webnovel

Pov Ricki

Aku sangat terpukul dan kecewa saat tau dia, orang yang sangat aku cinta ternyata lebih memilih uang daripada memilihku. Aku pikir setelah kejadian di villa malam itu, dia tidak akan mau berpisah denganku. Jika seorang gadis sudah di ambil kehormatannya oleh kekasihnya, tentu dia tidak akan mau melepas kekasihnya begitu saja. Tapi ternyata aku salah. Uang tetap di atas segalanya.

Tapi saat aku menunjukkan bukti video saat dia menerima uang dari mamaku, dia tidak mau mengakui padahal buktinya sudah sangat jelas. Dia sungguh munafik.

Aku akhirnya menerima saja apa yang orang tuaku minta. Dengan kuliah di luar negeri, semoga saja aku bisa melupakannya dan bisa mendapatkan pengganti dia.

Malam itu juga aku dan orang tuaku terbang ke Australia, menyusul kakakku yang sudah lebih dulu kuliah di sana. Aku bertekad akan melupakannya walau sangat sulit.

***

Apartemen, Australia

Aku terbangun dari tidurku setelah lelah mengurusi urusan kuliah di kota M, Australia. Kepindahan yang mendadak membuat urusannya makin ribet. Aku pun merasa lapar lalu berniat ke dapur.

Baru saja keluar kamar, samar-samar aku mendengar seseorang menyebutkan nama Nindia. Aku pun jadi kembali ingat pertemuan terakhir ku dengan Nindia yang sangat menyakitkan.

"Bagaimana pa, mama hebat, kan?" mama berkata dengan nada bangga.

"Yah itu juga atas bantuan si Vina kan, ma. Mana bisa mama lakukan sendiri hal seperti itu," papa menimpali.

"Iya sih pa, tapi tidak masalah yang terpenting si Nindia anak tidak jelas itu sudah tidak bisa lagi mengganggu Ricki!" mama tersenyum semringah.

"Iya mama benar. Demi masa depan Ricki kita harus bisa memisahkan Nindia dari Ricki. Papa tidak mau Ricki hidupnya seperti keponakan papa yang hidupnya susah. Menikah muda dan tidak punya masa depan," papa bicara sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada.

"Oh iya pa, daripada Ricki sama si Nindia lebih baik sama Vina, kan. Orang tua nya juga terpandang tidak jauh beda dari kita."

"Iya juga ya ma. Si Vina juga pintar. Idenya untuk memisahkan Ricki dari si Nindia berhasil. Sepertinya anak itu mencintai Ricki."

"Papa benar. Vina sangat mencintai Ricki dari sejak mereka kelas 1 SMU. Tapi dasar Ricki yang tidak menyadari."

"Mungkin karena pengaruh dari si Nindia itu, ma."

"Tapi untungnya si Nindia bodoh itu tidak mau menerima cek dari kita. Uangnya bisa buat mama shoping di sini ya, pa."

"Iya mama ambil saja cek 1M itu. Terserah mama mau di pakai buat apa."

"Papa, mama!? Jadi begitu kebenarannya?" aku langsung datang dengan wajah emosi.

"Ricki ,sayang . . . Kamu sudah bangun, nak? Kamu mau makan apa biar di siapkan sama bibi," mama berpura-pura tidak mengerti apa yang aku katakan.

"Sudahlah ma, jangan pura-pura tidak tahu. Jadi kalian bersekongkol memisahkan aku dan Nindia!"

"Sayang tidak seperti itu. Kamu salah dengar!" mama masih menyangkal.

"Iya Rick, kita sedang membicarakan teman SMU kamu yang bernama Vina itu loh. Anaknya baik ya, ma?" papa ikut menutup-nutupin.

"Iya Vina. Kalian anggap dia baik karena bisa membantu kalian memisahkan aku dan Nindia!" aku lalu kembali ke kamarku.

"Rick, dengar mama dulu!" Mama berusaha mengejar tapi aku sudah lebih dulu menutup rapat pintu kamar dan menguncinya.

Aku lalu meraih handphoneku yang aku taruh di atas nakas. Aku coba menghubungi nomor kontak Nindia berkali-kali tapi tidak bisa. Kamu kemana Nindia! Batinku. Lalu aku ambil surat-surat untuk mengurus perjalananku kembali ke Indonesia tanpa bertanya dulu pada orang tuaku. Segera aku meninggalkan apartemen tanpa menggubris orangtuaku yang berusaha mencegah kepergianku.

"Ricki mau kembali ke Indonesia sekarang!" ucapku saat berpapasan dengan orangtuaku di ruang tamu.

"Rick. . . ! Beberapa hari lagi kuliah mu di mulai nak. Kamu tidak bisa pergi seperti ini!" papa berusaha mencegahku.

"Bagaimana ini, pa?" mama terlihat stres.

Namun aku sudah tidak bisa di cegah. Dengan setengah berlari aku meninggalkan apartemen. Yang ada di pikiran ku saat ini hanyalah Nindia, Nindia, Nindia. Sampai di Indonesia, aku langsung menuju ke rumah Nindia.

***

Sampai di indonesia, aku langsung ke rumah Nindia. Tapi kenyataan yang aku dapatkan sungguh di luar dugaan. Nindiaku pergi. Pergi dengan membawa cinta yang tumbuh di rahimnya.

Sejak kedatanganku ke rumah Nindia, hatiku makin hancur. Lebih hancur daripada saat perpisahan waktu itu. Apalagi saat ibunya Nindia mengatakan kalau Nindia sudah pergi dari rumah karena hamil. Nindia hamil anakku, darah dagingku. Dan kini aku tidak tau dia ada di mana.

Bagaimana kehidupannya di luar sana. Pergi tanpa membawa apapun dan dalam keadaan hamil. Sungguh aku seperti gila memikirkannya.

Semua adalah kesalahanku. Kehamilannya, kepergiannya. Andai dulu aku mau mempercayai kata-katanya, mungkin saat ini dia masih ada di dekatku. Mungkin aku dan dia saat ini sedang bahagia menunggu kelahiran anak pertama kami.

"Rick, ayo aku antar pulang! Kamu sudah minum terlalu banyak!" Riko sahabat SMU yang selalu menemani di saat-saat aku menghabiskan malamku di sebuah club di kota S.

"Aku belum mau pulang! Aku masih mau mencari Nindia ku! " tolakku seraya menepiskan tangan Riko.

"Mana ada Nindia di sini, Rick. Ayo pulang, besok bisa kamu cari lagi."

"Aku tidak mau! Kamu pulang sajalah!" usirku pada Riko.

"Ayoo . . . !!" Riko tetap membopong tubuh ku yang sudah sempoyongan. Membawaku ke mobil dan mengantarkan aku pulang.

Yah, sejak Nindia menghilang, hidupku menjadi kacau. Hampir tiap malam aku akan menghabiskan malamku di club. Aku seperti hanya hidup di duniaku sendiri. Dunia yang begitu sepi dan hampa. Aku pun tidak jadi kuliah di luar negri atau pun di dalam negri. Keluargaku jadi pusing memikirkannya.

Keluarga ku juga sudah berjanji akan membantu aku mencari Nindia. Tapi itu hanyalah janji yang tidak akan pernah di tepati karena orang tua ku masih tidak menginginkan anaknya menikah dengan Nindia.

Aku memasuki halaman rumah orangtuaku saat jam sudah menunjukkan pukul 1.00 dini hari. Tanpa aku sadari ada seseorang yang sedang menungguku di ruang tamu yang tanpa penerangan.

"Kamu mabuk lagi, Rick!?" hardik papa saat aku sudah di antar masuk ke rumah oleh Riko.

"Sudah tidak usah perdulikan Ricki, pa!"

"Kamu harus memikirkan masa depan kamu Rick!" papa Rey mulai lembut.

"Masa depanku sudah menghilang, pa! Beserta calon anakku! Aku sudah tidak punya masa depaan!" aku yang masih mabuk berjalan hampir menabrak papaku.

Mama yang memperhatikan dari pintu kamarnya hanya menatap sedih ke arah anaknya. Yah sejak aku tahu kalau penyebab utama kesalahpahaman antara dia dan Nindia adalah mama, kami jadi tidak akur. Aku jadi sangat kecewa dengan mama.

Aku lalu masuk ke kamarku. Kamar yang penuh foto-fotoku dan juga foto Nindia.

"Nindiaaa . . . .hiks!"

Aku selalu tidak bisa menahan tangis setiap kali melihat foto Nindia. Apalagi tahu kalau Nindia tengah mengandung anakku,dadaku akan semakin terasa sesak. Aku usap dan cium foto Nindia yang berukuran besar, seolah itu adalah dia.

Aku bertekad akan terus mencarinya sampai ketemu walau harus menunggu bertahun-tahun lamanya.