webnovel

Rencana Gila

"Kau tahu, aku benar-benar gila menghadapi suamiku yang sangat obsesi itu. Dia mati-matian untuk merebut hati bos nya dengan membuat proyek yang tak masuk akal," Karina terus mengoceh, mengeluarkan seluruh isi hatinya yang selama ini membuat dia merasa tak tenang. Diambilnya sebotol minuman soda, diapun meneguk cairan tersebut dengan banyak.

Sementara Maureen yang ada di depannya hanya bisa terdiam sembari mengaduk-aduk minumannya dengan sebuah sedotan. "Aku masih belum mengerti maksudmu," jawabnya dengan santai, sangat berbanding terbalik dengan keadaan Karina saat ini yang telah emosi pada suaminya.

"Arsen dia berencana membangun mall di sekolah luar biasa. Parahnya lagi, 50% dari anak-anak sekolah itu berasal dari anak-anak yang kurang mampu dan mendapatkan beasiswa dari yayasan. Jika sampai sekolah itu dihancurkan dan dibuat mall, aku tak bisa membayangkan bagaimana keadaan anak-anak itu."

"Just it?"

"Hah!" Karina ternganga melihat Maureen yang tampak santai saja dalam menanggapi ucapannya tadi. "Kau hanya berkata seperti itu, hey pikirlah mereka anak-anak kurang mampu dan gak sebaiknya masa depan mereka juga dihancurkan demi keegoisan para konglomerat itu."

Nafasnya berhembus dengan sangat kasar. Bukannya merasa lebih tenang saat berbincang dengan Maureen, justru dia merasakan hal ang sebaliknya, sahabatnya itu memberikan tanggapan yang sama seperti suaminya, padahal Karina sebelumnya yakin kalau Maureen juga akan membelanya.

"Ya, kau benar kita harus menyelamatkan orang lain. Tapi, bukankah lebih baiknya kita menyelamatkan diri kita sendiri?"

"Ck, berbicara padamu memang gak ada guna nya." Karina membuang wajahnya, memilih untuk melihat ke arah lain dibanfing melihat wajah Maureen yang semakin membuatnya emosi itu.

"Ya-ya-ya, kau benar. Maafkan aku jika tanggapan ku seperti orang yang tak berperikemanusiaan." Maureen tampak mengalah pafanya setelah melihat Karina marah. Wajah masam wanita itu terlihat saat mengalah, tapi berusaha untuk ditutupi oleh dirinya. "Lalu, apa yang kau inginkan? Bukankah berkas itu sudah ada di tangan bos suami mu? Aku pikir, kau tak akan bisa menggagalkan lagi rencana yang suami mu itu miliki."

"Kau benar."

"Lalu, apa yang kau pikirkan?"

Karina menengok, menatap Maureen sejenak dengan penuh kepercayaan diri. "Aku berniat untuk menggagalkan proyek mereka."

"Are you crazy?" tanya Maureen dengan tak percaya nya. "Hidupmu bisa saja hacur jika melawan orang-orang konglomerat itu, lebih baik kita jadi penonton saja tanpa peduli dengan mereka, oke kau mengerti maksudku."

"Hmm."

"Karina dengarkan aku, aku gak mau kalau kau sampai mati dibunuh---"

"Ssst, sudah pembahasan itu sudah selesai, menu sudah sampai, ayo kita makan." Tampak Karina berusaha untuk mengalihkan pembicaraan diantara mereka itu. Diambilnya sebuah twisty da langsung dimakan olehnya, sempat wanita itu melihat ke arah sahabatnya yang balik marah kepada-nya. "Ayolah makan, tenang saja, semua menu mu itu akan aku yang bayar," ujar Karina, berusaha membujuk Maureen dengan traktiran.

"Hmm." Hanya itu saja balasan dari Maureen, lalu setelahnya wanita itu mulai mengambil chicken keju yang ada di depannya dan menghabiskannya dengan pelan.

***

"Kau tunggu di sini sebentar, Ibu ingin mengurus sesuatu diluar."

Joy menengok, gadis kecil yang tadinya sedang asik membaca sebuah buku tebal itu menatap ibunya dengan kening yang mengerut. "Ibu mau ke mana?" tanya dia.

Tangan Karina terangkat, menunjuk ke sebuah bangunan yang ada di depan mobilnya terparkir. Lantas Joy pun mengikuti arah tunjuk ibunya itu. Sebuah gedung bertingkat tiga dilihatnya. Gedung itu tampak sudah tua, bahkan cat nya saja sudah terkelupas.

"Ibu ada urusan di sekolah itu, kau tunggu sejenak, ya."

"Baiklah."

Karina tersenyum kecil menatap putrinya itu. Sebelum meninggalkannya, terlebih dahulu dia memberikan kecupan hangat di bagian kening anaknya itu.

Keluar dari mobil, dia melangkah cepat menuju masuk ke dalam lingkungan sekolah itu. Ke sini, memang dia ada tujuan tertentu, hanya ingin mengantarkan sebuah undangan kepada pemilik yayasan tempat ini. Undangan formal dari sekolah tempatnya mengajar, baginya itu adalah sebuah kesempatan untuk Karina sendiri, karena dia bisa ke tempat ini dengan bebasnya.

Di depan gedung itu, terlihat seorang pria tua yang emmakai baju satpam. Karina tersenyum padanya.

"Ada yang bisa saya bantu?" tanya satpam itu.

"Saya ingin bertemu dengan Pak Daniel, apakah bisa?"

"Apa ada keperluan penting yang bisa saya sampaikan padanya?"

Karina menganggukkan kepalanya. "Ya, saya Karina dari Sekolah Adhitama ingin mengantarkan sebuah berkas penting padanya. Apakah saya diizinkan masuk?" tanya wanita itu dengan hati yang penuh akan harapannya.

"Ya, bisa. Kebetulan Pak Daniel ada di dalam ruangannya."

Setidaknya, Karina bisa menghembuskan nafas dengan lega setelah mendengar itu. "Terima kasih." Setelah mengucapkan kalimat itu, Karina  langsung memasuki gedung yang tampak suda tua itu.

Dia sedikit kebingungan akan arah menuju ke ruang kepala sekolah di sini. Bagaimanapun juga gedung ini cukup luas dan seharusnya, tadi dia meminta bantuan satpam untuk mengarahkannya menuju ke ruang kepala sekolah.

Pandangan Karina mengedar, melihat setiap sisi pada tempat ini. Senyumannya terbit kala dia mrluha beberapa guru yang tampak tengah menghadapi anak-anak serba kekurangan itu, mereka memiliki tingkat kesabaran yang menurutnya sangat tinggi sekali.

"Sangat mengagumkan," pujinya.

Karina melangkah menuju ketempat guru itu berada, menghampirinya dan melihat bahwa guru itu mulai menyadari keberadaannya di sini dan menghampirinya.

"Ada yang bisa saya bantu?" tanya guru itu.

"Apakah Anda biaa menundukkan ruang kepala sekolah? Kebetulan ada sesuatu yang sangat penting ingin saya antarkan."

"Ibu bisa lewati koridor itu, lihatlah plang yang ada di setiap pintu, Ibu akan menemukannya."

Karina menganggukkan kepalanya. Dia mendengarkan apa yang dikatakan oleh guru tadi dengan baik-baik. "Teriam kasih," ujarnya.

Tanpa membuang waktu lebih lama lagi, Karina langsung menuju ke koridor tersebut. Matanya tak pernah lepas melihat setiap plang yang terpasang pada pintu-pintu di sini.

Saat menemukan keberadaan pintu dengan plang yang bertuliskan 'Ruang Kepala Sekolah' hatinya pun berseru dengan senang. Tangannya terangkat, hendak mengetuk pintu tersebut. Lantas pergerakannya berhenti saat tiba-tiba pintu itu terbuka.

Matanya membeliak, menatap sosok pria yang kini ada di depannya. Rasanya cukup tak percaya melihatnya berada di sini. Pria yang memiliki tubuh jangkung itu, tampak menatapnya dengan satu alis yang menukik naik, mungkin sedang kebingungan akan keberadaannya di sini.

"Pak Jhosua," Karina berucap, mengucapkan nama dari pemiliknya.

"Bukankah kau Karina? Istri dari Arsen?"

Karina menganggukkan kepalanya. "Yeah, itu aku. Senang bertemu dengan Anda lagi," ujarnya dengan nada yang sedikit gugup.

Segala pertanyaan itu tersimpan di dalam dirinya, akan keberadaan Jhosua yang ada di sini.

Apakah pria itu mulai menjalankan rencananya untuk menyingkirkan sekolah ini?