webnovel

Pertengkaran

"Tuan Jhosua, kebetulan ada sesuatu yang ingin saya ambil. Maaf jika saya meninggalkan Anda untuk sementara waktu," ujar Arsen.

Jhosua menganggukkan kepalanya, mata tajamnya itu melihat ke arah Arsen yang perlahan beranjak dan meninggalkan tempat ini. Terlihat pria dewasa itu mulai menaiki anak tangga, sampai pada punggung nya tak dilihat oleh matanya, lantas Jhosua mengalihkan pandangannya, melihat ke arah Karina yang tampak canggung dengan situasi seperti saat ini.

Jhosua tersenyum kecil kepadanya, berusaha untuk lebih mencairkan situasi yang kini tengah terjadi diantara mereka.

"Karina Putri, it's your name?" Duduknya yang semula tenggap itu, kini perlahan mulai bersandar, menaikan satu kakinya ke kaki yang lain dengan pandangan yang sama sekali tak lepas pada objeknya saat ini.

Tatapan Karina terlihat ketakutan padanya, padahal interaksi diantara mereka sangat sedikit dan juga Karina baru mengenalnya hari ini. Namun mengapa intimidasi pria itu meneror nya?

Bahkan, untuk menjawab pertanyaan dari bos suaminya itu terasa sangat sulit sekali. Dengan mengumpulkan seluruh tenaga nya, dia pun perlahan mengangkat kepalanya, menatap mata Jhosua untuk beberapa saat.

"Yeah, it's my name."

"Nama yang indah, seperti orangnya."

Kening Karina mengerut, wanita itu memilih untuk mengalihkan pandangannya, dibanding harus terhipnotis dengan tatapan Edward yang bisa saja lebih mengintimidasinya itu.

Wanita itu menjilat pelan bibirnya, berusaha untuk menyingkirkan seluruh kegugupannya itu. Dia terus menatap ke arah tangga, berharap sekali kalau suaminya itu cepat-cepat muncul, dia sungguh tak tahan dengan situasi ini.

Harapannya itu terkabulkan setelah melihat sosok pria yang muncul secara tiba-tiba di ujung tangga, dengan membawa sebuah berkas di tangannya itu. Senyum lebar terpampang jelas di wajah suaminya, bahkan barisan gigi yang tampak rapi itu dapat dilihat oleh Karina.

Pria itu seolah akan menunjukkan suatu hal pada bos nya.

Arsen duduk tepat di sampingnya dan menaruh berkas tersebut ke atas meja, kaku menggesernya dengan pelan, menuju ke arah Jhosua berada.

"Saya baru saja menyiapkan beberapa proyek tentang pembangunan mall di sebelah Restoran Hotman."

Kening Karina mengerut mendengar itu. Lantas, dia langsung menoleh, melihat ke arah suaminya yang baru saja berucap tadi. "Bukankah itu sekolahan?" tanya wanita itu secara refleks.

"Ya, sekolah yang sebentar lagi mungkin akan digusur," jawab Arsen. Pria itu terlihat sangat santai sekali ketika mengucapkan kalimat tersebut, seolah tak ada beban yang dimilikinya.

Secara perlahan, Arsen mendekatkan bibirnya tepat ke telinga Karina, memberikan suatu bisikan yang berisikan sebuah kalimat. "Dan aku pikir, kau harus diam atau pergi saat ini. Aku tak ingin sampai proyek ini hancur karena mu."

Suaminya itu berkata dengan penuh akan penekanan, seolah sedang mengancam Karina.

Wanita itu tak dapat berkata-kata lagi setelahnya. Dia hanya mengandalkan indera pendengarannya untuk mendengar pembicaraan mereka yang membahas tentang sebuah proyek yang akan memakan banyak korban. Hatinya terasa sangat sakit mendengar itu, dia tak bisa membayangkan bagaimana hancurnya hati orang-orang yang telah mereka sakiti nantinya.

"Saya sangat senang mendengar proyek ini, mungkin saya akan membicarakan terlebih dahulu tentang proyek ini kepada para investor dan juga dewan direksi untuk mendapatkan dukungan," jawab Jhosua, dia membaca isi berkas itu untuk beberapa saat, tampak senyuman puas terlihat di wajahnya itu saat membaca isi berkasnya.

"Ya, saya harap Anda menerima proyek yang saya ajukan ini."

***

"Kau tak bisa melakukannya Arsen, bagaimanapun juga itu sekolah untuk anak istimewa, mereka harus belajar meski ada kekurangan." Karina terus memberikan peringatan kepada suaminya itu, setiap ucapan yang keluar dari mulutnya, bagaikan angin lalu yang sama sekali tak dianggap olehnya.

Sedari tadi, Arsen menikmati segelas kopi tanpa menghiraukannya. Pria itu hanya menatapnya yang terus melangkah bolak-balik bagaikan orang gila hanya untuk memberikan beberapa nasihat yang sangat diharapkan oleh Karina sendiri, kalau nasihat itu didengarkan dan dilakukan juga oleh suaminya.

"Untuk anak istimewa itu, aku pikir itu bukan urusan kita," jawab Arsen dengan santainya.

Karina menengok, menatap Arsen dengan surat terkejut kala mendengar jawaban yang diberikannya. "Kau gila. Bagaimana kau bisa tak memikirkan perasaan orang lain?"

"Jangan berlebihan Karina, lagian juga ini bukan jalan yang salah. Aku hanya berniat untuk menggantikan bangunan tua yang merusak pusat kota itu menjadi mall besar yang jauh lebih memperindah. Lagian juga, mereka hanya anak istimewa yang tak penting, bahkan aku yakin mereka sama sekali tak ada kontribusinya untuk negara ini."

Tawa Karina terdengar dengan cukup kerasnya, mengundang tanda tanya di pikiran Arsen. Padahal, sebelumnya dia sangat yakin sekali kalau istrinya itu akan jauh lebih mengamuk kepadanya, atas ucapan yang berisikan hinaan untuk mereka.

"Aku tak menyangka telah menikah dengan pria gila seperti mu." Tawa itu hilang seketika, digantikan dengan raut wajahnya yang datar dan tatapan kebenciannya.

Lantas Arsen membuang wajahnya, sangat enggan sekali melihat mata Karina yang akan menyakiti hatinya.

"Aku kecewa padamu." Tak ingin berada terus di hadapan Arsen, Karina memilih untuk langsung melangkah pergi dari sana. Bahkan, dia sampai membanting pintu kamarnya itu dengan sangat kuat hingga menghasilkan bunyi yang kuat juga.

Di ruangan itu, hanya tersisa keheningan saja. Arsen yang melihat kepergian Karina, hanya bisa menghembuskannya nafasnya dengan kasar. Matanya menutup sejenak, sama seperti Karina, dia pun juga merasakan stress yang amat sangat akan pertengkaran ini.

"Semua ini, ku lakukan hanya untukmu dan juga Joy, percayalah itu."

Di sisi lain, Karina yang menghindari suaminya, kini lebih memilih untuk menuju ke kamar anaknya. Mengetuk pintu kamar tersebut terlebih dahulu, setelah mendengar anaknya bersuara, dia pun langsung memasukinya.

Wajahnya yang tadi menunjukkan kemarahan, kini mulai menerbitkan sebuah senyum lembut nan manis kepada anaknya.

"Hey honey, what are you doing?" Wanita itu menghampiri Joy yang kini tampak tengah duduk di bibir ranjang sembari memeluk sebuah boneka.

"Hanya bermain boneka saja, Bu."

Karina menganggukkan kepalanya dengan pelan. Tangannya terangkat, menyentuh Surai lembut dan hitam milik anaknya. "Wajahmu terlihat sedang sedih, ada apa denganmu?" Sentuhan Karina teralihkan, dia menyentuh pipi Joy dan mengelusnya dengan pelan, berusaha menunjukkan semua kasih sayangnya itu pada Joy.

"Aku baru saja mendengar Ibu dan ayah bertengkar."

"Ya, itu cuman masalah kecil. Kau tak perlu memikirkannya." Karina berucap, memenangkan Joy.

Lantas Joy menggelengkan kepalanya, anak itu benar-benar bersedih akan pertengkaran yang terjadi antara kedua orangtuanya.

"Aku merasakan firasat yang buruk, Bu. Aku gak mau jika sampai firasat itu sampai kejadian," ujar anak itu, sembari mengeluarkan bulir-bulir mutiara dari matanya, menunjukkan bagaimana sedihnya saat ini.