4 Di Tolong Nek Wati

Karena merasakan lelah yang sangat di tambah kondisinya yang masih sakit dan juga belum makan sedikitpun, akhirnya Nindia tumbang di jalan.

Ketika terbangun, Nindia kaget dia sudah berada di dalam sebuah kamar dari sebuah rumah,mungkin bisa di sebut sebuah gubuk. Dinding yang terbuat dari triplek dan atap dari seng yang sudah sangat rapuh. Terlihat sudah banyak yang berlubang. Kalau hujan sudah pasti akan bocor di mana-mana. Di lihatnya tidak ada seorang pun di sana. Nindia berusaha bangun tapi kepalanya begitu pusing hingga dia hanya mampu untuk duduk.

Tiba-tiba ada yang masuk. Seorang ibu paruh baya mungkin usia sekitar 50 tahun. Ibu itu tersenyum ke arah Nindia.

"Kamu sudah sadar, nak?" ibu itu tersenyum .

"Ibu siapa ya? Kenapa aku bisa ada di sini?" tanya Nindia dengan wajah bingung.

"Tadi ibu menemukan kamu pingsan di jalan, jadi ibu bawa ke gubuk ibu ini. Maaf gubuk ibu jelek!" dengan wajah yang masih tersenyum ramah.

"Pingsan? Aku pingsan di jalan, bu?" tanya Nindia kaget. Dia pun mencoba mengingat-ingat lagi kejadian yang baru dia alami. Nindia kembali menangis.

"Kamu kenapa menangis, nak? Cerita sama ibu mungkin bisa sedikit membantu!"

Nindia makin menangis tergugu. Dia tidak kuasa untuk bercerita.

"Ya sudah kalau kamu tidak mau bercerita. Oh iya nama kamu siapa, nak? Kalau ibu panggil saja nek Wati!"

"Nindia. Namaku Nindia, bu!" Nindia menjawab di sela tangisnya.

"Baiklah, Nindia. Bagaimana kalau kamu makan dulu mungkin kamu lapar. Tapi maaf saya hanya punya nasi sama tahu dan sambal," nek Wati memberikan sepiring nasi kepada Nindia.

"Aku tidak lapar, bu. Hhmm maaf, nek Wati."

"Wajahmu sangat pucat, Diah. Tidak apa-apa kan mak panggil 'Diah'?"

"Iyaa, nek. Tidak apa-apa, kok."

"Ayo, makan dulu sedikit saja. Kamu juga agak demam."

"Tapi aku sedang tidak berselera makan, nek!"

"Hhmm, kamu maunya makan apa, Diah?"

Nindia pun jadi ingat, sebelum dia memakai alat pipih itu, ibunya membelikan dia rujak buah. Dan belum sempat dia makan karena kemarahan ibunya dan berujung mengusirnya dari rumah.

"Aku sedang tidak mau makan, nek. Nanti kalau mau aku akan makan."

"Baiklah kalau begitu. Kalau kamu lapar bilang sama nenek, ya! Nenek tinggal dulu!" nek Wati lalu keluar dari kamar.

Setelah nek Wati keluar, Nindia kembali menangis. Menangisi nasibnya sendiri. Kini dia tidak tahu apa yang akan dia lakukan setelah ini. Nindia pun kembali tertidur dalam kesedihan.

Nindia terbangun setelah mencium aroma masakan dari ruang sebelah. Sepertinya nek Wati sedang memasak. Nindia merasakan perutnya bergejolak. Rasa lapar yang teramat setelah dari kemarin Nindia belum makan sedikitpun.

Nindia pun berjalan ke arah dapur. Di lihatnya nek Wati sedang sibuk memasak.

"Nek Wati sedang masak apa?" tanya Nindia.

"Diah, kamu sudah bangun? Nenek baru selesai masak sayur asem. Kamu mau makan?"

Nindia pun menangguk, sepertinya perutnya tidak merasakan mual mencium masakan nek Wati.

"Ini kamu makan lah!" nek Wati memberikan sepiring nasi beserta sayur asem yang baru saja matang.

"Terima kasih, nek!" Nindia pun segera makan. Aneh, sekarang perutku tidak merasakan mual sedikitpun. Batin Nindia heran. Dia terus makan sampai habis. Nek Wati tersenyum melihatnya.

"Mau nambah, Diah?" tanya nek Wati.

"Sudah cukup, nek. Terimakasih!" Nindia pun hendak mencuci piring tapi di larang oleh nek Wati.

"Sudah, kamu kembali lagi ke kamar istirahat agar lekas pulih! Biar nenek saja yang cuci piring!"

"Tapi, nek?" Nindia masih tetap mau mencuci piringnya."

"Sudah tidak apa-apa. Kamu kan masih kurang sehat. Nanti kalau kamu sudah sehat boleh bantu-bantu nenek. "

"Baiklah, nek !" Nindia pun kembali ke kamar.

Di dalam kamar Nindia kembali melamun. Dia lalu mengelus perutnya yang masih rata. Dia tidak tahu harus sedih atau bahagia. Kehamilan yang belum dia inginkan. Tapi dia juga bahagia ada benih laki-laki yang sangat dia cintai sedang tumbuh di perutnya. Rick, lihat lah ada anak kamu di perutku. Apa kamu akan bahagia Rick, jika tahu aku hamil anakmu? Batin Nindia.

"Aku rindu kamu Rick! Sungguh sangat merindukanmu! Semua tentang kamu!" Nindia berkata lirih. Tak lama Nindia kembali tertidur.

Nindia terbangun saat mendengar suara nek Wati sedang mengaji. Suaranya sangat merdu membuat Nindia merinding mendengarnya. Selesai mengaji, nek Wati segera duduk di tepi kasur yang sangat sederhana, tempat Nindia sedang berbaring.

"Kita tidur berdua di sini tidak apa-apa, kan?" tanya nenek.

"Iya, tidak apa-apa, nek. Aku pun tidur berdua bersama ibuku!" jawab Nindia.

Nek Wati pun naik ke kasur dan langsung terlelap mungkin kelelahan jadi cepat tidur. Sementara Nindia masih sibuk memikirkan tentang jalan hidupnya yang membingungkan. Air matanya kembali menetes di pipi hingga membasahi bantal. Tak berapa lama Nindia akhirnya bisa tertidur juga.

Nindia terbangun saat merasakan perutnya seperti di aduk-aduk. Hidungnya mencium aroma yang sangat tidak enak. Karena tidak tahan, buru-buru Nindia ke kamar mandi, dia takut kalau sampai muntah di kamar.

"Hoeks . . . Hoeekss!!" Nindia muntah-muntah sampai habis isi dalam perutnya.

"Diah, kamu kenapa?" nek Wati datang ke kamar mandi mendengar Nindia muntah-muntah.

"Perutku mual, nek!" jawab Nindia.

Nek Wati pun mengusap-usap tengkuk Nindia. Setelah perutnya lumayan enak, Nindia kembali ke kamar di antar oleh nek Wati. Nek Wati lantas mengolesi minyak angin ke perut Nindia.

"Kamu tidur lagi saja, Diah kalau masih tidak enak badan!" titah nek Wati.

"Iya, nek . . ." Nindia pun kembali tidur.

***

Nindia terbangun ketika merasakan badannya gerah. Ternyata hari sudah siang. Tadi pagi habis muntah-muntah, Nindia kembali tidur.

Nindia berniat mandi tapi dia tidak membawa pakaian selembar pun. Karena sudah sangat gerah, Nindia pun tetap mandi. Nindia pergi ke kamar mandi yang terletak di sebelah dapur. Nek Wati tidak terlihat, tapi di dapur sudah ada sepiring nasi goreng yang membuat perut Nindia kembali mual. Nindia pun langsung ke kamar mandi untuk memuntahkan isi perutnya sekalian mandi.

Selesai mandi, Nindia mencoba melihat ke luar rumah nek Wati. Ternyata nek Wati tinggal di sebuah perkampungan tapi rumah-rumahnya masih jarang. Masih ada beberapa tanah kosong. Nindia pun tidak tahu tepatnya di mana dia sekarang. Semalam ingin bertanya pada nek Wati tapi dia belum sempat.

Nindia pun kembali ke kamar. Aku harus kemana lagi? Tidak mungkin tinggal di sini terus. Pikir Nindia. Kondisinya pun sudah membaik. Nindia sudah tidak lagi demam. Dia tidak ingin merepotkan orang lain. Apalagi kalau tetangga nek Wati sampai tahu tentang keberadaannya, tentang kehamilannya pasti akan jadi masalah buat nek Wati.

Di usapnya perutnya yang masih rata. Kamu jangan takut ya nak, bunda akan selalu menjaga dan menyayangimu. Batin Nindia.

Perutnya kembali merasa lapar. Tapi dia tidak tahu mau makan apa. Yang ada di bayangannya adalah rujak buah. Yah rujak buah yang sampai hari ini belum bisa dia makan.

avataravatar
Next chapter