webnovel

Aiko's Daily

Rebahan, sekolah, rebahan, sekolah. Hanya itu yang aku lakukan. Berulang setiap hari. Kata mamaku aku ini anak no life, aku tidak menyangkalnya. Karena itu memang benar. Aku hanya ingin menceritakan sedikit bagian dari keseharianku. Tentang bagaimana kegiatanku, sifatku, dan siapa saja yang berhubungan denganku.

sun_flow · Teen
Not enough ratings
8 Chs

lain kali main ya?

Pulang sekolah kali ini, hari sudah senja. Padahal biasanya aku pulang selalu tepat waktu. Pukul tiga sore. Ini gara-gara Jeno yang memaksaku untuk menemaninya melatih ekstrakurikuler basket.

Jangan kalian pikir aku dan Jeno adalah sepasang kekasih. Bukan. Dia adalah sepupuku.

Dia termasuk penakut, karena nyatanya pulang ke rumah sudah sore begini dia tidak berani. Untung saja tadi aku bawa sepeda, jadi kita bisa berboncengan. Rumah kami pun hanya sebelahan. Mungkin dulu dia pulang diantar temannya kali ya?

"Jen, lo ga ada niatan buat berangkat sendiri gitu? Percuma dong anak basket tapi penakut," aku memang meledeknya.

"Kampret! Lo lupa kalau gue ini indigo?"

Oh iya, aku lupa. Pantas saja.

"Sekarang ada ga, Jen?"

Dia langsung mengeratkan tangannya ke perutku dan menenggelamkan wajahnya ke punggungku. "Bisa ga sih ga usah bahas itu? Kita masih di jalan."

Aku tertawa. "Masih ramai ini." Dia mencubit pinggangku. "Aw, stress lo ya?!"

"Diem. Ga diem gue slepet ntar sampai rumah."

Petang ini pas sekali dengan jam pulang kerja. Mobil banyak sekali yangb berlalu-lalang, begitu juga dengan sepeda motor atau kendaraan lainnya. Suasana ramai seperti ini jarang sekali kudapati. Mengingat ku lebih suka pulang tepat waktu, bukan bersamaan dengan jam pulang kerja.

Stand-stand makanan pinggir jalan seperti ketoprak, martabak, wedang ronde, roti bakar, dan lainnya terlihat begitu menggiurkan di mataku. Aku jadi menginginkannya.

Aku sudah sampai di rumah Jeno. Tinggal 10 meter lagi aku sampai di rumahku.

Ada motor kurir terparkir di depan gerbang. "Maaf, mas. Cari siapa?"

Kurir tadi menengok.

"Mbak Dara, ya? Ini mbak paketnya. Langsung diterima aja ya, mbak. Saya buru-buru."

Loh. Aku kan tidak pesan apa-apa. Apa aku menang giveaway ya? Tapi kan tidak, toh aku juga tidak memberikan alamatku kepada siapa-siapa. "Tapi, mas."

"Duluan ya mbak," main ngacir saja. 

Kulihat identitas di paketnya. "Wah, paket nyasar. Tapi Jerani Darasein siapa weh? Gue ga pernah denger tetannga ada nama itu. Ini nomor rumah 82, gue cari dulu deh."

Belum juga istirahat, harus pergi lagi. Nomor 82 letaknya agak di ujung komplek, lumayanlah 5 menitan. Aku hanya berjalan kaki, malas saja untuk bersepeda lagi. Tanganku udah kebas memegang stang.

Boom! Aku menemukan rumahnya. Ternyata anak orang kaya. Banguna di depanku terlihat lebih besar daripada rumahku. Ada bel disamping gerbangnya, tapi rusak. Baiklah aku terpaksa harus berteriak. Tidak apa-apa. Aku masih punya tenaga.

"PERMISII. PAK BU NYONYA TUAN" persetan dibilang tidak punya attitude atau apalah. Salah siapa belnya rusak. Lagipula aku juga ingin segera istirahat.

Kudengar ada derap langkah dari dalam sana, sedikit berlari-mungkin.

Pintu gerbang itu terbuka dan menampilkan seorang perempuan yang kukira umurnya 21 tahun. "Ada apa ya, dek?" Sepertinya benar dia lebih tua diatasku.

"Ini kak, apa benar ini rumahnya Jerani Darasein?" tanyaku sesopan mungkin. Bukannya memang begitu tata kramanya kan? Menggunakan bahasa sopan ketika bertemu degan orang asing, apalagi usianya diatas kita. Ya kecuali untuk orang akhlakless sih.

"Ini saya sendiri. Kenapa?"

Alhamdulillah.

Aku tersenyum sopan serta mengulurkan tanganku yang membawa paket tadi. "Paket kakak nyasar ke rumah."

Dia terlihat sedikit terkejut. Mungkin bingung juga. Bagaimana bisa paketnya terantar ke rumahku.

"Kok bisa ada di kamu?" ucapnya sambil menerima paket.

"Saya juga ga tau kak, mungkin namanya sama-Dara. Terus juga nomor rumah saya kemarin dipakai anak-anak komplek buat mainan. Harusnya 32 jadi 82 deh," memang benar itu kenyataannya kok.

Dia terlihat mukanya tidak enak. "Duh, jadi ngrepotin kamu yang antar kesini."

"Gapapa, kak. Rumahnya ga jauh-jauh banget kok. Lima menit sampai. Hehe."

"Makasih ya? Mau mampir dulu ke dalem?" duh baik sekali orang ini. Ingin aku mampir, tapi tujuanku tadi setelah mengantar paket itu langsung pulang dan rebahan.

Aku menolaknya halus. "Mau sih kak, tapi baru pulang sekolah. Mau istirahat."

"Ya udah, tapi lain kali main kesini ya?"

"Boleh kak kalau nanti senggang. Oh ya, namaku Dara," aku mengulurkan tanganku. Bermaksud untuk berkenalan. Ya memang untuk apa lagi? Meminta uang? Tentu saja tidak. Tapi kalau dikasih ya aku tidak menolak lah. Hehe.

Kakak tadi tersenyum. "Namanya sama, ya. Kamu panggil aku Kak Jeje aja.biar sama kayak yang lain."

Senyumnya manis sekali.

"Oke Kak Jeje. Ya udah kalau gitu aku pulang dulu ya, kak. Salam buat keluarga. Bye kak."

"Makasih ya."

Aku hanya mengangguk dan tersenyum. Selepas itu aku melambaikan tanganku dan beralri menjauhi rumah Kak Jeje.

By the way, aku belum pernah berada di lur rumah untuk sekedar berjalan-jalan. Selalunya keluar rumah hanya untuk sekolah dan sesekali membeli makan atau cemilan. Keluar kompel sini saja belum pernah, apalagi ke yang lain.

Mama juga sudah pulang kerja. Itu terlihat mobilnya sudah berada di garasi luar. Papa belum pulang, katanya sih lusa. Beliau sedang ada kerjaan di luar kota.

Mama papaku sama-sama bekerja untuk memenuhi kebutuhanku. Alasan mama masih bekerja karena beliau kesepian. Nanti ditinggal anak sekolah, suami kerja. Mama tidak suka kesepian. Makanya memilih untuk bekerja.

"Hai, ma!" sapaku saat mama baru keluar dari mobilnya.

Mama tersenyum. "Tumben baru pulang, Ai. Biasanya juga jam segini kamu udah nongkrong diatas kasur sambil main hp."

"Disuruh nemenin Jeno basket, ma. Gapapa lumayan dapet duit dua puluh ribu dari Aunty Maya."

"Kamu ini kalau masalah duit aja matanya langsung ijo," ya itulah aku. Mata duitan.

"Namanya juga manusia, ma."

Mama hanya tertawa kecil menanggapiku. Selanjutnya aku dan mama melangkahkan kaki untuk masuk ke dalam rumah. "Makan malemnya pakai capcay sama ayam kecap ya, ma? Lagi penngen."

Jari jempol mama terangkat pertanda beliau setuju.

Aku segera membersihkan badanku setelah sampai di kamar. Ngomong-ngomong bajuku banyak sekali yang kotor. Aku belum sempat mencuci. Mungkin nanti malam saja.

Dulu sewaktu aku masih duduk di bangku SMP, bajuku masih dicucikan mama. Mama masih belum bekerja saat itu. Karena aku yang pulangnya tidak lama dan di rumah juga ada Mbak Sumi-asisten rumah tangga kami.

Mama itu orangnya perhatian. Walaupun memang terkadang galak kepadaku, tapi beliau tetap number one. Mama itu orangnya penyayang. Apalagi kalau sama anak satu-satunya ini.

Mama adalah sosok ibu, teman, sahabat yang diidam-idamkan oleh siapapun termausk aku. Pemikirannya yang matang dan tanggapan yang tidak dicamprukan dengan emosi membuatku nyaman untuk bercerita apa saja kepada mama.

Mama adalah pemberi saran yang baik. Makanya, aku sangat menyayanginya.