1 Air

Hujan turun membasahi bumi. menghapus tiap kotoran debu dari pori-pori bumi, dari tiap inci atmosfir kehidupan di atasnya.

Seandainya kebencian dan dosa-dosa ini bisa larut bersama tetesan hujan, aku ingin larut, tidur panjang bersama air hujan yang terus mengalir mengisi relung bumi. Tidur dan tidak ingin dibangunkan lagi.

"Kamu pulang saja, ga usah tinggal di sini. Kami tidak butuh pemalas sepertimu di sini. masih mending memelihara anjing, bisa disuruh menjaga rumah!" Pak Baskoro menatapku sinis sambil mengelus-elus kepala anjing hitam yang menggoyangkan ekornya, baginya anjing lebih berharga dari diriku, keponakan yang numpang hidup di rumahnya. Badannya yang besar seolah memenuhi sofa yang ia duduki, sementara kulit wajah dan bibirnya yang tebal asyik mengunyah kacang mete.

"Sudah, kamu ke loteng saja, tak usah dengarkan ocehan paman," bisik bibi, adik dari almarhum papaku. Yang membesarkan nyaliku ambil langkah seribu menghindari ocehan paman.

Aku bersembunyi di kamar loteng hingga sore hari. Saat mendengar suara mobil Hummer pamanku menyala, sepuluh menit kemudian aku mengendap turun sambil mengintip sofa paman biasa duduk dari atas tangga Kosong! Sampai di bawah aku berjalan ke ruang depan, memastikan mobil paman sudah tidak di bagasi, lalu berjingkrak bergegas ke meja makan. Perutku keroncongan belum makan dari pagi, semoga masih ada nasi berserta sahabatnya lauk pauk.

Syukurlah, masih ada ikan asin cah kankung pedes kegemaran ku. air liurku mengalir membayangkan bagaimana mereka akan segera berimigrasi ke cacing-cacing di perutku.

Kalau ada paman, saya tidak berani makan. Paman akan uring-uringan sakit hati melihatku memakan sebutir berasnya, jadi saya hanya muncul dan makan di meja makan saat paman tidak di rumah, biasanya sedang ke tambang batu bara atau 'dinas' ke rumah bini mudanya.

Pernah kejadian, apes, tengah asyik makan suara mobil paman terdengar memasuki bagasi.

"Papa pulang, cepat Bram kamu ke atas, bawa piring nasimu " teriak Siska anak perempuan kesayangan paman ke aku. Mereka tidak ingin paman murka melihatku makan, yang biasa ia lampiaskan dengan memelototi, menyindirku atau memarahi istrinya yang adalah bibiku. Dan biasanya aku lari ke persembunyian di loteng sambil membawa piring makananku, menyantapnya perlahan seperti tikus, agar suara sendok tak beradu dengan piring yang bisa terdengar oleh paman. Iya mirip tikus, bisa juga mirip terpidana.

Apakah aku sedih dengan keadaan ini? tentu tidak, karena berulang terjadi menerima ketidakadilan harus sembunyi makan saat paman di rumah, bagiku itu menjadi lumrah. karena terjadi dari aku kelas satu sampai kelas tujuh saat ini. Aku juga belum memahami hak- hak sebagai anak, sebagai manusia, sebagai mahkluk hidup yang berhak untuk makan dan mempertahankan hidup.

Jadi hidup saya ya hari itu, sekolah, bermain, kucing-kucingan dengan paman dan layak anak polos umumnya tak mengerti bagaimana dan kemana akan dibawa masa depan saya.

Penyemangat ku, motivasi ku adalah Siska.

"Kamu harus belajar yang giat Bram. Agar kelak tak ada yang menertawaimu. Agar kelak seisi dunia berlutut di hadapanmu" motivasi Siska saat kami berdua duduk di meja makan. Kakak-kakaknya sudah berangkat ke sekolah dan tambang. Bibi ditemani Mak Ijah sedang ke pasar. Jadi hanya kami berdua yang masih di rumah karena masuk sekolah siang. Paman? Ah suka-suka dia. Paman punya istri tiga. Jadi kalau dia tidak pulang juga tak ada yang cari. Istri pertama berpikir dia menginap di istri kedua, istri kedua berpikir dia menginap di istri ketiga. istri ketiga berpikir dia menginap di istri pertama.

Kalau aku lebih suka paman tidak pulang, jadi saya merdeka di rumah ini. Kalau ada paman aku harus bersembunyi seperti tikus curut.

"Siap nona cantik" Sahutku sambil melahap ikan pindang dengan nikmat.

Tapi saat itu tiba-tiba terdengar bagasi terbuka, dari cctv tampak mobil Hummer hitam paman memasuki pekarangan.

UPS, tak biasa paman pulang sepagi ini. Bergegas aku ambil langkah seribu menuju lantai atas dengan piring makanku. Memasuki markas persembunyianku yang hanya aku dan Siska yang tahu.

"kamu jenius Bram" kata Siska saat pertama kali aku berbagi rahasia persembunyianku. Selain bibiku, dia satu-satunya orang yang bisa saya percaya di rumah ini. Jadi tak berlebihan rasanya saya berbagi rahasia markasku kepadanya. Sebuah ruangan kecil di balik lemari dinding. Awalnya itu hanyalah sebuah lemari biasa tempatku manyimpan baju. Karena sering di lantai atas menghindari bertemu paman, aku memiliki waktu panjang di kamar loteng, sebuah kamar yang awalnya difungsikan menjadi gudang. terlalu lama di loteng membuatku hafal setiap sudut di ruangan ini. Juga lemari ini yang saat aku ketok, suaranya menunjukkan ada ruangan di belakangnya. Saat dinding lemari itu kudobrak, ternyata benar, ada rongga cukup besar yang bisa menjadi markas besarku bersembunyi. Dengan sedikit bakat analis dan teknik mekanik yang kumiliki, dinding di belakang lemari itu aku sulap menjadi pintu yang bisa dibuka secara elektrik dengan tombol rahasia dan pemindai sidik jari.

Hanya aku dan Siska yang kuprogram bisa membuka pintu itu. Seperti juga pagi ini, saat paman mendadak pulang ke rumah, secepat kilat aku sudah ada di markas, sambil memantau cctv rumah yang aku hubungkan monitornya ke markasku. Boleh dibilang markas rahasia ini seperti ruang komando yang bisa memantau pergerakan seisi rumah melebihi ruang sekuriti di pintu depan. kenapa? karena ruang sekuriti cctv hanya menjangkau bagian luar rumah, tapi cctv di markasku bisa menjangkau bagian luar dan dalam rumah, kecuali dalam kamar yang bersifat pribadi. Bahkan di beberapa titik aku memasang pintu dan senjata rahasia berupa asap bius. Pintu di rumah paman juga memakai teknologi smarthome yang bisa dikunci tanpa menggunakan kunci, ini memudahkan ku mengontrol akses tiap ruangan dari markas komando ku. Boleh dibilang kalau ingin merampok rumah orang kaya seperti paman harus menguasai markas ku dulu, kalau tidak, pasti perampokan itu akan gagal. Rampok? Ha!

Aku memperbesar tampilan cctv di halaman rumah saat melihat dua orang asing yang turun dari mobil paman melumpuhkan kedua sekurity yang berjaga di halaman rumah.

" Siska, segera ke markas" teriakku melalui smartphone.

"Ada apa Bram?"

"Lihat cctv, kita dirampok!"

"Astaga, papa dimana?" Siska panik.

"Segera ke markas" kataku khawatir Siska jatuh ke tangan mereka, karena tampaknya perampok itu bersenjata dan memiliki kartu akses pintu rumah. Melalui monitor aku melihat mereka bisa membuka pintu ruang utama. Aku membiarkan mereka masuk. Lihat saja, akan kubuat mereka menjadi tikus dalam perangkap.

avataravatar