webnovel

Adijaya

Benda pipih berbentuk persegi itu dilemparkan olehnya ke atas ranjang. Wanita yang sedari tadi dalam keadaan suasana hati yang buruk, langsung menjatuhkan tubuhnya juga ke atas ranjang itu. Menyembunyikan wajahnya di dalam selimut dan berusaha untuk menahan air matanya agar tak keluar.

Menggigit bibirnya dengan sangat kuat. Beberapa kali, dia akan membuat kalimat-kalimat yang berusaha untuk menenangkan hatinya sendiri, meski itu terasa sangat sulit sekali untuk dilakukannya. Ditambah, bayangan- bayangan akan kejadian tadi terus datang menghampirinya.

Sungguh, bayangan itu sangat menyiksanya sekali.

"Sial, kenapa aku tadi begitu lemah," Karina berucap dengan umpatan yang mengikutinya. Dia terus mengutuk dirinya sendiri yang dianggap lemah saat mendapatkan pelecehan dari Jhosua. Jika saja pria itu bukanlah bos suaminya, saat ini Karena sudah melaporkan Jhosua ke pihak berwajib, agar pria itu mendapatkan hukuman.

Ya, mungkin itulah yang akan dirinya lakukan.

Dan sesuatu yang paling buruk adalah suaminya. Dia hanya takut jika suaminya tak akan percaya cerita dengan versi nya. Yah, entahlah feeling-nya itu sudah ada di dalam hatinya yang membuat dia tak tenang.

Drttt.

Ponselnya bergetar. Wanita itu tak memperdulikannya. Dia lebih baik berusaha untuk menenangkan hatinya saja. Sampai beberapa menit kemudian, matanya perlahan terbuka, menatap pada sinar lampu yang membuat dirinya benar-benar merasakan perih pada retina matanya.

Secara perlahan, dia membangunkan tubuhnya. Tatapannya yang sayu itu mengarah pada benda pipihnya yang berada tak jauh dari keberadaannya saat itu.

Mengambil ponsel tersebut, dia menghidupkannya. Satu alisnya menukik naik saat dia melihat sebuah pesan yang didapatkannya dari nomor yang tak dikenal. Lantas wanita itu membuka pesan tersebut.

|Simpan nomorku baik-baik, sampai kapanpun itu. My Psycho.

Karina menggigit bibirnya dengan sangat kuat. Segala pertanyaan kini berada di dalam pikirannya dan dia tak tahu bagaimana harus menjawab seluruh pertanyaan ini.

"Siapa yang mengirimkan pesan ini?" Karina bermonolog. Dia telah mengecek profil yang dari nomor tersebut, tapi dia sama sekali tak mendapatkan apa-apa.

Wanita itu mengusap wajahnya dengan kasar. "Tidak-tidak, itu pasti pesan yang tersesat. Bukan untukku," Karina bergumam, berusaha untuk berpikir positif.

Beranjak, wanita itu memilih untuk membuka tirai jendelanya, melihat pemandangan indah yang ada di luar sana, mungkin dapat membuatnya sedikit terhibur dan tak memikirkan masalah ini lagi.

Namun, apa yang terjadi justru sebaliknya. Dari kaca jendela, dia bisa melihat sebuah mobil yang berhenti tepat di depan halaman rumahnya. Ada Arsen dan sekretarisnya yang tengah bersama, mereka berada dalam jarak yang sangat dekat dan seperti sedang serius membicarakan sesuatu.

Karina bergerak cepat untuk memotret kedekatan itu. Meski hatinya terbakar, dia harus bisa berpikir secara rasional dan lebih pandai lagi dalam mengendalikan emosinya saat ini.

Matanya yang tajam itu melihat tangan Arsen yang merangkul pinggang langsung milik sang sekretaris. Ya, bisa dibilang mereka kini tak memiliki jarak lagi.

Apakah mereka tak takut jika ada tetangga yang memergoki?

Sungguh, Karina tak habis pikir sekali dengan perbuatan suaminya itu.

Tak berselang lama dari itu, sekretaris Arsen kembali masuk ke dalam mobil tersebut dan meninggalkan pekarangan rumahnya. Sementara suaminya, mulai berbalik dan sempat menatap ke arah jendela kamarnya, di mana Karina berada saat itu.

Hanya wajah datar dan dingin saja yang dapat Arsen lihat. Tak ada keterkejutan juga di mata Arsen kala tahu bahwa istrinya itu baru saja memergokinya sedang bermesraan dengan sekretaris.

Dia tampak biasa saja.

***

"Kau lihat ini bukan? Mereka benar-benar terlihat mesra sekali," ujar Karina. Wanita itu menunjukkan foto yang ada di ponselnya kepada Maureen dan menceritakan semua yang terjadi kemarin hari pada sahabatnya itu.

Maureen mengambil ponselnya dan menatap foto itu dengan sangat dalam. Perlahan, kepalanya pun mengangguk dengan sangat pelan. "Ya, kau benar. Mereka terlihat sangat romantis sekali," ujar Maureen.

"Sudah kubilang apa, dia berselingkuh dengan sekretarisnya dan kau tahu, kemarin dia sama sekali tak berniat untuk menjelaskan kejadian itu padaku. Padahal, jelas-jelas dia tahu bahwa aku ada di jendela dan memergoki mereka tengah bermesraan," Karina berkata, terus mengoceh dan mengeluarkan isi hatinya itu.

Kepala Maureen mengangguk dengan pelan. Dia mengembalikan ponsel tersebut kepada Karina. "Lalu, apa yang ingin kau lakukan? Menceraikannya?" tanya wanita itu.

Wajah Karina terlihat sangat ragu sekali saat dia mengungkapkan sebuah kemungkinan yang harus dipilihnya.

"Jika dia benar-benar terbukti berselingkuh, rasanya aku ingin bercerai dengannya. Hanya saja, bagaimana dengan Joy? Dia masih kecil, aku takut kalau dia akan merasakan kesepian jika aku berpisah dengan Arsen." Kedua siku Karina ditaruh ke atas meja, wanita itu mulai menaruh kepalanya di atas kedua telapak tangannya, bibirnya dimajukan olehnya. "Lalu aku harus apa? Aku rasa pernikahan ini benar-benar akan hancur sebentar lagi, ditambah kemarin aku baru saja di----"

Karina mengedipkan matanya beberapa kali. Wanita itu baru saja keceplosan mengatakan rahasia yang dimilikinya kepada Maureen. Tidak, untuk masalah itu, hanya dirinya saja yang boleh mengetahuinya. Dia tak akan bisa menahan malu dari tatapan orang lain yang sudah tahu akan fakta sesungguhnya.

"Di …?" tanya Maureen, menuntutnya untuk kembali melanjutkan ucapannya tadi.

Lantas Karina langsung menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Tidak, bukan sesuatu yang penting." Wanita itu mengalihkan pandangannya, menolak untuk menatap mata Maureen yang kini sedang berusaha untuk menggali kejujuran di matanya.

"Hey, aku tahu ada yang kini kau sembunyikan dariku---"

Triiing!

Seribu satu syukur Karina ucapkan untuk Tuhan karena telah membantunya di dalam situasi seperti ini. "Sudah bell, aku harus masuk ke dalam kelas 11 IPA 3 dulu, byee!" Mengambil bukunya, Karina langsung berlari meninggalkan tempat tersebut, tanpa peduli dengan sahabatnya yang kini sedang berusaha untuk memanggilnya.

Karina berlari dengan cukup kencang, agar dirinya tak dikejar oleh Maureen yang berusaha untuk memaksa nya menjelaskan kejadian itu. Dia tetap berusaha mempertahankan diri agar tak menceritakan kejadian yang memalukan itu. Biarkanlah Maureen memaksanya secara terus-menerus, Karina yakin sekali kalau suatu saat nanti, wanita itu pasti akan kelelahan sendiri akan apa yang dilakukannya.

"Selamat siang anak-anak," Karina mengucapkan salam kepada para murid-muridnya. Wanita itu langsung menaruh buku dan tas nya ke atas meja. Menatap ke setiap anak murid yang ada di kelas, sampai pandangannya langsung terhenti pada salah satu siswa.

"Kau? Siswa baru?" tanya Karina pada salah satu pria yang terlihat asing baginya.

"Ya."

"Maju, perkenalkan dirimu."

Pria itu langsung beranjak dan berdiri di depan kelas.

"Perkenalkan semuanya saya adalah Roy Adijaya, pindahan dari Sekolah Bintara."

Karina mengedipkan matanya beberapa kali, menengok ke arah murid baru itu, keningnya mengerut.

Adijaya?