1 Pagi yang Buruk

"Naulidaaaa!"

Teriakan melengking itu terdengar sampai di kamar. Teriakan itu adalah ciri khas teriakan Ibu ketika memanggilnya. Naulida pun bergegas menghampiri ibunya dengan sedikit berlari turun ke tangga sambil membawa tas kerja.

Naulida melihat ibunya yang sudah meletakkan satu tangan di pinggang sambil menatapnya tajam dengan lima jemari bergerak secara bergantian. Ia pun menatap ibunya dengan tatapan bingung.

"Ada apa, Bu?" tanya Naulida.

"Kamu pakai tanya ada apa. Apakah kamu tidak melihat jam sekarang?" tanya ibunya dengan nada tinggi.

"Lihat," jawab Naulida."Kenapa memangnya?" tanya Naulida sambil melirik jam dinding.

"Kenapa kenapa. Apakah kamu lupa mengantarkan adik kamu ke kampus?" Ibu Naulida memastikannya tidak lupa dengan jadwal kuliah adiknya.

Ibu Naulida selalu berbicara keras kepadanya seperti berbicara dengan orang yang ia benci dan tidak bisa mendengar. Ia pun tidak tahu alasan seorang ibu kandung berbicara keras terhadap anak kandungnya sendiri.

Naulida tidak heran dan terkejut atas perkataan ibunya yang keras dan terkadang sedikit kasar terhadapnya. Namun, ibunya tidak pernah berbicara keras dan kasar terhadap adik Naulida. ibunya justru berbicara dengan lembut terhadap adik Naulida yang bernama Nurlida Ambriaksi.

Nama itu sengaja dibuat oleh Ayah karena usianya terpaut empat tahun dari Naulida dan sama-sama perempuan.

"Naulida ingat kalau Nurlida hari ini ada jadwal kuliah," jawab Naulida.

"Bagus. Antarkan dia!"

"Tapi, Bu ... Nau ada jadwal meeting dengan klien penting di perusahaan," tolak Naulida.

"Apakah kamu lupa dengan perkataanmu sendiri waktu adik kamu jatuh dari tangga dan harus dirawat di rumah sakit? Apakah kamu lupa dengan semua itu?!" cecar ibu Naulida.

Ibu Naulida mencecar pertanyaan terhadap Naulida sehingga ia memalingkan wajahnya ke Nurlida yang menatap Naulida dengan tatapan kasihan. Naulida memandangi wajah adiknya setiap inchi dengan pikiran memutar memori pahit.

Memori pahit ketika Nurlida jatuh dari tangga yang disebabkan oleh Naulida karena berebut boneka barbie yang ia sukai. Memori itu membuat Naulida merasa bersalah karena hampir merenggut nyawa sang adik.

"Naulida!"

Suara keras ibunya kembali hadir dalam pendengarannya sehingga ia mengalihkan pandangan ke arah Ibu. Kesekian kali, ibu Naulida berteriak kepada Naulida seakan ia tuna rungu.

"Apa, Bu?" tanya Naulida.

"Kamu membuang waktu saja, cepat antarkan adikmu, sana!" seru ibu Naulida.

"Iya."

Naulida hanya merespons perkataan ibunya dengan singkat karena ia tidak ingin memperpanjang adu mulut dan memperparah mood-nya yang telah rusak ketika Ibu memanggilnya.

"Ayo, berangkat, Nur!" ajak Naulida.

Ia pun langsung mengajak Nurlida yang telah siap sedari dan berdiam menatap Naulida dan Ibu adu mulut di pagi hari. Nurlida hanya bisa diam dan memperhatikan Ibu dan kakaknya yang terkena ocehan dari Ibu setiap hari.

Nurlida berpamitan dengan Ibu mereka sambil bersalaman dan mengecup tangannya. Nurlida mendapatkan kecupan pipi dari Ibu. Sedangkan, Naulida tidak mendapatkannya meskipun ia melakukan hal yang sama sebelum berangkat dari rumah.

Naulida tidak mengharapkan itu karena ia telah terbiasa tidak mendapatkan sejak kecil hingga usianya saat ini. Ibu memang sayang hanya terhadap Nurlida.

Kami pun berangkat dari rumah bersama menggunakan mobil jenis sedan berwarna putih dan Nurlida melambaikan tangan kepada Ibu. Naulida hanya memutar bola mata dengan malas karena sikap yang menurutnya tidak adil dan hanya Nurlida mendapatkannya. Ia mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi karena mengejar waktu agar tidak terlambat datang ke kantor.

Naulida dan Nurlida hanya membisu dan saling melempar lirikan. Mereka sama-sama memiliki ego yang tinggi sehingga tidak ada satu pun mengalah untuk memulai pembicaraan.

Naulida menghela napas secara kasar karena ia bosan dengan suasana hening di dalam mobilnya sehingga Naulida memulai pembicaraan kepada Nurlida meskipun ia sedang kesal kepada adiknya karena sikap ibunya yang berbeda.

"Aku mau tanya sama kamu," ketus Naulida.

"Apa, Kak?" tanya Nurlida.

"Kenapa kamu diam saja ketika Ibu berbicara keras kepadaku seperti budaknya?" tanya Naulida.

"Aku ingin membantu Kakak tapi, Ibu selalu begitu dan aku hanya bisa diam melihat kalian adu mulut setiap hari apalagi setiap pagi," jawab Nurlida.

"Aku tidak tahu alasan Ibu selalu berbicara keras kepadaku tapi, ketika Ibu berbicara denganmu selalu lembut," kata Naulida dengan pelan.

"Hmm ... mungkin Ibu lelah, Kak." Nurlida berusaha menghibur dan mengajak Naulida berpikir postif.

Perkataan Nurlida tidak bisa mengubah pikiran Naulida yang terlanjur negatif setiap saat terhadap ibunya. Ia hanya memandang Nurlida dengan datar membicarakan keadaan Ibu dan Nurlida meringis.

"Aku tidak bisa membuatmu tertawa, ya, Kak?" tanya Nurlida dengan muka polosnya.

"Kamu jangan banyak bertanya, cepat turun, sana!"

Perintah Naulida sebagai kakak kandungnya langsung dijalankan oleh Nurlida. Nurlida pun turun dari mobil kakaknya dan tepat berhenti di depan pintu masuk utama kampusnya.

"Hati-hati, Kak," pesan Nurlida.

Naulida hanya mengangguk dan bersiap mengemudikan mobil sedannya, tetapi hendak menginjak gas mobilnya, suara lelaki terdengar jelas dari dalam mobil dan Naulida menoleh ke kiri.

Penglihatan Naulida disuguhkan pemandangan seorang laki-laki dengan rambut pendek berwarna hitam, hidung mancung, tinggi badan melebihi tinggi Nurlida dan pakaian kemeja berwarna biru, celana panjang jeans dan rambut sedikit berantakan memeluk adiknya. Ia pun turun dari mobil dan menghampiri mereka karena laki-laki itu tidak pernah dilihat olehnya.

"Apa-apaan ini memeluk anak orang lain di depan umum?" tanya Naulida dengan melipatkan kedua tangan di dada sambil memperhatikan laki-laki itu.

"Siapa perempuan ini, Sayang?" tanya laki-laki itu.

"Aku adalah kakak Nurlida," jawab Naulida.

"Oh, kakak Nurlida," kata laki-laki itu.

Naulida tidak menyukai sikap laki-laki itu karena ia berbicara dengan gaya kepala sedikit mendongak ke atas dan mengusap hidungnya sekilas.

"Siapa nama kamu?" tanya Naulida dengan santai.

"Aku itu pacar Nurlida," jawab laki-laki itu sambil tertawa.

"Apakah kamu tidak tahu bahasa Indonesia?" tanya Naulida dengan intonasi penekanan.

"Tahulah!" jawabnya.

"Apa pertanyaanku tadi? Apakah aku perlu mengulanginya?" tanya Naulida.

"Namaku adalah Alexio Kautron Perdana," jawab Alexio.

"Alexio Kautron Perdana." Naulida mengulangi nama kekasih adiknya itu."Nama yang bagus tapi, sikapnya kurang bagus karena tidak bisa mengetahui bahwa ini tempat umum," ledek Naulida.

Naulida bersikap jutek, keras dan bersikap lebih menyebalkan darinya dengan melipat kedua tangannya di depan dada karena sikap Alexio, kekasih adiknya yang tidak tahu sopan santun terhadap orang yang lebih tua.

Naulida melakukan hal seperti itu untuk melindungi dirinya karena ia tidak ingin adiknya disakiti oleh laki-laki seperti, Alexio yang sombong, merendahkan orang lain dan bertindak semena-mena. Ia baru mengetahui dan pertama kali melihat karakter kekasih adiknya.

Ledekan Naulida membuat Alexio naik darah dan hendak menamparku. Namun, aksinya dihentikan oleh Nurlida sehingga Naulida tersenyum puas memberikan peringatan kecil kepada kekasih adiknya.

"Aku berangkat dulu, Dik," pamit Naulida.

Naulida pamit kepada Nurlida sambil melirik sinis Alexio karena telah memeluk adiknya di sembarang tempat. Ia pun masuk ke mobil dan mengemudikan kendaraannya dengan kecepatan di atas rata-rata.

"Astaga, aku hampir telat nih gara-gara meladeni seorang laki-laki masih kecil sudah sok-sokkan memeluk adik kesayanganku," gerutu Naulida.

Naulida berharap hari ini tidak datang terlambat karena harus melewati ocehan maut dari seorang ibu kandung dan menghadapi lelaki kecil bertingkah memeluk Nurlida di depannya.

Meskipun Naulida banyak pikiran, ia bisa mengendalikan amarah dan raut wajah yang kusut dari rumah karena ia harus berhadapan dengan banyak orang.

Naulida sampai di kantor hanya sepuluh menit dari kampus adiknya padahal jarak dari kampus ke kantornya cukup jauh dan terbilang padat dengan kendaraan bermotor.

Ia pun bergegas masuk ke kantor sambil membawa tas dan berkas penting untuk meeting dengan klien penting dari perusahaannya. Naulida baru saja masuk di kantor sudah dihadang oleh dua orang karyawan lain.

"Selamat pagi, Bu," sapa karyawan.

Ia selalu disapa dan diberi anggukan perlahan dan sekali dari karyawannya sampai ia pun lelah membalas anggukkan mereka bahkan meminta mereka hanya menyapa saja.

"Pagi, Pak, Bu," balas Naulida sembari anggukkan dan tersenyum.

Naulida dipanggil oleh dua orang karyawan dengan beberapa kali hendak masuk ke ruangannya dan ia pun terhenti dari langkah kakinya.

"Ibu Manajer, Ibu Manajer," panggil salah satu karyawan.

Naulida berbalik badan dan melihat mereka yang berlari ke arah mereka."Ada apa?" tanya Naulida.

"Maaf, Bu mengganggu waktunya. Kita ingin meminta tanda tangan Ibu sebentar untuk melaksanakan pengiriman ke berbagai negara dan kota," jawab salah satu karyawan.

"Apakah saya juga tanda tangan?" tanya Naulida dengan mengernyitkan dahi.

"Iya, Bu karena Ibu adalah Manajer Pengelolaan," jawab salah satu karyawan.

"Astaga, saya lupa dengan jabatan sendiri," ungkap Naulida sembari terkekeh pelan.

"Ya ampun. Lupa karena banyak pekerjaan, ya, Bu," celetuk salah satu karyawan.

"Tahu saja kamu," kata Naulida."Siapa nama kamu?" tanya Naulida.

"Nama saya Eko, Bu," jawab Eko.

"Eko. Aku akan mengingat itu," kata Naulida.

Ia memasukkan tangannya ke dalam tas dan memberikan satu lembar uang merah kepada Eko dan satu karyawan lainnya.

"Itu untuk kalian sarapan," ucap Naulida.

"Wah, terima kasih, Bu," ucap mereka secara bersamaan.

"Sama-sama," kata Naulida."Apakah ruang meeting sudah siap dan penuh dengan orang?" tanya Naulida kepada mereka.

Ia heran melihat lingkungan kantornya khusus di lantai ruangannya yang jabatannya sejajar dengannya meskipun beda divisi karena masih banyak karyawan lainnya di ruangan mereka. Ketika ada rapat biasanya ruangan sudah sepi dan pergi ke ruang meeting.

avataravatar
Next chapter