webnovel

AGARTHA : Dua Cinta dan Putri Mahkota dari Barat

Rayana Victhoria Agartha dan Jonathan Andrean Aghanta adalah sepasang kekasih yang bekerja sebagai PCA (Police Case of Agent). Suatu hari, terdapat kasus pembunuhan berantai yang menyebabkan kegencaran di tengah perkotaan. Rayana dan Jonathan pun turun tangan untuk mencari pelaku menuju pinggiran kota di suatu daerah pedalaman yang tak terbaca oleh Maps. Hingga dimana mereka membuat suatu kesalahan yang membuat Rayana tersesat seorang diri di alam bak negeri dongeng. Ia berusaha keras mencari jalan keluar dan satu-satunya cara untuk mengetahuinya yaitu dengan membaca buku pedoman dunia dua jalur yang berada di dalam istana. Banyaknya tragedy yang menunda Rayana untuk bisa kembali hingga beberapa kali hampir kehilangan nyawanya. Namun, kenyataan terkait hidupnya lah yang ternyata selama ini menyebabkan kekacauan antar dua lapisan bumi yang membuatnya sangat tertekan dan tak dapat kembali.

Hilya_lia · Fantasy
Not enough ratings
8 Chs

AUTOPSI

Malam ini, pihak medis melakukan autopsi pada korban yang ditemukan satu hari lalu. Mereka terus melakukan autopsi di setiap tubuh korban, berharap mendapat tanda-tanda atau petunjuk kematian.

Inspektur dan beberapa jejeran anggota PCA turut serta melihat perkembangan laporan autopsi.

Jonathan memantau kegiatan pihak medis yang masih sibuk dengan sebuah kertas dan layar monitor di sudut ruangan. Melipat kedua tangan pada abdomen dengan kerutan dahi penuh penantian. Pun suasana begitu hening, hanya terdengar suiran lembar kertas dan tombol keyboard yang sesekali dimainkan. Hingga salah satu pihak medis mendekat dengan raut wajah yang tak dapat diartikan oleh jejeran penunggu.

"Lapisan kulit hingga kerangka masih normal. Sama sekali tidak memiliki tanda-tanda bekas robekan. Namun, beberapa jaringan disekitar organ jantung mengalami kerusakan karena jantung telah rusak total" jelas pihak medis pada Jonathan usai melakukan autopsi.

"Bagaimana dengan sidik jari? Apa anda menemukannya?" tanya Jonathan penasaran dengan menyelipkan sebuah harapan. Terlihat dari kedua sorot mata yang terus memandangi wajah sang penjelas di hadapannya. Namun, harapan itu hancur, bahkan sebelum tarikan nafas kedua ia dapatkan usai mendapat gelengan pasrah dari pihak medis. Menjatuhkan lipatan tangan yang sedari tadi ia teguhkan sebagai pertahanan. Melemah dikala sudut pandang ia rubah pada sekujur tubuh yang terbaring lemah di atas ranjang tertutupi kain putih bersih.

"Tidak ada perkembangan sama sekali. Sama saja dengan hasil yang sebelumnya" Jonathan tampak sangat kesal bercampur kecewa. Memijat kedua pelipis dengan jari jemari gagahnya kuat. Bagaimana mungkin organ dalam terkoyak habis, sementara jaringan di luarnya masih normal bak tak tersentuh oleh siapapun. Kasus pertama dengan tingkat kesulitan yang tinggi. Membuat Jonathan sebagai Inspektur harus memutar otak setiap adanya korban baru.

"Kalau begitu, tolong kabari kami jika anda menemukan suatu petunjuk. Karena sekecil apapun itu, pasti akan mengubah jalan pihak kepolisian untuk menemukan pelaku" ucap sang inspektur sembari membalik arah tubuh guna berhadapan dengan pribadi berbalut jubah putih di depannya.

"Baik. Kami pasti akan segera mengubungi anda untuk autopsi selanjutnya" jelas dokter dengan tatap yang meyakinkan. Seakan memberikan harapan akan adanya cahaya di ujung jalan yang gelap.

"Kalau begitu, kami permisi dulu" pamit Jonathan kemudian segera meninggalkan ruang autopsy. Diikuti oleh dua pengikut lainnya untuk membantu. Sesampainya di luar, ia mengacak rambutnya pelan. Memikirkan rencana kedepannya untuk dilakukan. Sebagai seorang inspektur, semua keputusan ada pada genggamannya, jika menyerah, maka dia sudah gagal dalam melakukan tugas.

Semua orang tampak terdiam. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Melempar pandang satu sama lain, menyusun isyarat dalam diam untuk memulai pembicaraan dengan inspektur yang tampak sibuk berkutik dengan sisi pelipis yang terpijat tegas.

Hingga dimana, kesepakatan sudah diputuskan dalam diskusi secara diam, menunjuk salah satu anggota untuk memulai percakapan. Jika berbicara jujur, sebenarnya mereka tak memiliki mental yang kuat untuk bertegur sapa dengan sang inspektur, karena jika sudah melihat Jonathan melipat satu tangan pada abdomen, jari jemari yang memijat pelipis, dan kedua mata yang tertutup rapat, artinya ia dalam keadaan yang sangat susah untuk diajak bicara. Sangat menyeramkan di bawah ketegasan tubuh jenjang kekar ideal dan aura dingin yang begitu kuat. Namun, karena mereka sudah menunggu selama 3 menit dan sama sekali tidak ada pergerakan, akhirnya salah satu dari mereka mengalah dan mulai memberanikan diri memecah keheningan.

"Ba bagaimana rencana selanjutnya Inspektur?" tanya salah satu anggota PCA dengan pandang gusar tak menentu. Mengumpul keberanian dari tatap kawan yang bertumpu harap padanya.

"Heh" Jonathan menghela nafas kasar sebelum menjawab. Menurunkan tangan tegasnya untuk disisipkan ke dalam saku jaket kulit hitam, tanpa adanya niat menoleh menuju ekstensi sang tanya.

"Untuk saat ini, kita kembali dulu ke kantor dan membahasnya di sana"

"Baik inspektur"

***

Siang hari yang terik, melepas lelah adalah suatu keharusan. Kini jam sudah menunjukkan pukul 12.00. Ini adalah waktu istirahat bagi para pekerja untuk mengisi tenaga sebelum melanjutkan pekerjaan berat lainnya. Duduk bersantai sembari mengeluarkan keluh kesah bersama rekan kerja adalah suatu kebahagiaan kecil di sisa luang.

Kini Jonathan, Rayana, dan Lee Bom sedang makan siang disebuah tempat makan sekitar kantor kepolisian. Mereka harus tetap berada pada jangkauan, agar dapat waspada jika saja ada laporan terkait kasus saat ini.

"Hahh,,,kasus seperti ini benar-benar membuat ku bersemangat" ucap Lee Bom yang sibuk mengisi mulutnya dengan berbagai hidangan yang ada di atas meja makan. Sangat menikmati sembari satu kaki yang ia naikkan pada permukaan kursi yang di tempati. Mendengar pernyataan yang keluar dari mulut teman anehnya, sepasang kekasih itu malah saling melempar pandang, tak percaya pada tangkapan rungu yang membuat raut tak bisa berbohong.

"Apa maksud mu bersemangat? Kemarin kau mengeluh dengan kasus ini" saut Jonathan. Menggelengkan kepala sembari melahap kembali hidangan yang ada pada wadah miliknya. Bukan pertama kali, ekstensi di hadapannya selalu merubah pemikiran dalam hitungan detik. Jika berbicara dengannya seharian, energi mu akan terkuras habis hanya dengan mendengar omong kosong yang penuh akan plinplan bak remaja labil. Maka dari itu, mereka tidak memberikan ekspresi secara berlebihan, walaupun sebenarnya memang sangat pantas untuk diberikan. Sedangkan Lee Bom tentu tak mau kalah, ia segera menghentikan suapan dan menelan sisa makanan yang ada di mulutnya sebelum membuat pernyataan lain.

"Dengar Inspektur. Kasus ini bukan kasus biasa. Ini terlalu aneh" ucapnya mencondongkan wajah ketengah meja makan. Sumpit yang ada di sela jarinya pun bergerak, turut serta dalam gimmick yang ia buat seserius mungkin.

"Aneh?" Rayana bingung dengan perkataan Lee Bom. Mengikuti arus pada sebuah kemisteriusan yang sudah menjadi beban pikiran selama kasus mulai tersebar.

"Hm binggo" jawab Lee Bom tampak begitu bersemangat, menyentikkan jari di depan wajah. Gemilang pada titik balik respon yang sungguh diharapkannya. "Coba pikirkan, pelaku setelah membunuh atau menculik korban, ia akan menghilang begitu saja"

Dua pasang rungu yang sudah siap mendapat pernyataan baru, dengan besar harap mendapat sebuah petunjuk kini mundur begitu saja. Menggeleng lelah, karena pernyataan pribadi penuh semangat di hadapannya kini sudah bukan menjadi rahasia umum lagi.

"Bukankah akan semakin aneh jika ia menyerahkan diri setelah membunuh?" sahut Jonathan. Memberikan pertanyaan balik agar Lee Bom sedikit lebih keras menggunakan otak kecilnya sebelum berbicara. Namun, begitulah Lee Bom, ia tidak pernah merasa berkecil pikir pada kata yang ia anggap benar. Masih bersemangat untuk memberi penjelasan pada kedua rungu yang mulai tak menghiraukan.

"Coba kalian ingat-ingat lagi. Jejak, tanda pembunuhan, bahkan sidik jari pelaku pun tak terdeteksi sama sekali pada tubuh korban. Bukankah ini benar-benar aneh?" ucap Lee Bom masih berusaha membuat inspektur dan wakil mempercayainya.

"Hm. Aku juga merasa kasus ini sedikit aneh. Ditambah lagi bahwa para korban semua adalah wanita" ucap Rayana menoleh kearah Jonathan. Seperkian detik suasana menjadi sunyi, mengingat tubuh para korban setelah melakukan autopsi beberapa hari yang lalu. Mereka memang menyadari semuanya dari awal, namun terpendam karena tuntutan profesi yang memiliki dasar dan perlu diskusi lebih lanjut dengan para team. Kini, selagi Lee Bom mengungkit, keluh kesah dan kecurigaan dari statement yang terpendam mereka diskusikan penuh hati-hati.

Jonathan terdiam, memutar kembali memori pagi usai autopsi terlaksana. Tak ada yang dapat dikatakannya, bahwa bukti masih berada pada ambang udara tak beraturan. Berbagai petunjuk ia raba, namun tak menemukan satu pun titik terang.

"Ada yang lebih aneh" timpal Jonathan di tengah putaran memori tubuh korban, pun belum ia sampaikan pada siapapun, bahkan pada dua anak buah yang selalu mengikutinya ke rumah sakit. Ucapan itu memicu kedua anggota di hadapannya tersimpuh nanti. Menunggu dalam diam akan kelanjutan nyata yang belum diketahui. "Para korban yang terbunuh, semua memiliki tanda lahir di sekitar area belakang. Terutama pada bagian tekuk leher"

"Jadi maksudmu…pelaku hanya mencari seseorang dengan tanda lahir di area belakang?" koneksi antar keduanya tak dapat di remehkan, itulah alasan mereka berpasangan, baik dalam profesi maupun percintaan. Rayana yang begitu cepat tangkap akan teka-teki, sangat memudahkan Jonathan dalam penyelidikan.

"Hm" angguk Jonathan yang membenarkan perkataan kekasihnya.

"Jika di dalam perkotaan sudah tak menemukan yang mereka cari, maka tempat selanjutnya akan timbul kekacauan yang sama, dan itu…." spontan gadis cantik nan cerdas itu melempar pandang pada sang Inspektur. Saling terhubung pada big prediksi yang menjadi sebuah petunjuk jejak pencarian. Diskusi melalui tatap penuh arti menciptakan sunyi yang mencekam, hingga dimana pribadi penuh imajinasi di samping memecah keheningan dengan perkataan acaknya.

"Hei ngomong-ngomong, nama kalian tidak seperti berkewarganegaraan Korea. Rayana,,,Jonathan. Apa kalian benar warga korea, atau kalian..." raut wajah tanpa dosa, masih menaruh fokus memisah lembaran kimchi, tak peduli akan konsen yang sedang ketua dan wakil itu jalin. Lalu Rayana mengangkat satu tangan putih cantiknya dan memukul keras bagian belakang kepala Lee Bom. Bukan apa, hanya saja waktu makhluk ini tidak tepat untuk mengeluarkan sabda konyolnya.

"Apa yang kau pikirkan?" Rayana sedikit kesal jika membahas tentang nama mereka. Ditambah lagi isi otak Lee Bom yang begitu konyol. Kadang Rayana bingung, mengapa orang seperti dia bisa menjadi anggota PCA. Jika berbicara tentang kemampuan, tentu tidak kalah, pangkat pun ia lebih tinggi dari anggota yang lain, namun yang tak tertahan darinya adalah karakter konyol menyebalkan. Idiot memang.

"Ahh" ringis Lee Bom kasar. Memegangi belakang kepala yang terkena tamparan keras. Dengan imajinasinya yang tinggi, tentu ia akan berpikir jika darah sudah mengalir deras membasahi bagian atasnya. Meraba-raba pelan, perlahan menarik telapak tangan untuk ia teliti lebih lanjut. Mungkin ingin memastikan seberapa banyak darah yang keluar. Bergetar dengan raut wajah penuh takut. Seakan-akan kematian sudah berada di depan mata.

"Aku tidak bisa mengatakan mu sebagai makhluk terbodoh sekarang. Tapi kau kira dengan sedikit pukulan akan melunakkan tengkorak mu, hah?" Rayana benar-benar tampak lelah menghadapi tingkah pribadi aneh itu. Entah bisa diakui teman atau tidak.

"Ba bagaimana…ji jikaa…kepala ku…." Lee Bom semakin mendramatisir keadaan. Kedua mata sayu, bibir yang melengkung ke bawah, penuh dengan kesedihan yang mendalam.

Tidak perduli. Sepasang kekasih itu benar-benar sudah tidak peduli. Jika terus menghiraukan kekonyolan yang dibuat salah satu mitranya itu, maka tak akan ada habisnya. Keduanya memilih berbincang satu sama lain, membicarakan hal yang hanya dimengerti oleh mereka berdua, tentu tanpa meninggalkan satu kesempatan pun untuk menebar kemesraan.

Sedangkan itu, Lee Bom yang sudah usai dengan actingnya, mulai tersadar bahwa dia sudah benar-benar menjadi nyamuk diantara lebah penghisap madu. Tak dihiraukan, hanya dibiarkan bergulat sendiri dengan drama yang ia mainkan. Mulutnya menganga, tatap berganti akan dua pasang ria dengan dunia nya sendiri, menghela nafas kelewat kasar sebelum senyum tak percaya tersungging di sudut bibirnya.

"Kalian sedang membicarakan hal apa?" Lee Bom mencoba mengajukan sebuah tanya untuk turut masuk dalam pembahasan, melupakan gurasan kesal akan hirauan yang ia dapatkan beberapa detik lalu. Namun, usai mengeluarkan sebuah inisiatif, ia tetap saja tak mendapatkan respon yang pasti, hanya celotehan gurau dari dua sosok di depannya.

"Bisakah kalian memperbesar volume bicara kalian? Atau memperjelas nya agar aku juga bisa mengerti?" tak ingin menyerah begitu saja, ia terus melempar tanya guna membuat mereka sadar bahwa bukan hanya ada mereka di tempat ini. Bukan hanya kedua bibir itu yang berucap, bahkan kedua tangan mulai aktif memperagakan sampaian, namun masih saja mendapat hasil yang sama. Akhirnya ia memilih untuk menyerah, tak ada yang bisa mengalahkan dua pasang kasih yang sedang kasmaran.

Kemudian melanjutkan asupan yang lama tertunda, mungkin sudah tidak nafsu, karena termakan suasana yang menurutnya sudah tidak lagi mengasikkan, namun ketika menggunakan sedikit sisa otaknya, ia berpikir harus menghabiskan sisa makanan, akan sayang jika dibiarkan begitu saja. Usai melahap semua makanan tanpa tersisa, ia meletakkan sendok stainless dengan kasar, tentu saja dengan maksud memecah romansa akan kedua ekstensi serupa. Dan lagi-lagi ia gagal, kali ini pribadi penuh frustasi itu sudah tidak perduli lagi. Berdecak kali ke berapa dengan gelengan heran sebelum mengangkat satu tangan di atas kepala.

"Permisi" ucapnya dengan sedikit meninggikan suara, memanggil wanita paruh baya sang pemilik tempat makan untuk membayar. Sembari menunggu bibi tersebut mendekat, ia masih menggerutu tak terima akan perlakuan yang di dapat.

"Sudahlah. Aku kembali saja. Aku tak ingin mati muda ditempat seperti ini. Bibi, tagihan makanan ku dibayar mereka saja" unjuk nya pada Jonathan dan Rayana setelah sang pemilik sudah berdiri di dekatnya. Mencoba melarikan diri dari perasaan lajang yang kini membuatnya terlihat mengenaskan. Ia berpikir setidaknya tak memberikan beban dengan membayar tagihan makanannya sendiri.

***