webnovel

Perjalanan Mimpi Dan Kisah Tulip Berwarna Putih

Siang itu seperti biasa, Bhatari sedang asik memasang perangkap ikan, ia membuat ranjau jaring yang terbuat dari anyaman bambu tipis dengan bentuk yang meruncing. Ajeng mengekor, mencoba mempelajari hal baru yang belum pernah ia lakukan sebelumya. Diperhatikannya dengan seksama bagaimana uletnya Bhatari menyelipkan satu demi satu anyaman dan di ikat dengan benang, Ajeng tak ingin bertanya atau pun menebak di mana benang itu Bhatari dapatkan.

"Kenapa tidak pakai pancing seperti biasa saja?" tanya Ajeng basa-basi, ia tau cara ini akan membuat mereka mendapatkan ikan lebih banyak tanpa menunggu lama layaknya memancing dengan menggunakan bambu panjang dan tipis.

"Biar bisa dapat ikan banyak dan punya stok." Ajeng hanya mengangguk mendengar jawaban itu, sesuai dugaan pikirnya.

"Kak coba liat, udah tiga ekor yang masuk. Besarnya mungkin sebesar telapak tangan kakak." Seru Bhatari menunjuk-nujuk jeratnya yang telah ia pasang di tengah bebatuan. Ajeng langsung menatap telapak tangannya dan ia ukur dengan ikan yang hanya kelihatan ekornya saja,

"Ternyata tanganku cukup besar." Batinnya.

Tak berselang lama Bhatari lalu berlari melompati batu dengan riang, tak lupa sebelumnya rambut panjang sebahunya ia ikat tinggi agar tidak menganggu penglihatan. Pemandangan yang tidak biasa menurut Ajeng.

"Jadinya berapa ekor, Tar?" teriak Ajeng dari seberang sungai. Bhatari menengadah dari dalam jeratnya, sembari mengangkat jari jempolnya,

"Enam kak." Teriaknya dan tersenyum bahagia.

Mendengar teriakan itu, Ajeng susul berlari ke tengah sungai, niat membantu dengan membawa serat pohon pisang yang mereka potong secara memanjang seperti tali. Jangan tanya pula dari mana Bhatari menemukan serat itu, Ajeng sudah cukup dengan mengetahui fungsi serat pisang yang telah di pelintir digunakan sebagai tali yang akan mereka ikatkan untuk hasil tangkapan mereka. Sesampainya di sana, dilihatnya Bhatari yang telah basah kuyup,

"Seriusan sebanyak itu?" ujarnya sembari menengok ke dalam anyaman bambu,

"Iya, kita makan enak malam ini." Balas Bhatari.

Ajeng lalu bergerak memberikan tali serat yang ia pegang sedari tadi, Bhatari mengambilnya dan dengan lihai memacukkan serat itu di bagian insang dan menembus ke bagian mulut, Ajeng memerhatikan satu persatu ikan itu dimasukkan dari belakang punggung Bhatari, hingga terbentuk gantungan melingkar layaknya kalung dengan enam ekor ikan sebagai liontin. Dari balik punggung Bhatari, Ajeng memerhatikan dengan saksama bagaimana tubuh kecil itu dengan sangat telaten memasukkan ikan-ikan hasil tangkapan mereka, baju Bhatari yang kebesaran telah basah dan sebagian rambutnya pula demikian, ternyata Bhatari menggunakan anting hanya di sebelah kanan, sebelah kiri terdapat tato bunga tulip berwarna putih keabuan, dan berwarna pelangi jika terkena sinar matahari. Tato yang familiar, pikirnya.

"Kak balik yuk" ujar Bhatari mengangkat jerat dan kalung ikannya.

Ajeng hanya mengangguk dan berjalan mengikuti ke arah Bhatari.

Malamnya, Ajeng tak bisa tidur, pikirannya tergangu dengan tulip berwarna putih keabuan itu. Ia bangun dengan gelisah, ditatapnya Bhatari yang sedang tertidur pulas dengan dalam-dalam, ingin sekali dia menyingkirkan helaian rambut bagian telinga kiri Bhatari dan kembali melihat tato itu, tato yang terasa sangat familiar dan menimbulkan perasaan takutnya. Tapi hal itu ia urungkan karena tak ingin menganggu si empunya tato.

Esok harinya ketika pagi menjelang, Ajeng tak juga dapat tertidur, perasaan takut menerornya semalaman, perasan kelam yang membuatnya ingin teriak. Ia terus-terusan membolak balikkan badannya semalam, gelisah dan ternyata mentari telah mendahului, Ajeng lalu bangun mengambil sapu dan berniat menyapu halaman, sebelum menyapu ia lalu menyempatkan diri berbenah, mencuci muka dan mengikat rambut. Ketika helaian bagian leher dan belakang telinga kanan ia tarik ke atas, tangannya merasakan struktur garis yang membentuk pola kelopak tertutup dan sebuah daun. Ajeng terkaget seketika, diam beberapa detik dan berlari ke arah kamar. Sesampainya di kamar, ia menemukan Bhatari yang baru saja terbangun dan merapikan bantal. Kaget dengan penampakan Ajeng yang tiba-tiba, Bhatari refleks berdiri, "Kenapa kak?" tanyanya kaget, dengan wajah penuh pertanyaan.

Ajeng mendekat dengan panik, Bhatari melakukan hal yang berbeda, refleks tubuhnya malah mundur beberapa langkah,

"Ada apa kak?" tanyanya lagi.

"Bhatari coba kamu balik."

"Kenapa?"

"Balik dulu, ada yang pengen aku lihat" tanpa bertanya lagi, Bhatari lalu berbalik, dirasanya Ajeng memegang kepala bagian kiri, lebih tepatnya bagian belakang telinga kiri. Ajeng mengamati tato itu dalam-dalam sembari memegang bagian belakang telinga kanannya, lama dalam posisi itu Bhatari berbalik dan langsung bertanya,

"Kenapa dengan tatonya kak?" tanyanya.

Tanpa menjawab Ajeng langsung berbalik dan memegang daun telinga bagian kanannya,

"Kamu liat ini." Dengan kaget Bhatari lalu bertanya,

"Kakak pernah ngalamin hal aneh nggak selama ini? Sepanjang hidup kakak?"

Mendapati pertanyaan yang di luar prediksi, Ajeng lalu berbalik dan menatap Bhatari, seketika terlintas pilu, kesendirian dan kekelaman di mata Ajeng. Ajeng lalu menangis, tak ia tau untuk apa tangisan itu, Bhatari pun mendekat dengan sigap memeluk Ajeng yang lebih tinggi dari pada dia, di sela-sela tangisan itu segudang cerita mulai meluncur bak sungai yang deras, menghantam seorang Ajeng kecil. Hinggga akhirnya ingatan akan masa lalunya itu kembali menyeruak.

Akhir-akhir ini ada hal yang menakjubkan sekaligus membingungkan terjadi padanya, belakangan Ajeng sering menemukan dirinya yang tertidur tapi juga bisa berjalan-jalan, yang lebih unik lagi ia bisa melihat gumpalan-gumpalan trnsparan berwarna abu-abu di bagian kepala teman sekamarnya yang sedang tidur. Ini memang di luar akal, Ajeng baru 9 tahun kala itu, hal ini tentunya membuat anak sekecil itu takut, Ajeng bahkan sempat berpikir jika itulah proses menuju kematiannya. Ia pandangi dirinya yang tergolek pulas, dengan nafas teratur, tak tahu akan berbuat apa tubuh ringanya yang sedikit transparan mengambil posisi layaknya tubuh fisiknya, takut-takut ia tak bisa bangun besok pagi. Tapi ketika mentari mulai menyongsong di ufuk timur, ia ikut tertidur, bersamaan dengan fisiknya. Dua hari setelahnya, Ajeng penasaran dengan hal yang terjadi pada tubuhnya, ia berencana untuk keluar lagi, namun hal itu tidak terjadi, ia mendapati dirinya tertidur pulas hingga pagi.

Seminggu selanjutnya tanpa direncanakan, Ajeng keluar. Terpisah dari tubuhnya dengan ringan, kali ini ia tidak menyia-nyiakan kesempatan. Ia berjalan-jalan di malam hari, di setiap kepala Ajeng menemukan gumpalan-gumpalan transparan menyerupai awan. Dengan perasaan penasaran Ajeng menyentuh salah satu gumpalan itu, ternyata itu adalah mimpi dia yang punya badan. Ajeng lalu tersedot pada sentuhan pertama, ia menemukan Pak Kasim satpam panti yang sedang kasmaran bersama Ibu Ratri juru masak dapur. Di dalam gumpalan itu Pak Kasim sedang duduk di taman penuh bunga dan Ibu Ratri di sampingnya, sedang menyandarkan kepala dan Pak Kasim sedang mengelus kepala Bu Ratri.

Lama mengamati, Ajeng melenggang pergi berniat mencari jalan keluar, masih cukup tenang untuk berjalan santai dan ternyata ia tidak ke mana-mana. Perasaan panik mulai datang menghampiri, ia lalu berlari kesana-kemari, takut jika saja terjebak dan tak bisa keluar.

Dengan kekuatan penuh Ajeng berlari kesana kemari dan terus saja menemukan Pak Kasim dan Bu Ratri yang sedang bemesraan, sadar tak ke mana-mana, Ajeng bertambah panik. Ia berlari tanpa arah dan kemesraan mereka kacau sudah, Ajeng mengacaukan kencan dalam mimpi itu, ia menabrak bunga-bunga membuat semuanya patah, perasaan perih di kakinya mulai terasa menganggu, puncak kekacauan terjadi ketika Ajeng yang panik tak sengaja menabrak kursi tempat pak Pak Kasim dan Bu Ratri duduk.

Mereka kaget, dan bertanya. Tanpa menjawab, Ajeng berlari dan ternyata mereka mengejar, dengan kekuatan penuh Ajeng terus berlari hingga terjatuh di tempat awal di hamparan bunga yang tak lagi punya bentuk, dilihatnya Pak Kasim dan Ibu Ratri yang sedang mendekat dengan marah, aku menutup mata dan memikirkan satu kata,

"Keluarrrr!!" Ajeng lalu tersedot keluar.

Bersamaan dengan itu terlihat gelagat Pak Kasim yang akan segera bangun, Ajeng berlari menuju kamar, menemukan kembali dirinya yang sedang tertidur, ia ulangi formula awal, ia mengatur posisinya seperti tubuhnya. Esoknya ia bangun seperti biasa tapi kali ini ditambah luka-luka gores kecil dibagian kaki dan juga betis. Tak perlu ditanya lagi ini jelas membuat Ajeng bukan main, tapi perasaan adrenalin yang sedang terpicu membuatnya lebih menyenangi pengalaman itu.

Malam-malam selanjutnya Ajeng tetap menjelajah memasuki mimpi teman-teman sekamarnya, ia sudah tau formula 'masuk-keluar', semua diatur dalam kepala, pikirnya. Asalkan aku masih berpikir semuanya aman. Tapi ada yang aneh, efek yang terjadi dalam mimpi itu ternyata terjadi juga pada tubuhnya secara fisik, seperti kelelahan lari, gembira, kekenyangan dan kelebihan makan gulali, sakit karena terkena lemparan hingga luka-luka fisik seperti goresan yang masih basah dan terasa sakit. Tapi sejauh itu, tidak mengapa, Ajeng kecil yang senang menyendiri menemukan taman bermainnya.

"Lala, semalam aku mimpi loh, mimpinya nakutin banget," ujar Bila, teman sekamar Ajeng dari dipan atas. Kamar ini berisikan tiga dipan dua tingkat yang ditata bersisihan secara memanjang. Ajeng yang masih terpejam, ikut mendengar cerita Bila. Katanya semalam ia bermimpi berjalan di sebuah lorong panjang, lorong itu gelap dan menakutkan, di sisi kanan terdapat beberapa pepohonan besar yang menimbulkan bayangan-bayangan yang membuat Bila semakin takut, entah apa yang membuatnya takut dan merasa harus berlari. Bila lalu berlari dengan panik, berkeringat, rasa takut mengisi semua bagian tubuhnya. Teriak minta tolong pun tak ada yang mendengar. Bila tak sempat menengok ke belakang ketika dirinya berlari, yang dia tau dia harus berlari, tak jauh dari dirinya yang mulai melambat karena kelelahan, ia melihat bayangan arit yang berada tepat di belakang bagian kepalanya, ketika ia menengok kebelakang, sebuah tangan tiba-tiba menariknya, didapatinya seorang perempuan beramput panjang, perempuan itu mengisyaratkan untuk lari bersama, alarm tanda bahaya dalam tubuh Bila ikut merespon peringatan itu, ia pun berlari bersama perempuan itu. Tangan itu terasa familiar dan membuat Bila tenang, seakan-akan itu adalah orang yang telah Bila kenal sebelumnya.

"Kamu nggak liat mukanya?" tanya Lala, dan diangguki oleh teman-teman yang lain. Mereka sedang berbenah diri, ada yang sedang menyisir, merapikan tempat tidur, ada pula yang masih asik di bawah selimut, malas bergerak. Mereka disatukan oleh cerita Bila, semuanya mendengar kecuali Ajeng yang tampak sedang tidur.

"Nggak tau, nggak keliatan mukanya. Hanya aku langsung berasa aman, badannya kecil kayak kita. Tingginya mungkin sepantaran Ajeng," jawab Bila sambil menunjuk Ajeng dengan sebagian muka, di sela kepura-puraan tidurnya. Ajeng tersenyum simpul merasa bangga.

"Itu memang aku," pikirnya.

Perasaan bangga seorang Ajeng kecil membuatnya ingin sekali berbagi cerita dan menerima kata 'terima kasih' dari bantuan-bantuan yang dia lakukan di dalam mimpi teman-temannya.

"Bila kalau kamu ubah posisi tidurmu, kamu nggak bakalan mimpi dikejar lagi," ucap Ajeng pada Bila.

Ajeng tau setiap malam Bila bermimpi bertemu orang yang akan mengejarnya, dan Ajeng juga tau dua hari yang lalu Bila tidak bermimpi di kejar saat ia mengubah posisi kepalanya ke arah kanan. Bila menatap Ajeng dalam, Ajeng adalah anak yang tidak ingin diajak bicara atau pun mengajak bicara secara tiba-tiba seperti sekarang,

"Kamu tau dari mana saya sering mimpi di kejar?"

"Kan kamu pernah cerita kalo kamu di kejar dalam mimpi dan ada yang nyelamati," jawab Ajeng sedikit tersenyum.

"Saya cerita itu udah seminggu lalu, sekarang udah nggak. Nggak usah sok jadi wirasableng kesiangan deh, sok tau banget jadi anak. Dan nggak usah sok pintar gitu di muka saya, kamu pikir kamu siapa?" Balas Bila sewot dan menatap Ajeng tak senang. Di kalangan anak panti, Ajeng memang terkenal sebagai anak aneh dan dijauhi, hobinya berdiam diri dan menurut mereka itu menakutkan. Selain itu, asal-usul Ajeng tidak jelas dari mana, berita yang beredar Ajeng adalah anak yang dibuang karena hasil dari hamil di luar nikah. Di buang di depan pagar panti asuhan, hampir saja mati karena akan dimakan anjing dan kedinginan.

Ajeng yang merasa Bila tidak tahu berterima kasih tau-tau menjawab,

"Ih dibilangin, besok-besok saya nggak mau bantu kamu lagi. Biar kamu mati sekalian dalam tidurmu," ujar Ajeng memandang Bila marah.

Pertengkaran itu didengar oleh Lala dan satu anak panti lain.

Besoknya Bila meregang nyawa, katanya karena ketindihan dan tak ada yang menyadari, semenjak saat itu, kabar duka bersamaan dengan ucapan Ajeng merebak lebih cepat melebihi virus yang sedang menyerang umat manusia. Ajeng tak lagi punya tempat, di kelas ia dibully, di lempari buku polpen, dan dituduh sebagai pembunuh Bila. Di meja makan tak jarang dijumpai teman-temannya tidak menyisakan dia lauk, ibu panti saja yang sering membujuk dan meluangkan waktu untuk berbicara dengannya dan mimpi buruk itu tak lagi terbendung ketika ibu panti meninggal dunia karena 'batuk'. Ajeng sungguh sedih, ia tak punya lagi tempat di mana-mana, tak pernah kebagian makanan dan lama kelamaan Ajeng diasingkan di sebuah ruang hukuman dengan dalih menganggu kenyamanan siswa lain. Ajeng semakin menutup diri, tujuan satu-satunya yang ia punya adalah ia ingin segera keluar dari panti, tapi terlalu takut untuk merealisasikan pikirannya.

Pada satu malam yang panjang, ia terjebak dalam mimpinya sendiri. Ini terjadi karena ia tak berani lagi masuk ke mimpi teman-temannya, melihat teman-temannya membuat dia ketakutan, apalagi untuk masuk ke dalam mimpi mereka. Ada pula rasa enggan yang membuat dia tak ingin membantu atau pun mencari tahu apa yang terjadi pada temannya dalam mimpi. Ketika tubuhnya meringan dan ia mulai menjadi sedikit transparan, ia hanya akan duduk di samping tubuhnya, diam sampai azan subuh mulai terdengar dan kembali ke tubuhnya. Hingga malam itu, malam yang terasa amat panjang, tak pernah terpikir olehnya untuk menengok sedang mimpi apa dirinya yang sedang berbaring di tikar itu, tubuhnya yang terlihat tertidur pulas. Ajeng transparan menatap dirinya dengan seksama, terlihat tenang dengan tarikan nafas pelan, iseng Ajeng mendekati tubuhnya, mulai berpikir. Kira-kira aku mimpi apa ya malam ini, memegang bagian kepala, sebuah pusaran kelabu menarik tangannya, lalu badannya. Ajeng tersedot masuk, masuk begitu dalam pada lorong abu-abu kehitaman. Ajeng merasa sesak nafas, tercekik tak mampu bernafas,

"Keluar-keluar-keluarrr!!" teriak Ajeng dalam kepalanya.

Itu tak terjadi ia terus saja tersedot, tubuhnya terasa remuk, tenaganya habis. Tak hanya itu tubuhnya serasa di lempar dan ia menemukan dirinya terbaring di dalam ruangan disampingnya seorang anak kecil yang juga sedang berbaring, dan seorang lelaki lengkap dengan kemeja putih bercelana abu-abu sedang berdiri tampak sedang berbicara. Sebenarnya tak terlihat jelas itu lelaki atau anak kecil, hanya otaknya berpikir demikian. Lelaki itu mendekati keduanya, terus berbicara, Ajeng tak tahu pasti apa yang dia bicarakan, hanya terlintas beberapa kata di kepalanya,

"Ini akan membuat kita saling mengenal." Rasa panas susul-menyusul menjalari bagian belakang telinga kanannya.

Setelah itu Ajeng tak lagi menyadari apa yang terjadi.

Tiga hari kemudian Ajeng ditemukan tak berdaya di posisi awal ia ditemukan ketika kecil dulu, dalam keadaan tengkurap layaknya udang. Hal ini mengacaukan penduduk panti, katanya Ajeng mencoba lari dan tak tau jalan, akhirnya dia kembali dan kelelahan di depan pagar. Ajeng semakin dijahui dan di cap perempuan nakal karena hasil dari hilangnya Ajeng selama tiga hari menghadiahi seisi panti anak perempuan bertato bunga tulip berwarna putih keabuan di belakang telinga kanannya.

Sejak saat itu, panti jadi tempat seperti neraka lapisan ketujuh baginya. Ajeng tak lagi berani kemana-mana, hingga malam-malam selanjutnya hanya di isi rasa takut, Ajeng tak ingin berjalan kemana-mana lagi, ia hanya akan berdiam diri seperti posisi fisiknya. Tak berani lagi memegang bagian tubuhnya.