1 Party

Semua para undangan tertuju pada pasangan suami istri yang baru saja memasuki ballroom hotel mewah dengan nuasa gold.

Brian Emirat dan Elena menjadi Tuan dan Nyonya dalam pesta itu.

Pasangan yang terlihat serasi itu merayakan hari pernikahan mereka yang ke lima tahun.

Suasana semakin ramai saat pasangan itu memotong kue raksasa dan saling menyuapi kemudian diakhiri dengan ciuman mesra dan mendapat tepuk tangan dari para undangan.

Brian tertawa sambil mengangkat gelasnya yang berisi wine.

"Selamat menikmati dan bersenang -senanglah." ujar Brian memberi kebebasan pada para tamu.

"Sayang, aku mau kesana sebentar." Bisik Elena sambil menunjuk ke arah tamu yang khusus undangannya.

"Baiklah," balas Brian dengan senyuman menawan.

Elena menghampiri teman-temanya dan berbincang sebentar sambil mengedarkan pandangannya ke setiap meja tamu, seolah mencari sesuatu. Benar saja kedua matanya menangkap seseorang disana.

Seorang pria dengan kaca mata bertengger di hidungnya. Elena berpamitan dan menghampiri pria itu.

"Jadi, bagaimana pesananku sudah dapat ?" Pria itu tersentak melihat kedatangan Elena yang terlihat begitu seksi dengan gaun punggung terbuka.

Ah, wanita ini setiap ada kesempatan dia selalu menanyakan hal yang sama padanya.

"Kau tampak cantik," puji pria itu seperti memuja.

Elena tersemyum miring. Dia sering mendengar ini. Kemudian mengedarkan tatapanya ke segala arah dan mengambil gelas berisi wine dari tangan pria itu lalu meneguknya sampai habis.

"Terima kasih pujiannya, dan jawab pertanyaanku," ujar Elena sambil tersenyum sesekali pada tamu yang melihatnya takjub.

"Oh, itu. I—iya aku sudah mendapatkanya." Mendengar jawaban terbata, Elena menggigit bibir bawanya sementara tangan kirinya terkepal.

"Jirex, kau lihat wanita tua itu!" Dengan sombong Elena menunjuk dengan dagunya dimana seorang wanita duduk dengan wajah tertertekuk tampak tak menyukai pestanya. Nyonya Carla mertua Elena.

"Dia tampak menyebalkan dengan wajah murungnya itu, aku ingin secepatnya memberi apa yang dia inginkan, jadi jangan kecewakan aku dengan wajah gelisahmu itu." Bisik Elena dengan tatapan tajam, kemudian tersenyum melambaikan tangannya dimana suaminya berada.

"Kita bahas lain kali." sambung Elena meninggalkan Jirex yang mengusap wajahnya kasar.

Brian menyambut Elena dan membawanya ke tempat yang disediakan untuk berdansa. Beberapa pasangan mengikuti dan menikmati alunan musik.

"Aku mencintaimu," bisik Brian lembut

"I love you more than anything," balas Elena mendongak dengan mata terpejam dan bibir sedikit terbuka. Seksi dan minta di cium, dengan senang hati Brian menyambutnya. Mengecup bibir itu dengan lembut.

Sementar dua orang di meja berbeda tampak tidak menyukai adengan romantis pasangan itu. Nyonya Carla dan Jirex.

Jam menunjukkan 23:50 para tamu sudah pulang hanya menyisakan beberapa teman dekat Brian. Sementara Nyonya Carla sudah lebih dulu pulang. Ia tak suka berlama-lama dengan acara glamor yang di buat menantunya itu.

"Sepertinya Elena mabuk, Brian," ujar Nicki menahan tawa melihat Elena bertingkah konyol.

"Aku rasa begitu," Brian menarik Elena dalam pelukannya.

"Kau tidak pulang?" Tanya Nicki pada Harlen yang sudah mabuk juga. Harlen mendongak dan berusaha duduk tegak.

"Ah sialan," pekiknya menutup bagian bawanya yang semakin menonjol dengan jas miliknya membuat Nicki tertawa. " Ini sesak dan penuh." Pria itu bernafsu.

"Sudahlah bawa istrimu pulang," ujar Nicki pada Brian melihat Elena sudah tertidur dalam pelukan temanya itu." Saya akan mengurus bajingan ini sebelum ia onani disini." Brian dan Nicki tertawa bersama.

.

.

Pekerja rumah membukakan pintu saat bel berbunyi. Nyonya Carla sengaja duduk di ruang tamu menunggu putra dan menantunnya pulang. Lebih tepat menunggu Brian. Lalu bagaimana dengan Elena perempuan manja yang sudah jadi menantunya selama lima tahun ini?

Entahlah, Nyonya Carla berlahan berubah sikap padanya.

"Cih, bagaimana bisa dia mabuk saat suaminya menjaga sikap di depan para tamu," Nyonya Carla berdiri melihat Brian mengendong Elena memasuki rumah.

"Bangungkan dia bodoh, kau bisa mati mengendongnya keatas." Bentak Nyonya Carla begitu kaki Brian menginjak anak tangga pertama.

Tangan Elena yang mengantung di leher suaminya itu mengepal. Ia sadar dan jelas mendengar suara mertuanya.

"Mam ...," Mohon Brian, berharap Nyonya Carla mengerti.

Nyonya Carla berdecak kesal, melempar majalah yang sedari tadi ia pengan ke atas meja. Memijit keningnya yang terasa pusing.

"Astaga -astaga Tuhan ... bagaimana bisa aku melahirkan putra sebodoh itu." Gumamnya

Beberapa menit kemudian Brian turun dan masih mendapati Ibunya duduk di sofa.

"Belum tidur, Mam?"

"Kau ini ...," Nyonya Carla meraih majalahnya lalu melemparnya pada Brian. "Kau terlalu memanjanya." ujarnya kesal.

"Sudahlah Mam, biarkan dia menikmatinya. Ini partynya, acaranya. Sesekali tidak mengapa kan?"

Brian mengambil posisi duduk di samping Ibunya.

"Tetap aja Mami tidak suka."

"Kenapa sikap Mami berubah sekarang padanya?"

"Brian ... Mami ingin cucu. Kalian sudah menikah selama lima tahun—,"

"Cukup Mam, kita sudah bahas ini sebelumnya. Kami sudah melakukan seperti keinginan Mami. Cek kesuburan dan hasilnya baik kan Mam." ucap Brian dengan nada meninggi." Jadi aku mohon Mami bersabar dan tunggu pemberian Tuhan."

"Menunggu sampai kapan? Sampai Ibu mati ?"

"Kenapa begini sih, Mam?"

"Pergi ke dokter lain, cek setiap inci yang jadi penghalang kalian mendapatkan keturunan."

Brian terkekeh mendengar ucapan konyol Ibunya.

"Kenapa kau tertawa? Apa menurutmu ini lucu?"

"Aku tidak bisa melakukan itu,"

"Kenapa? Ini tidak susah."

"Mami terlalu menuntut."

"Mami tidak akan menuntut seandainya aku punya anak yang lain,"

"Mami!" Brian berdecak sikap Nyonya Carla membuatnya kesal. "Kalau begitu kenapa tidak melahirkan banyak anak, kenapa hanya melahirkanku saja."

Nyonya Carla terkekeh

"Seharusnya memang begitu, kalau saja suamiku hidup lebih lama."

Nyonya Carla menghela napas, kedua matanya mulai rabun. Ada lelehan yang tertahan disana.

"Dengar Brian, kau hanya seorang diri keturunan Emirat. Papimu bekerja keras membangun bisnis sampai tidak peduli dengan kesehatannya. Kalau sampai keturunan Emirat berhenti padamu, maka segera siapkan pemakaman untukku."

Nyonya Carla bangun dari duduknya dan beranjak meninggalkan Brian dengan ancamanya.

"Mam ...." Brian berdecak, mengacak rambutnya kasar mendengar Ibunya membanting pintu kamarnya. Ada rasa bersalah padanya. Kenapa tidak menurut saja demi Ibunya yang bersusah paya membesarkanya hingga jadi pria sukses seperti sekarang ini.

***

Jirek baru saja menyelesaikan pekerjaannya di ruang operasi. Ia segera memasuki ruang khususnya setelah membersihkan diri dari darah pasiennya. Ada hal penting yang ingin dia lakukan.

Pria itu duduk dan menghubungi seseorang lewat ponselnya.

"Kalian sudah menemukanya?"

Jawaban dari seberang membuat tangan Jirex mengepal. Lagi-lagi zonk.

"Temukan sampai dapat, sialan! Jangan hubungi aku kalau kalian belum menemukanya." Pekik Jirex, mematikan ponselnya dan melayangkan beberapa berkas yang tersusun rapi di mejanya. Membuat ruangan itu berantakan.

Ketukan pintu membuatnya berhenti dari kegilaannya. Jirex mengatur napas sebelum mempersilakan sipengetuk masuk.

"Masuk!"

Jirex terkejut melihat siapa yang datang, emosi yang mengebu -gebu dalam dirinya seketika hilang. Baginya perempuan yang dihadapanya ini adalah obat segala penyakitnya.

Elena.

"Kenapa tidak mengabariku kalau kau datang?"

Elena berjalan menghampiri dan disambut hangat oleh Jirex

"Biasanya juga begitu," jawab Elena dengan suara manja. Mengundang desiran pada pria itu.

Jirex membawa Elena duduk kepangkuanya.

"Kau tahu aku sangat marah," ujar Jirex mengelus bibir Elena dengan tatapan berkabut.

"Kenapa? Kau membunuh pasienmu?" Jirek bergidik mendengar bisikan Elena.

"Aku tidak pernah gagal menghidupkan pasienku saat mereka terkapar di ruang opersi sayang. Aku adalah dokter terbaik di negara ini kau tau itu."

"Baiklah. Kalau begitu apa yang membuatmu marah."

"Bibir ini," Sentuh Jirex pada bibir sensual Elena. "Bagaimana bisa si brengsek itu menciumnya di depan banyak orang."

Elena tertawa, tenyata Jirex melihat kemesraan mereka saat di pesta. Pria itu cemburu dan Elena merasa senang.

"Kau cemburu?" Tanya Elena menggoda.

"Jangan tanya, aku ingin menghabisinya saat tangannya merangkulmu." Detak jantung Jirex mengebu, napas Elena begitu hangat menerpa wajahnya, membuatnya memanas dan ingin segera mencium rakus perempuan itu. Elena pintar bermain, saat bibir Jirex ingin menyentuhnya ia menarik jauh kepalanya.

"Elena sayang, jangan bengini. Aku menginginkanmu." Jirex berusaha sabar.

"Jadi, bagaimana pesananku? Kau sudah siapkan?" Jirex menelan salivanya, dan memandang fokus pada bibir merah Elena yang terbuka sedikit.

Menuntut di cium.

Selain seksi Elena benar-benar pintar menggoda.

"Jirex, kau dengar?" Bisik Elena lagi.

"Beri aku waktu dua hari lagi," jawab Jirex dengan suara parau.

"Kau nyakin?"

Jirex mengangguk.

"Baiklah. Kalau begitu kita bertemu dua hari lagi. Aku akan minta ijin pada Brian dan tinggal bersamamu selama sebulan."

Elena bangun dari pangkuan Jirex dan bersiap meninggalkanya.

"Kau sudah mau pergi?"

"Mmm, kau tahu ada wanita tua yang setiap hari mengawasiku."

"Tapi aku masih merindukanmu, kau datang hanya membuatku —,"

Elena menunduk dan mencium sudut bibir Jirex. Membuat pria itu semakin menengan.

Elena meraih tasnya dari atas meja dan siap beranjak namun Jirex menahanya. Ia harus bertanggung jawab pada sesuatu yang sudah menonjol dibawa sana. Jirex berdiri dan mengangkat Elena, mendudukkanya di atas meja dan dengan gairah meraup bibir sensual itu dengan rakus. Elena tak kuasa berdiam diri ia juga merindukan pria ini. Dengan cepat Elena membalas ciuman itu dan ... Pada akhirnya mereka setuju menciptkan surga dunia di ruangan itu.

avataravatar