9 Satya Mahika

Anna bercermin pada ponselnya, melihat matanya memnag membengkak.

"Astaga, semalam lupa."

"Habis nangis?"

"Hehehe iya, langsung tidur saja."

"Kirain sama Pak Aksel lagi."

"Bukan kok."

Mereka bekerja kembali karena sudah banyak sekali pekerjaan yang menantinya. Apalagi Anna yang memiliki setumpuk dokumen yang harus diselesaikan secepatnya.

"Dan, kayaknya hubunganku sama Gibran bisa kandas karena masalah ini."

"Hah, kenapa? Gibran enggak percaya kamu?"

"Kamu tahu sendiri dia keras kepala."

"Jangan bilang semalam nangis karena dia juga?"

Anggukan perlahan dari Anna dengan tatapan sendunya.

"Dia enggak mau mendengarkan, takutnya nanti aku yang akan kehilangan Gibran juga."

"Tunggu ketemu dulu, kamu jelaskan baik-baik. Semoga saja dia mengerti."

Tampak seorang karyawan berjalan cukup cepat menghampiri meja Anna.

"Permisi, Bu. Ada yang mencari Bu Anna di depan."

"Siapa?"

"Laki-laki atau perempuan?" tanya Aksel yang berada di pintunya.

"Laki-laki Pak, kalau tidak salah namanya Satya."

Mata Anna seketika membelalak. Ia berdiri dan hendak berjalan menemui tamu tersebut.

"Jangan ditemui."

"Pak, dia mau ketemu saya."

"Saya tidak mengizinkanmu."

"Satya itu adik kandung saya."

Aksel diam dan tanpa izin pun Anna berlalu di hadapan Aksel.

Setibanya di depan, Anna segera menggandeng tangan Satya menuju kantin. Ruangan yang memiliki bagian terbuka.

"Kenapa ke sini?"

"Kakak marah?"

"Enggak, bukannya kamu kuliah kan?"

"Hari ini ada libur, makanya ke sini."

Anna mengehela napasnya.

"Kamu jangan marah atau benci sama kakak."

"Jelaskan dulu semuanya."

Perlahan Anna menjelaskan apa yang sebenar-benarnya terjadi, meski sedikit malu dan tampak memalukan namun ia harus menceritakan hal tersebut. Berkali-kali Satya menghela napasnya.

"Kamu diam berarti kamu marah dengan kakak, ini memang salah. Tapi kakak enggak punya pilihan."

"Pantas kakak enggak mau cerita. Satya paham kondisinya ini enggak sepenuhnya kesalahan Boss kakak ataupun kakak."

"Tapi tetap saja dia salah, dia melecehkan kakak."

"Kalau orang memang ingin bermain dengan kakak, enggak akan mungkin ia pusing atau panas, bisa saja dia langsung menghabisi."

"Kamu sejak kapan jadi dewasa begini?"

"Jadi selanjutnya bagaimana?"

"Awalnya mau resign, tapi kamu tahu sendiri keadaan di rumah bagaimana?"

"Ayah sama Ibu masih sama?"

"Lebih parah."

"Kenapa kakak masih mau tinggal dengan mereka? Kakak punya uang lebih baik tinggal sendiri saja."

"Iya, nanti. Uangnya belum cukup."

"Apa masih selalu minta uang juga?"

Anna menganggukkan kepalanya "Ayah lebih parah dari semula, kakak juga heran mereka bekerja tiada henti tapi masih kurang dan kurang, dan kalau kamu tahu masalah sekarang ini mereka dengan senang hati. Bahkan Ibu malah minta Boss kakak antar jemput."

"Maaf ya kak, Satya belum bisa bantu banyak. Uang Satya kerja masih belum bisa bantu."

"No, enggak perlu. Urusan mereka biar kakak saja."

"Baiknya kakak enggak usah kirim uang lagi, Satya sudah kerja kak."

"Seharusnya kakak yang bilang itu ke kamu, jangan kamu yang jadi kakak dong."

Satya sedikit tersenyum.

"Setelah ini kamu mau ke mana? Ke rumah?"

"Enggak akan ke rumah sampai lulus dan kerja kak, Satya enggak suka di rumah."

Anna terdiam dan memandangi Satya, ia menepuk-nepuk pundak adiknya tersebut.

"Sudah lama, kakak lanjutkan kerja saja. Satya pamit. Maaf ganggu."

Tangan Anna sibuk merogoh sakunya dan menemukan uang 3 lembar lima puluh ribu.

"Bawa ini, kakak enggak kasih yang lainnya. Uangnya sedikit lagi."

"Enggak usah, Satya punya uang."

"Satya, kamu sudah dewasa sejak kapan sih? Terima saja. Kakak bakal kecewa kalau kamu enggak terima."

Satya mengambil uang tersebut. Ia memegang tangan Anna dan meninggalkan Anna.

"Satya pergi dulu, ada apa-apa telepon saja."

Tidak ada jawaban apapun dari Anna selalin senyuman dan sedikit rasa sedihnya. Rupanya adiknya saat ini sudah begitu dewasa. Setidaknya ia masih bersyukur memiliki adik yang mengerti keadaannya.

Anna kembali ke ruangannya dan melanjutkan pekerjaannya yang tertunda. Perlahan-lahan tumpukan berkas semakin menyusut namun, tentunya masih akan sangat banyak pekerjaan yang menantinya.

"Satya pulang?"

"Enggak ke rumah, ke sini saja. Anak itu mana mau ke rumah."

"Memang iya, rasanya kalau jadi Satya dan kamu juga enggak akan di rumah. Apa ya, runyam banget rasanya."

"Sebenarnya sama, capek iya, marah iya, tapi bingung. Mereka masih orang tuaku juga."

"Sabar dulu, proses dewasa kita beda-beda."

Senyuman canggung Anna lemparkan, ingin tersenyum lebar pun rasanya akan hambar.

Waktu sudah menunjukkan pukul 6 sore. Namun Anna masih bekerja.

"Kamu mau lembur?"

"Kayaknya iya deh, banyak banget kerjaan."

"Besok enggak bisa apa?"

"Enggak tahu, takut aja tiba-tiba Pak Aksel minta, kelabakan nanti."

"Kebanyakan sekretaris yang sudah kerja di sini enggak akan kuat lembur terus."

"Kenapa? Banyak kerjaannya juga?"

"Iya, selain itu akhir bulan pasti klien meningkat. Pemberkasan dan pergi ke luar kota bakal sering."

"Jujur, aku malah takut mau ke luar kota lagi."

"Takut kejadian itu?"

Anna menganggukkan kepalanya.

"Semoga saja enggak, itu kecelakaan. Kamu wanti-wanti saja kalau begitu."

"Pulanglah, nanti keburu malam."

"Kamu beneran lembur sendiri?"

"Iya, dari tadi juga sudah bilang."

"Aku enggak tega, aku temani saja ya."

"Duh, enggak usah. Biasa kok ini. Aman."

"Beneran?" tanya Danita entah sudah keberapa kalinya.

"Iya, astaga Danita. I'm okay."

"Oke, aku duluan."

"Dahh, hati-hati ya."

tangan danita melambai pada Anna. Kini ia melanjutkan pekerjaannya. Sebelum itu ia membuat segelas kopi dahulu, agar badannya cukup rileks dan mampu lembur.

Anna mengerjakan berkas-berkas yang diberikan Aksel seorang diri. Hingga pukul sembilan, ia memutuskan untuk menyudahi saja lemburnya. Ia takut semakin malam tidak akan ada Bus yang menuju ke rumahnya.

Ia akan melanjutkan pekerjaannya besok lagi dan pukang dahulu.

Malam itu hujan deras, Anna berlari menuju halte seorang diri. Sampai setengah sepuluh malam belum ada Bus berhenti di halte.

"Ini hujan kayaknya kompromi banget sama Bus enggak datang."

Anna menggerutu sendiri, ia memeluk dirinya sendiri menggunakan kedua tangannya. Kantor tersebut memang masih terang, karena masoh ada yang bertugas malam. Kantor perusahaan Aksel tentu dijaga seketat mungkin. Tidak memberikan celah sedikitpun pada orang-orang yang berniat jahat.

Cahaya dari mobil menyilaukan matanya. Anna menutupi wajahnya dengan tangan yang semula memeluk dirinya sendiri. Mobil itu berhenti di depan Anna, tampaknya juga mobil tersebut berasal dari kantor.

"Oh Pak Aksel."

"Kamu mau saya antar atau menginap di sini?"

Sebuah pertanyaan dan penawaran yang tidak mengenakan bagi Anna.

Anna enggan menjawab, karena saat ini ia memang membutuhkan tumpangan.

"Naiklah."

Dengan sedikit berlari Anna menutupi kepalanya menggunakan tas untuk pergi ke mobil Aksel.

"Pak, tapi saya basah."

"Cepatlah masuk, semakin lama kamu masuk semakin basah, Anna pintar!"

avataravatar
Next chapter