webnovel

Part 8 : Kesialan Tak Terduga

"Itu cewek nggak ada capek-capeknya ya, ngejar-ngejar lo terus." Eric membuka suara, sambil melahap roti isi yang ditemukan Andra di lokernya—yang terbungkus rapi di sebuah kotak makan persegi—itu.

Siapa lagi kalau bukan Adyra? Dia bahkan membubuhi kotak makan itu dengan secarik sticky note yang dia tempelkan di atas tutup wadah berwarna biru itu.

To: Cold Andra

From: Sweet Adyra

Norak!

Satu kata yang terlintas di benak Andra saat membacanya. Hingga saat dia ingin membuangnya ke tong sampah, Eric menggagalkan rencananya dan malah merebut kotak makan itu dari tangannya. 'Mubadzir! Kasih gue aja, biar nggak dosa' katanya.

"Iya nih. Biasanya juga kalo ada cewek yang suka sama lo, pasti nyalinya udah ciut buat sekedar lihat tampang lo doang. Secara...elo kan galak. Hahaha! Salut gue sama itu cewek." celetuk Aldo asal.

"Sok tahu lo, Do! Itu si Cinta—primadona sekolah juga nggak ada capek-capeknya ngejar-ngejar Andra. Dia malah lebih ekstrim. Nempel-nempel mulu kayak cicak!" Rio membalas celetukan Aldo dengan semangat, sambil sesekali melahap baksonya.

"Kalo si Cinta sih, emang dasar dia-nya aja yang kegatelan kayak cabe!"

"Cabe-cabe gitu masih mantan lo juga kali, Do! Hahaha!"

"Sialan lo!"

Aldo melempar gumpalan tisu ke wajah Eric, setelah mengatai mantan cabe-nya itu. Sedangkan Eric dan Rio malah terbahak geli karena tampang memerah Aldo yang gusar. Dan Andra? Jangan tanya dia lagi ngapain. Daritadi cowok berambut acak-acakan itu tak bergeming dari posisi duduk santainya sambil menatap layar ponsel tanpa berkedip. Bahkan dia sama sekali tidak memesan makanan. Hanya segelas es teh yang tak minat disentuh, dengan es batu yang sudah hampir mencair.

"Woy! Serius amat sih lo! Lagi nonton yang iya-iya ya lo?" tuding Aldo menyelidik.

"Eh, bego! Ini di kantin woy! Jangan bikin gue jijik karena denger omongan jorok lo, deh!" Eric menjitak kepala Aldo sepihak, hingga sang empu mengaduh.

"Jangan salahin gue, dong! Salahin Andra tuh! Ngapain mancing-mancing kecurigaan otak pinter gue!"

"Sejak kapan otak lo pinter? Kalau otak mesum sih iya!"

"Astaghfirullah... Aldo difitnah sama Rio Ya Allah. Jangan ampunin dia."

"Dasar Onta Hongkong, lo!"

"Lah? Sejak kapan Hongkong punya onta, Yo?"

"Sejak nenek gue pergi ke Pakistan."

Loh! Makin ngelantur nih bocah!

Drrrtt!!

Sebuah getaran yang terasa di saku celana Eric membuat perhatiannya tertarik. Cowok itu membuka kunci layar ponselnya.

"Eh, si Bara WhatsApp gue nih!" Andra langsung mengangkat kepalanya, menoleh ke arah Eric-yang barusan ponselnya bergetar itu-dengan penasaran. Seolah tertarik dengan hal apapun yang menyangkut persoalan Bara, musuh bebuyutannya.

"Dia bilang apa?" tanya Rio.

"Dateng ke sirkuit balap Jl. Gada jam 7 malam, hari ini. Kalo lo semua nggak dateng, berarti kalian pengecut."

Eric mendecak tak suka setelah membaca pesan singkat yang tertera di layar ponselnya. Aldo memukul meja di hadapannya secara spontan hingga menimbulkan suara yang cukup keras dan menarik perhatian seluruh penghuni kantin. "Pasti dia mau jebak kita lagi."

Rio menganggukkan kepalanya, setuju dengan penyataan dari mulut Aldo. "Nggak usah dateng! Dia pasti ngerencanain sesuatu."

"Iya bener."

Semua cowok yang berada di meja itu mengangguk setuju, tak terkecuali Andra. Dia masih bergeming sembari menatap lurus dengan pandangan kosongnya. Seolah mengetahui sifat Andra yang mudah terpancing emosi, Rio menepuk bahunya pelan. "Jangan kepancing. Lo tahu kan, dia licik?"

Andra menepis tangan Rio di bahunya, lalu menatap cowok itu dengan tampang datarnya. "Gue bakal tetep dateng ke sana, meski lo semua nggak ikut."

"Lo gila!" Aldo melotot geram. "Lo nggak inget, terakhir kali dia ngundang kita ke Gada dan berakhir di kantor polisi dengan tangan diborgol? Lo mau berurusan lagi sama aparat? Kalo gue sih, ogah!"

Andra mengubah posisi duduknya dengan santai. "Gue bukan orang bodoh yang akan jatuh di lubang yang sama untuk kedua kalinya. Dan gue bukan pengecut yang cuma bisa menghindari masalah sepele kayak gitu. Dia, nggak ada apa-apanya buat gue."

Andra bangkit dari kursinya, lalu melenggang pergi meninggalkan teman-temannya yang menatap cowok itu bingung. Itu anak memang keras kepala. Dibilangin 'jangan' malah ngelawan. Mereka yang notabenenya sudah mengenal Andra sejak kelas satu itu sudah tidak terkejut lagi dengan sikap Andra yang suka bertindak semaunya sendiri tanpa mengindahkan resiko yang akan mengancamnya. Kalau menyinggung tentang ego? Dia kalah. Andra akan melakukan apapun untuk tidak menjatuhkan harga dirinya. Ya, dia memang egois.

"Kumat lagi deh, batunya."

•••

19.05 WIB

Sapuan angin malam yang dingin seolah tidak menyurutkan niatannya untuk menatap luar jendela kamarnya. Gadis itu bertopang dagu sambil mengamati suasana langit yang terang benderang dengan ribuan bintang dan bulan sabit yang melengkapinya.

Malam yang indah, tanpa hujan.

Adyra menghela napasnya berat. Sejak kejadian tadi pagi di koridor, gadis itu tidak menemukan batang hidung Andra sama sekali. Bahkan setelah dia mengirim sekotak roti tawar isi di dalam loker cowok itu. Sejenak, gadis itu berpikir.

"Dia marah?"

Entahlah. Sudah ribuan kali kalimat itu terlintas di benaknya. Kalaupun Andra marah apa masalahnya? Bukannya setiap hari dia selalu menguntit Andra hingga membuat cowok itu naik pitam ya? Tapi kali ini, masalahnya beda. Mungkin saja kertas itu berharga untuk cowok itu. Dan Adyra malah menyimpannya untuk dirinya sendiri. Padahal, itu bukan haknya kan?

"Bego! Andra pasti marah deh!"

Gadis itu merutuki dirinya sendiri. Dia harus minta maaf sekarang. Harus! Kalau bisa se-ka-rang-ju-ga! Tapi, bagaimana cara dia minta maaf? Alamat rumahnya saja tidak tahu. Tidak. Jangankan alamat rumah, nomor ponsel saja tidak punya! Hu! Payah!

Adyra berpikir keras sambil berjalan mondar-mandir di samping ranjangnya. Dia mencari nama seseorang yang mungkin bisa membantunya menemui Andra. Hingga sesaat, ide brilian muncul tanpa sengaja dalam benaknya.

Kak Nando.

Gotcha! Exact person!

Tidak mungkin Nando tidak memiliki nomor ponsel orang yang baru manggung di kafenya, kan?

Gadis itu men-scroll layar ponselnya, hingga menemukan kontak yang gadis itu cari di sana. Dia menekan tombol berwarna hijau—call alu melekatkan ponselnya di telinga.

"Halo?"

"Apa?"

"Bisa bantuin gue nggak, Kak?"

•••

Brreeeuuumm!!

Suara bising khas motor itu mengalun keras memekakkan telinga. Ditambah lagi, hiruk-pikuk anak remaja yang sibuk meneriaki jagoan mereka masing-masing. Di ujung sana, Andra mengamati mereka dengan sesekali mengedarkan pandangannya menelisik wajah mereka satu-persatu. Cowok itu mencari Bara. Cowok tengil yang tidak ada habis-habisnya mencari masalah dengannya. Dia bilang, akan hadir di Gada jam tujuh malam. Tapi apa sekarang? Waktu sudah berlalu lima belas menit, tapi cowok tengil itu belum juga menampilkan batang hidungnya.

Andra sudah gerah di sini. Sejak tadi, gadis-gadis di tempat itu tengah tebar pesona ke arahnya. Mulai dari ngajak kenalan lah, minta nomor ponsel lah, sampai ada yang tiba-tiba memeluknya dari belakang. 'Gila! Ini cewek belum tahu kali ya, siapa gue?'

"Lebih baik lo lepas tangan sialan lo itu dari pinggang gue, sebelum tangan gue ini ngelakuin hal yang bukan-bukan sama elo."

Nada kalimat itu masih sama. Terdengar dingin dan mengancam. Tapi, gadis yang tengah memeluknya itu malah semakin mengeratkan tautan lengannya.

"Lakuin aja. Gue tunggu."

Gadis itu membisik di telinga Andra. Dan itu malah membuat darah Andra mendidih sampai ke ubun-ubunnya.

"Okey! Gimana kalau gue patahin tangan lo?"

Kriieettt—

"Awwhh!"

Diluar dugaan, cowok itu memelintir lengannya hinga dia meringis kesakitan. "Dasar cowok gila!"

Andra menatapnya sinis hingga cewek itu enyah dari hadapannya. Salah sendiri macem-macem sama macam kutub! Kena batunya, kan?

"Nyariin gue?"

Andra menoleh ke sumber suara di belakangnya. Tatapan dingin Andra seolah mendapat senyum smirk yang menjijikkan dari cowok yang barusan menyapanya.

Bara Aldino. Cowok yang—mengenakan sebuah jaket kulit berwana cokelat—itu menghampiri Andra, bersama dua cewek yang menggamit kedua lengannya possesive. Andra bergidik geli melihat tingkah kedua cewek itu di lengan Bara. 'Menjijikkan' batinnya.

"So, mana temen-temen lo yang sok jagoan itu? Atau mereka semuanya... pengecut?" jelas emosi Andra terpancing saat cowok itu menyebut kata 'pengecut' dalam kalimatnya. Entah kenapa, julukan itu seolah membuat kupingnya memanas saat mendengarnya keluar dari bibir seseorang. Tapi sekarang, Andra berusaha tenang dan mengendalikan emosinya.

"Urusan lo sama gue. Bukan sama temen-temen gue."

"Whoassh! Santai dong! Buru-buru banget, sih." Bara menepuk-nepuk bahu cowok dingin itu pelan. "Kita terjun ke sirkuit sekarang. Kalo elo menang, mobil gue buat lo!"

Cowok itu mengendikkan dagunya ke arah mobil sport berwarna merah keluaran terbaru milikknya, yang berada tepat di belakang tubuhnya. Andra meliriknya sekilas, lalu mengangkat sebelah alisnya. "Kalo gue kalah?"

Bara terdiam sejenak, tanpa mengalihkan tatapan liciknya ke manik mata Andra. "Harga diri lo, buat gue." cowok itu tersenyum miring. "Lo bakal jadi pembokat gue selama seminggu, dan lo harus nurutin semua perintah gue."

Gila! Ini cowok mulutnya minta dicabe-in apa ya? Andra sama sekali tidak takut dengan ancaman Bara. Coba lihat ekspresinya sekarang. Andra tersenyum-ralat-tersenyum miring lebih tepatnya. Dari dulu, Bara memang hobi mencari-cari masalah dengan Andra. tapi ujung-ujunngnya, dia juga yang kalah. Jadi soal pengecut, itu lebih tepat disisipkan di nama Bara. Nama apa yang lebih tepat? Bara Aldino sang pengecut, atau sang pengecut Bara?

"Let's start the game."

Gumpalan asap yang mengepul dari lubang kenalpot itu seolah menyesakkan siapapun yang menghirupnya. Untung tidak ada yang memiliki penyakit riwayat jantung di sana. Kalau ada, pasti dia sudah kolaps karena dikejutkan dengan berbagai jenis suara bising yang memekakkan gendang telinga mereka.

Andra menancap gas motornya tanpa melepas rem tangan yang dia kepal kuat di telapak tangannya. Bara juga melakukan hal yang sama dengan Andra, masih bermain suara kenalpot. Hingga sosok cewek bercelana jeans itu berdiri di depan mereka denagn membawa bendera bercorak hitam-putih yang sengaja dilambai-lambaikan.

"Siap?" kalimat cewek itu dibalas anggukan oleh mereka.

Hingga saat cewek itu menghitung mundur, "3..2..1.."

Brraashhh!!

Suara tepukan tangan menggema di arena balap tersebut. Sebagian orang mendukung Andra, dan sebagian orang juga mendukung Bara. Sejuknya udara malam yang menusuk pori-pori kulitnya seolah bukan menjadi masalah besar untuk Andra maupun Bara. Mereka malah asik memainkan gas motor, beradu siapa yang paling depan di antara mereka.

Sekali tarikan napas, Andra mengunggulinya. Cowok yang mengenakan jaket kulit berwarna hitam itu tersenyum miring ke arah Bara yang tertinggal jauh di belakangnya. Tapi tentu saja Bara tidak tinggal diam. Dia mencari celah, agar bisa membalap motor hitam Andra yang berlaju kencang. Dan sayangnya, Andra lebih cerdik darinya.

Cowok itu bergerak dengan lihainya menghalangi jalan yang ingin diterobos Bara. Jangan ditanya lagi bagaimana geramnya Bara saat itu.

Cowok bermata sipit itu sudah berada menyejajari Andra. tiba-tiba, keseimbangan motor Andra sedikit oleng karena ada sesuatu yang mengganjal. Sial, Bara menendang-nendang bagian motornya hingga membuat cowok itu hampir terhuyung.

Andra menambah laju motornya mendahului Bara. Tapi cowok itu tidak tinggal diam. Dia selalu mengambil kesempatan agar bisa membuat keseimbangan Andra meluruh. Andra tidak bisa bertahan lama. Cowok itu benar-benar tidak waras. Hingga,

Bruuak!! Arrgghh!!

Hanya butuh waktu sepersekian detik, motornya menabrak sisi kiri jalan. Tubuhnya terpental jauh dari letak motornya. Kepalanya membentur sesuatu, hingga menimbulkan suara yang cukup keras saat terantuk dengan bagian helmnya. Andra mengerang. Rasa perih itu menghujam bagian kanan tubuhnya, tepat di bagian lengan yang masih terbalut jaket kulit. Dan jaket kulit itu sudah sobek tak berupa saat ini.

Itu akibat dari sifat keras kepalanya yang sudah dinasehati. Sudah tahu, Bara itu manusia jadi-jadian. Tapi masih dia masih saja sudi mengikuti permainan bodohnya.

Kedua kelopak mata Andra terpejam, berusaha menepis rasa sakit yang menjalar di seluruh tubuhnya. Cowok itu meraba saku celana jeans-nya, berusaha menemukan ponselnya dan berniat meminta bantuan kepada seseorang. Tapi sayangnya, niat itu seolah lenyap saat suara sirene mendengung nyaring di telinganya.

"Sial, itu polisi!"

•••

"Lo yakin, Yo?"

Aldo membelalakkan matanya seolah tidak percaya dengan kalimat yang terlontar dari mulut Rio. "Serius! Tadi—hh—gue lihat mobil polisi lagi patroli di sekitar Gada. Gue nggak bohong, suer!" kata Rio terbata-bata sambil mengatur napasnya.

Dari cerita yang dia bilang, Rio berada di perjalanan ke rumah Eric dengan mengendarai sebuah motor. Arah rumah Eric memang melewati area Jalan Gada yang memang selalu sepi apalagi malam hari. Dan saat cowok itu masih fokus dengan jalanan, dia mendengar sirene khas mobil polisi. Hingga saat cowok itu menajamkan matanya, dia ingat sesuatu. Andra sedang berada di sana dengan berangkat sendirian menghadapi Bara.

"Telpon dia cepet! Kasih tahu kalau lokasi nggak aman." ucap Eric panik.

"Udah berkali-kali gue hubungin, tapi nggak diangkat!" Aldo angkat bicara, sambil terus berusaha menghubungi Andra.

"Lama lo! Sini! Biar gue yang telpon!"

•••

Tut-tut-tut..

Adyra mengernyitkan keningnya heran. Kalau dihitung, sudah 15 kali gadis itu menghubungi Andra. Dan sampai sekarang, masih tidak ada jawaban. Bukan hanya itu. Gadis itu juga sudah berkali-kali mengirim pesan singkat seperti Hai, Apa kabar?, Halo, Ini Andra?, Bales dong!, Gue cewek cantik!, Respon kali!, Peka dikit napa!, tapi tidak ada respon hingga membuat Adyra geregetan sendiri. Mau jadi Bang Toyib apa? Udah ngilang gitu aja nggak ada kabar! Elah!

Gadis itu memutar bola matanya gusar. Nggak di telepon, nggak ketemu langsung, sifatnya sama aja. Nggak ada manis-manisnya gitu.

Adyra membanting ponselnya di atas kasur, lalu menyambar sebuah sweater berwarna hitam, dan jogger pants dari lemari bajunya. Mungkin, dia akan menghabiskan waktu di kafe milik Nando seperti biasa. Daripada di rumah mulu, suntuk nggak ada kerjaan. Jangan tanya soal PR! Tentu gadis itu sudah mengerjakannya sejak pulang dari sekolah tadi. Rajin kan? Iya tumben rajin!

"Mau kemana?"

Adyra menoleh ke sumber suara. Papanya—Andi tengah berkutat serius dengan layar laptopnya. Tapi kegiatan hariannya itu dia usahakan untuk tidak menganggu pantauannya terhadap anak gadisnya. Apalagi, hanya dia satu-satunya orang tua yang Adyra punya.

"Dyra mau ke kafenya Nando, Pa."

"Papa anter—"

"Nggak usah, Papa sibuk. Lagian, kafenya deket ini."

"Yaudah. Jangan pulang lewat jam 9 ya?"

"Nggak. Kalo aku pulang lewat jam 9, takut nanti jadi labu kayak Cinderella."

"Apa sih? Udah sana hati-hati."

Andi mencium pipi Adyra sebelum dia melenggang pergi. Hingga saat gadis itu sudah berada di ambang pintu, pria yang sudah beruban itu tersenyum. "Dimas nggak akan lagi bisa nyakitin kamu. Papa janji."

•••

Sakit.

Andra mencoba mempertahankan keseimbangannya, walau langkah kakinya kini tengah terseok-seok. Penampilan cowok itu sudah sangat berantakan. Celana jeans hitamnya sobek di bagian lutut, dengan jaket kulit yang terlihat kotor. Kening dan lengannya bersimbah darah, dan itu membuat Andra terlihat seperti zombie.

Pandangannya sedikit buram, akibat rasa sakit yang menyerang kepalanya seolah tak tertahankan. Cowok itu mendudukkan tubuhnya di sebuah tembok dekat gang dengan posisi bersandar. Energinya seolah terkuras habis hingga dia tidak sanggup hanya sekedar berjalan sampai jalan raya.

Jalan Gada selalu sepi, terlebih di malam hari. Andra berusaha mengeluarkan suaranya, bahkan untuk sekedar mengucap kata 'tolong' saja sangat sulit. Suaranya seolah tercekat. Semua bagian tubuhnya terasa sakit sekarang. Bara sialan! Itu cowok memang bosan hidup rupanya.

Tiba-tiba, suara derap langkah terdengar samar di telinganya. Andra bersyukur dalam hati. Keberuntungan tengah berpihak padanya. Cowok itu berusaha menegakkan tubuhnya, dan berharap jika orang itu bisa menemukan dirinya yang sedang terkulai di sini. Tapi sesaat, suaranya tertahan. Ketika seseorang itu terlihat membawa pistol.

'Gimana polisi itu bisa sampai di sini, sih!' rutuknya dalam hati.

Andra yang mulanya berjalan maju, kini mulai memundurkan langkahnya pelan. Sangat pelan sekali supaya tidak menarik perhatian aparat itu ke arahnya. Langkahnya tertatih. Dia harus bisa kabur dari tempat terkutuk ini. Dia tidak ingin berurusan dengan petugas sialan itu.

Cowok itu berusaha berlari sejauh kemampuan yang dia bisa. Kakinya sedikit terkilir, hingga membuat kecepatan langkahnya menjadi terbatas. Sesekali, cowok itu menopangkan tubuhnya di tembok dengan napas terengah-engah.

Brakk!!

"Siapa itu?"

Lengan kiri Andra tak sengaja menyenggol sebuah balok kayu yang tersandar di samping tubuhnya. Andra merapatkan tubuhnya di dinding, berusaha bersembunyi di balik tembok itu. Tapi tubuhnya semakin melemah. Gelenyar perih itu seolah menguasai tubuhnya secara sepihak.

Seorang pria yang mengenakan seragam aparat itu semakin mendekati tempat persembuyiannya. Kali ini, Andra pasrah. Persetan jika dia harus berakhir di kantor polisi. Kelopak matanya sampai terpejam kuat akibat menahan rasa sakit yang menggelenyar.

Tubuhnya meluruh. Cowok itu tersandar lemah di balik tembok. Tak mampu menahan rasa sakit yang seolah merenggut seluruh kekuatan topang tubuhnya. Kedua lubang hidungnya tak henti-hentinya mengalirkan darah. Kepalanya terasa sakit. Dadanya sesak.

Hingga tubuhnya seolah tersentak untuk beberapa detik.

Cowok itu pasrah jika dia akan berakhir di ruangan interogasi yang hanya tersorot satu lampu dan beberapa petugas saja di sana.

Tapi, entah kenapa telapak tangannya tidak terasa dingin ataupun terasa sakit karena terborgol. Hening. Tidak ada suara bentakan khas polisi yang sering dia temui saat tengah menangkap seorang penjahat. Cowok itu mengernyit bingung. Andra masing berada di ambang kesadarannya. Tapi matanya masih terpejam. Dia tidak tahu siapa yang menariknya saat ini. Yang jelas, dia bukan polisi.

Hingga saat Andra mencoba membuka mata, matanya membulat kaget hingga dia hampir berteriak. Tapi seseorang yang berada di hadapannya itu membungkam mulutnya, dengan telapak tangannya. Sosok itu menggelengkan kepalanya, mengisyaratkan Andra untuk tidak bicara. Dan Andra menurutinya.

Dengan pencahayaan yang remang-remang, dia berusaha menajamkan pandangannya yang sedikit buram itu. Cowok itu mendelik tak percaya dengan sosok yang berdiri tepat di depan wajahnya.

Sangat dekat.

Telapak tangan itu meluruh dari bibir Andra. Sosok itu menatap Andra dengan sorot mata yang menyiratkakan kekhawatiran. Saat sosok itu menepuk pelan pipi Andra, dia tersentak dari lamunannya.

"Lo nggak papa?"

Tubuhnya meluruh seringan kapas. Lututnya melemas, seolah tidak ada sedikit tulang pun yang menopang berat tubuhnya. Suara familiar yang sangat dia kenali. Sorot mata yang selalu dia hindari. Dan akhirnya, semuanya gelap.

Cowok itu pingsan.

▪▪▪