webnovel

Part 9 : Rentetan Perkara

Sejenak, keheningan berhasil menyelimuti suasana asing yang melingkupinya. Tidak ada sedikit suarapun di sana. Yang ada hanya suara detikan jam dinding, yang memenuhi ruangan bernuansa putih itu.

Cowok berkulit langsat itu masih terbaring lemah di atas ranjang ruangan itu. Ujung jarinya tergerak ringan, sambil berusaha mengumpulkan sisa-sisa kesadarannya. Kelopak matanya seolah memaksa untuk terbuka. Hingga dia merasakan nyeri yang teramat sangat di bagian kepalanya.

Engh

Cowok itu mengerang pelan sambil menyentuh dahinya. Dia baru sadar, jika saat ini dahi kirinya itu tengah terbalut dengan sebuah kasa persegi yang direkatkan dengan plaster.

Andra mengedarkan pandangannya di sekitar ruangan. Di sana, dia menemukan sebuah ruangan dengan cat tembok berwarna putih, sebuah pintu kayu yang dicat cokelat, dan sebuah ranjang empuk yang menjadi tempat berbaringnya saat ini. Ruangan ini seperti...kamar?

Andra mengernyit. Sekarang dia tengah berada di sebuah kamar-yang entah milik siapa-dengan sebuah kain kasa yang menempel di dahinya. Dan juga... tunggu! Sejak kapan dia memiliki kaos Barca? Merasa membelinya saja tidak pernah. Karena, Andra lebih suka Real Madrid daripada tim sepak bola Barcelona. Tapi itu tidak penting. Ada sesuatu yang mengganjal di sini.

Perasaan, kemarin dia mengenakan sebuah kaos putih oblong yang dibalut dengan jaket kulit berwarna hitam, dan celana jeans warna gelap. Tapi apa sekarang? Tidak ada lagi kaos oblong, tidak ada lagi celana jeans, apalagi jaket kulit. Lantas...siapa yang menggantikan semua pakaiannya?

Dia berusaha menuju posisi duduknya, dan mengingat apa yang terjadi padanya sebelum tubuhnya berakhir terbaring di ruangan ini. Dalam gambaran otaknya, dia menemukan bayangan sebuah motor, sirkuit, polisi, kecelakaan dan...Bara?

Ya, dia ingat! Beberapa jam yang lalu, Bara berhasil membuatnya tersungur di pinggir jalan dengan kondisi yang menyedihkan. Lalu dia mendengar sirene mobil polisi, dan dia lari terseok-seok hingga sampai di sebuah gang sepi. Saat polisi itu hampir menemukan dirinya, seseorang menarik tubuhnya hingga tersentak. Sosok itu membungkam mulutnya, dan dia melihat dua buah manik mata yang sangat familiar.

Cowok itu tidak yakin dengan penglihatannya saat itu. Terlebih pencahayaan di sudut itu sangat remang-remang hingga membuatnya sulit mengenali sosok itu. Tapi saat Andra menangkap gelombang suara dari bibirnya, dia seolah benar-benar yakin dengan opininya.

Keningnya mengernyit saat seseorang itu keluar dari ambang pintu. "Ady..ra?"

•••

Hembusan udara air conditioner yang menguak menusuk pori-pori kulitnya itu, seolah membuat bulu kuduknya merinding seketika. Gadis itu melongo-membelalakkan matanya tak percaya. Kalau saja mulutnya itu terbuat dari karet, mungkin sudah terjatuh terkapar di atas tanah saking elastisnya. Nampan yang dia bawa saja sudah oleng karena saking terkejutnya.

"Heh! Adyra? Kenapa gue bisa ada di sini?"

Adyra mengerjapkan matanya beberapa kali. Barusan, Andra memanggil namanya? Nggak salah, nih? Sungguh keajaiban luar biasa. "Wah, waktu lo panggil nama gue, kok gue menangkap kesan yang sangat macho, ya? Ulangi lagi, dong!," jawab Adyra nggak nyambung.

Andra memutar bola matanya rikuh. Ditanya apa, malah dijawab apa.

"Lo nggak ngapa-ngapain gue kan, semalem?," tanya Andra menyelidik.

Adyra mengetuk-ngetukkan jari telunjukknya di ujung dagu, seolah mengingat-ingat sesuatu. "Emang elo ngerasa diapain semalem?"

Andra memandang horor Adyra yang tengah menatapnya menyeringai dengan salah satu alis dinaikkan.

"Andra, gausah horor gitu kali mukanya. Nanti tambah ganteng tauk!," jawabnya geli dengan bibir berkedut menahan tawa. "Lagian, yang gantiin baju lo bukan gue kali. Tapi Pak Johan. Jadi, santai aja."

Ucapan Adyra tadi tidak ada bohongnya sama sekali. Semuanya benar. Termasuk orang yang ikut serta merawat Andra sekaligus mengganti pakaiannya semalam. Pak Johan yang dia bilang, adalah seorang dokter. Dokter pribadi papanya, lebih tepatnya. Jam 10 malam kemarin, beliau sudah bersedia datang kemari untuk memeriksa keadaan Andra, sekaligus membantunya mengganti baju. Kurang baik apa coba?

Cowok itu meringis pelan saat merasakan nyeri yang berdenyut di keningnya. Dia ingin beranjak berdiri dari kasur, tapi Adyra menahannya. "Lo masih sakit. Kalau butuh apa-apa panggil gue aja," tuturnya.

"Gue nggak butuh lo! Gue mau pulang," kata Andra dengan nada otoriter.

Adyra berdecak kesal. 'Gue kira dia amnesia tadi. Ternyata masih inget aja kalau punya sifat ketus,' batinnya. "Tubuh lo aja masih lemes. Nggak usah maksa, deh."

Adyra meletakkan nampan yang dia bawa di atas nakas. Satu mangkuk bubur jagung diambilnya dari nampan itu, lalu menyodorkan kepada Andra. Cowok itu mengangkat satu alisnya, sementara Adyra memutar bola matanya. "Jadi, lo nunggu gue suapin nih ceritanya?" Adyra mengerling jahil ke arah Andra. Dan Andra balas acuh tak acuh dengan tak memandangnya.

"Gue nggak laper," tukasnya datar.

Adyra tersenyum kecut mendengar pernyataan datar yang terlontar dari bibir kaku Andra. "Jidat lo udah sakit karena kepentok waktu kecelakaan. Dan sekarang, lo mau nambah lagi? Sakit di bagian perut karena nggak mau makan?"

Tangannya bergerak, menahan lengan Andra yang ingin beranjak dari kamarnya. Gadis itu sedikit tersentak, waktu cowok itu menepis tangan gadis itu dengan kasar.

"Tau apa lo tentang kehidupan gue? Mau gue sakit atau enggak, gue rasa itu bukan urusan—"

"Bisa nggak sih, sekali aja lo ngehargain gue?," tanya Adyra dengan nada memelan, nyaris berbisik. "Apa salah kalo gue care sama lo?"

Cowok itu tak memandang ke arah Adyra. Bibirnya tersenyum, seolah menertawai ucapan Adyra yang terdengar bodoh di telinganya. "Sekarang gue tanya sama lo. Menurut lo, perhatian sama orang yang nggak pernah peduli sama kita itu hal yang bener?"

Tidak ada yang salah dengan ucapan Andra. Tapi, Adyra juga tidak sepenuhnya membenarkan ucapan Andra. Mereka terdiam untuk beberapa saat. Menikmati keheningan yang tak sengaja tercipta karena hanyut dalam pikiran masing-masing. Gadis itu menatap mata Andra. Masih ada hawa dingin di sana. Hanya saja, ada yang sedikit berbeda dari sorot matanya.

Cowok itu beranjak mendahului tubuh Adyra yang masih mematung, sambil menahan rasa sakit yang menjalar di keningnya. Andi yang baru memasuki kamar Adyra—yang tadi berniat untuk memeriksa keadaan teman sekolahnya anak gadisnya—itu mengernyit bingung, menatap kepergian cowok itu dari kamarnya. Pria berkaca mata itu menatap Adyra yang tengah bergeming di samping ranjang tanpa berniat memandangnya, bahkan sedetikpun. Matanya masih menyorot ke ambang pintu. Tatapannya berubah sendu.

"Apa jatuh cinta selalu serumit ini ya, Pa?"

•••

Bibirnya selalu mengeluh kesakitan bahkan sejak dia pergi meninggalkan rumah gadis itu beberapa menit lalu. Cara berjalannya sedikit terseok untuk mencapai ganggang pintu rumahnya. Sekarang masih pagi. Dan seperti hari-hari sebelumnya, masih terasa sepi dan sunyi.

Ujung giginya gemeletuk menahan airmata yang berniat mendesak keluar. Bayangan masa lalu itu selalu bergerak untuk menyiksa batinnya saat melihat rumah ini. Rumah yang selalu dia rindukan saat berada di luar sana. Rumah yang selalu membuatnya nyaman bersama orang-orang tersayang. Tapi itu dulu, sebelum semuanya berubah.

"Masih ingat jalan pulang kamu rupanya."

Reya berdiri di hadapan Andra dengan kedua lengan terlipat di dada. Dia bahkan masih bisa bersikap dingin dan tegas di depan Andra Walau tidak bisa dipungkiri, jika batinnya kini tersiksa karena khawatir dengan keadaan Andra yang baru pulang ke rumah setelah kemarin dia pergi meninggalkan rumah tanpa kabar.

Reya menatap datar Andra yang masih bergeming tak merespon. Bibirnya tersenyum kernyih, saat menangkap wajah Andra yang berantakan akibat banyak luka goresan.

"Apa lagi sekarang? Tawuran sama anak mana lagi?"

Andra tersenyum miring, "Sebesar apa kepedulian Mama sama saya?"

"KAMU!!"

Andra memejamkan mata, menunggu telapak tangan itu menepis kulit rahangnya. Cukup lama hingga 10 detik berlalu, tangan itu masih belum sampai. Andra membuka mata, mencoba mencari apa yang sedang terjadi di sana.

Tidak ada pergerakan. Telapak tangan itu tak menyentuhnya. Dia terapung di udara hampir sejengkal menyentuh kulitnya. Manik mata itu menatapnya.

"Kamu tanya sebesar apa, Nak?," ucap Reya melembut dengan telapak tangan halusnya yang membelai sebelah pipi Andra dengan sayang.

"Yang jelas. Kepedulian Mama tidak lebih besar daripada sifat acuh kamu. Tapi setidaknya rasa sayang Mama jauh lebih besar, dari kebencian kamu untuk Mama."

Andra menurunkan tangan halus itu dari wajahnya. Andra masih sadar. Dia jelas menikmati sentuhan kasih sayang itu dari sorot matanya. Tapi kinerja otaknya seakan menolak. Dia masih keras kepala.

"Terima kasih sebelumnya," kata Andra sambil tersenyum. "Tapi sayang, sebesar apapun kasih sayang Mama, itu semua nggak akan bisa mengubah apapun. Mama sendiri yang membuat kebencian ini tumbuh. Mama sendiri yang membuat saya berubah. Dan saya harap, Mama nggak akan lupa. Kalau Mama penyebab semua ini terjadi."

•••

Waktu telah berhasil mengubah semuanya.

Dia bergerak lihai tak terduga, seperti tongkat sihir milik Harry Potter yang tidak bisa terhenti saat sudah teracung dengan terbacanya sebuah mantra sihir miliknya. Seperti pepatah, 'Waktu lebih tajam daripada pedang.' Tapi ini bukan perihal waktu. Melainkan perasaan, yang hadir seiring berjalannya waktu hingga lambat laun mengubah semua kejadian di masa lalu menuju kejadian di masa depan. Sungguh kejadian di luar nalar. Gadis itu ternyata tidak main-main. Adyra benar-benar jatuh cinta dengan cowok itu.

Dia benar-benar menyimpan sebagian ruang hatinya untuk Andra.

Adyra menopang dagu, sambil menatap indahnya sebuah kotak musik-pemberian Dimas-yang tengah mengalunkan sebuah melodi indah dan sepasang prince and princess, yang berdansa mengikuti alunan lagu.

"Sebesar apa cinta kamu sama Dimas?"

Andi ikut nimbrung, tapi tak bertopang dagu. Hanya saja, pria itu duduk di hadapan anak gadis semata wayangnya. Sambil menatap kotak musik itu juga.

Adyra menoleh, "nggak sebesar dulu, sebelum aku mengenal Andra, Pa."

Andi mengangkat satu alisnya. "Terus, ngapain masih menyimpan barang pemberian mantan?" Adyra terkekeh, "Papa drama, ih."

Adyra menekan tombol off di kotak musik itu. Membiarkan suasana hening untuk beberapa saat. "Pemberian mantan itu bukan untuk dibuang, Pa. Tapi dikenang. Akan ada saatnya aku mengenang semuanya dengan tersenyum, bukan bersedih lagi."

"Yah, Papa nggak tahu apa-apa sih soal cinta. Bukan penyair soalnya," Andi terkekeh pelan. "Tapi saat kamu menemukan perasaan nyaman di satu titik, perjuangkan selama itu bisa."

Gadis itu terdiam. Entah apa yang dia rasakan. Semuanya terasa aneh dan membingungkan. Bibirnya bungkam seribu kata entah harus menjawab apa.

"Cinta itu memberi, bukan meminta. Jangan berharap diterima jika berniat memaksa."

Gadis itu tersenyum getir. "Gini ya rasanya jatuh cinta. Serba salah kayak Raisa."

•••

Brakk!!

Tubuhnya merosot di tembok kamarnya. Dia mengacak rambutnya frustasi. Keadaan selalu membuatnya tersudut. Cowok itu mengusap wajahnya kasar. Berusaha menghilangkan emosi yang membelenggu dirinya. Sejak berbicara dengan Reya tadi sudah sangat terlihat jelas jika menguras seluruh emosinya.

"Nggak akan ada yang bisa diubah."

Andra merasa jika takdir berlaku tidak adil padanya. Di saat usia remaja seperti dirinya, seharusnya dia merasakan bagaimana rasanya memiliki sebuah keluarga yang utuh dengan penuh kasih sayang. Tapi apa yang dia dapatkan sekarang? Semuanya terasa hambar.

Andra mengepalkan telapak tangannya. Berusaha menampung seluruh emosinya di sana. Tapi sayangnya tidak berhasil. Matanya terpejam dalam diam. Dia benci suasana seperti ini! dia benci hidup seperti ini.

Suara isakan tangis yang memecah di ruang kamarnya, membuat kelopak matanya terbuka sempurna. Sorot matanya terarah di sudut ruangan kamarnya, tepat di samping ranjang.

Seorang gadis cantik dengan rambut yang digerai indah itu memucat diiringi linangan air matanya. Andra tersentak saat gadis kecil itu menubrukkan tubuhnya. Andra tak menolak sama sekali. Dia justru malah merengkuh gadis itu cukup erat seolah tak mau lepas. Gadis ini yang membuatnya memiliki tujuan hidup. Penyemangat hidupnya. Gadis yang membuatnya merasakan yang namanya cinta dan bahagia di balik sifat dinginnya.

"Kanya.."

Gadis itu limbung seketika.

•••