harus mendapatkan pekerjaan ini. Aurora kembali berkata dalam hatinya.

avataravatar
Next chapter