21 Lamaran

Dua minggu sebelum hari pernikahannya, Nindia dan Fadil mengadakan acara lamaran sederhana yang hanya di hadiri kedua orang tua Fadil dan juga tante Sarah dari pihak Fadil dan keluarga bu Ratna serta tetangga kiri kanan dari pihak Nindia.

Mak begitu sibuk menata rumahnya agar terlihat lebih rapi. Semua persiapan konsumsi di urus oleh bu Ratna dan di bantu juga sama nek Wati.

Hari minggu di pilih mereka karena hari libur. Nindia sedang di rias oleh bu Ratna. Dia mengenakan kebaya sederhana tapi tetap terlihat cantik.

"Kamu cantik sekali, Diah!" puji bu Ratna.

Nindia tidak bisa menyembunyikan senyum bahagianya. Akhirnya dia akan menikah juga. Tinggal menghitung hari lagi. Kebahagiaannya membuat wajahnya makin terlihat cantik.

"Aku deg-degan, bu!" ucap Nindia. Dia memegang dadanya yang terasa berdebar-debar.

"Biasa itu. Lebih deg-degan nanti saat akad nikah!" jelas bu Ratna.

"Bunda cantik sekali!" Cinta mendekati Nindia sambil memandang wajah bundanya dari dekat.

"Cinta juga cantik, sayang!" sahut Nindia sambil membelai lembut kepala putrinya itu.

"Bude, Cinta mau juga di bikin cantik seperti bunda?" pinta Cinta pada bu Ratna.

Nindia dan bu Ratna saling tersenyum melihat tingkah Cinta.

"Iya sayang, setelah bunda, ya. Sebentar lagi selesai," sahut bu Ratna.

Setelah Nindia selesai di rias, gantian Cinta yang di rias oleh bu Ratna. Dia terlihat bahagia memandang wajahnya di cermin kaca.

"Cinta cantik ya, bunda?" ucap Cinta dengan senyum semringah.

"Iya sayang, kamu lebih cantik dari bunda."

"Keluarga nak Fadil sudah datang, Diah. Ayo kamu keluar!" titah nek Wati. Nek Wati masuk ke kamar melihat Nindia dan Cinta yang masih asik mengobrol. Mereka pun keluar kamar yang bersebelahan dengan ruang tamu di mana orang-orang sudah berkumpul.

Nindia menatap Fadil yang duduk di sebelah papinya. Dia terlihat sangat tampan. Laki-laki tampan ini akan jadi suamiku. Batin Nindia. Ketika Fadil pun menoleh ke arah Nindia, pandangan mereka bertemu. Nindia buru-buru memalingkan wajahnya. Dia makin gugup dan malu. Nindia duduk berseberangan dengan Fadil di dampingi bu Ratna dan pak Dodi, suaminya bu Ratna.

Tak lama acara lamaran pun di mulai. Pak Dodi yang jadi wakil dari pihak Nindia. Ada berbagai seserahan untuk Nindia yang di pilihkan oleh tante Sarah. Juga sebuah cincin emas putih dengan bermata berlian kecil. Semua mata terkagum melihat indahnya cincin tunangan Nindia. Nindia pun terlihat sangat bahagia.

Fadil lalu menyematkan cincin di jari manis Nindia. Setelah acara lamaran selesai, orang tua Fadil dan tante Sarah langsung pulang sedangkan Fadil masih di rumah Nindia. Para tetangga pun sudah mulai pulang satu persatu.

"Sudah pada pulang ini, kita juga mau pulang dulu. Moga nanti pas acara akad nya lancar ya Diah!" pamit bu Ratna.

"Aamiin. . . Terimakasih banyak bu atas bantuannya sama pak Dodi juga!" ucap Nindia lalu mengantar bu Ratna dan suaminya sampai depan teras rumah.

Kini di rumah hanya tinggal Nindia, nek Wati, Cinta dan juga Fadil. Cinta sudah terlihat mulai mengantuk. Dia beberapa kali menguap.

"Bunda, Cinta ngantuk nih, tidur yuukk!" Cinta merengek minta di temani tidur seperti biasa.

"Tidur sama nenek dulu, yuk! Kan masih ada ayah Fadil masa ayah di tinggal sendirian?" bujuk nek Wati.

"Iya sayang, sebentar lagi ayah pulang. Ayah pinjam bunda sebentar, ya?" Fadil ikut membujuk Cinta.

"Hmm. . . Bener ya, ayah cuma sebentar saja?" Cinta menoleh ke arah Fadil. Fadil sedikit membungkukkan badannya agar setara dengan Cinta.

"Iya sayang, sebentar saja kok!" sahut Fadil .

"Hmm, baiklah.. . Cinta akan tunggu bunda!"

"Terima kasih sayang. Nanti bunda menyusul, ya."

Nindia lalu mencium Cinta dan mengantarnya sampai ke kamar. Setelah itu, Nindia kembali menemui Fadil.

"Maaf ya, mas. Cinta kalau tidur mesti aku temani dulu," ucap Nindia saat sudah kembali ke ruang tamu.

"Iya sayang, tidak apa-apa kok. Tapi nanti kalau kita sudah menikah bagaimana, hmm?" tanya Fadil.

"Yah aku temani dia tidur dulu, dia cepat kok nyenyaknya. Tidak apa-apa kan, mas?"

"Ooh, begitu. Ya tidak apa-apa asal jangan lama-lama nanti mas kangen!" goda Fadil.

"Hmm mas bisa saja deh. Oh ya nanti kalau kita sudah nikah, Cinta boleh kan ikut kita mas? " tanya Nindia ragu-ragu.

"Tentu saja ikut kita donk, tapi kamu sudah tidak boleh kerja lagi. Kamu tidak masalah kan kalau tidak kerja?"

"Iya, mas."

"Oh ya,mulai besok kamu juga tidak usah kerja lagi, ya. Lebih baik di rumah saja sebelum nikah. Mas tidak mau ada apa-apa!"

"Tapi aku belum pamitan sama teman-teman. Apa tidak lebih baik pamitan dulu,tidak enak langsung resign?"

"Mas nanti yang pamitin."

Nindia menatap Fadil sekilas lalu menunduk memainkan jari-jarinya sendiri. Dia mau protes tapi takut Fadil marah. Dia ingin sekali pamitan dulu sama teman-temannya juga sama pak Andi.

"Kamu kok sedih begitu, sayang?" Fadil memegang tangan Nindia

"Hmm, tidak kok mas."

"Kamu mau pamitan dulu?"

"Tidak mas, aku nurut saja sama mas!"

Nindia tidak mau Fadil sampai marah lalu membatalkan semua rencana mereka. Entah dia begitu takut di tinggalkan lagi untuk kedua kalinya oleh orang yang dia cinta.

"Hmm sini lihat mas!" Fadil memegang dagu Nindia supaya menoleh ke arahnya tapi Nindia buru-buru memalingkan wajah.

"Kamu kok sedih begitu, mas tidak mau kamu sedih. Mas nikahin kamu agar kamu bahagia, Diah!"

"Aku tidak sedih kok mas, beneran!" Nindia masih berusaha menahan luapan hatinya.

"Kamu tidak usah bohong, sayang! Besok mas temani kamu ke restauran. Kita pamit sebentar saja, ya!"

"Beneran, mas?"

Fadil menganggukkan kepalanya, "Kalau kamu ingin mengutarakan keinginan kamu, bilang saja jangan kamu simpan sendiri. Mas tidak akan marah!" Fadil lalu menatap wajah Nindia.

"Maaf, mas!" hanya itu yang Nindia ucapkan.

"Ayo donk, senyum! Mas tidak mau melihat kamu sedih!"

Nindia pun berusaha untuk tersenyum.

"Mas sayang sekali sama kamu, Diah! Mas ingin buat kamu bahagia! Kamu tidak boleh takut sama mas. Kamu mengerti, hmm?"

Nindia mengangguk.

"Sudah malam ini, mas pulang dulu, ya!" pamit Fadil lalu mencium dahi Nindia lembut.

"Iya, mas."

Ni dia lalu mengantar Fadil sampai depan pintu.

"Tidur yang nyenyak, ya. Mimpiin mas!" ucap Fadil sambil mengusap wajah cantik calon istrinya itu.

"Iya, mas juga. Hati-hati di jalan,jangan ngebut!"

"Iya, sayang! Daahh!"

Nindia memperhatikan Fadil yang berjalan meninggalkan rumahnya sampai menghilang di persimpangan karena mobilnya di parkir di simpang jalan.

Nindia langsung masuk dan menutup pintu rumahnya. Menyusul putrinya yang sudah terlelap di kamar bersama mak.

Di lihatnya lagi cincin di jari manisnya. Semoga Fadil benar-benar menjadi jodohku. Batin Nindia. Tak lama kemudian, Nindia pun ikut terlelap di samping putrinya.

avataravatar
Next chapter