webnovel

Part 7 : You (almost) Steal My First Kiss!

Gemericik air hujan, turun menderas dari atas langit yang dibawa oleh gumpalan awan mendung yang menggelap. Hingga menimbulkan alunan melody abstrak yang terasa kontras dan merdu saat melewati gendang telinnganya. Rasa perih yang menggelenyar di permukaan kulitnya, membuat bibirnya meringis. Merespon rasa sakit yang tersalurkan.

"Awh! Bisa pelan-pelan nggak sih lo?"

Andra membentak seseorang yang tengah serius membersihkan luka baretnya dengan garang. Sedangkan lawan bicaranya hanya melirik acuh.

"Manja banget deh, lo! Masih untung gue bantuin."

"Kalo nggak ikhlas, ya udah!" Andra merebut bulatan kapas yang berada di tangan Eric. "Gue juga bisa sendiri."

Eric memutar bola matanya malas. 'Dasar patung es! Udah dingin, ketus, batu, hidup lagi!' rutuknya dalam hati.

Cowok berkaos hitam itu menyandarkan bahunya santai di punggung sofa. Matanya masih tersorot pada cowok bercelana jeans yang sibuk dengan bulatan kapas di sampingnya. Lalu sejurus kemudian, dia mengalihkan pandangannya ke arah sebuah gitar yang di taruh di samping meja. Eric tersenyum, menatap kagum gitar itu. Meskipun sahabatnya-Andra yang kini telah merubah sifat humble dan friendly-nya menjadi sosok yang dingin tak tersentuh, tapi sifat keras kepalanya tidak berkurang sedikitpun. Dia masih Andra yang ambisius. Tetap bermain musik, walaupun dunia melarangnya.

"Jadi, lo main musik lagi tanpa sepengetahuan gue?"

Andra melirik Eric-yang sedang menyambar gitar kayunya-sekilas. "Gue nggak butuh persetujuan lo."

Eric terkekeh pelan. "Tapi lo butuh persetujuan nyokap lo."

Andra menghentikan kegiatannya sejenak. Dengan membiarkan gumpalan kapas itu terhenti di udara. Cowok itu tersenyum sinis.

"Lo yakin, dia masih peduli sama gue?" Cowok itu menatap ke arah lain, tanpa tertarik menatap lawan bicaranya.

"Terserah lo deh!" Sejenak, Eric menghela napas. Andra memang keras kepala.

"Jadi..gimana ceritanya lo bisa keserempet motor kayak gitu?"

"Gue kepergok sama si Beo."

Eric mengernyitkan keningnya heran, seperti sedang berpikir.

"Si Beo! Cewek yang selalu nungguin gue di gerbang sekolah, sambil teriak-teriak nama gue nggak jelas."

"Oh." Eric menganggukkan kepalanya seolah mengerti dengan seseorang yang dimaksud Andra. "Terus, ngapain lo lari?"

"Gue males ketemu sama itu cewek. Berisik."

Sejenak, Eric terdiam. Hingga beberapa detik kemudian dia terkekeh. Andra menyipitkan matanya tak suka saat melihat ketawaan Eric yang terkesan seolah mengejek. "Ngapain lo ketawa?"

"Lucu." balas Eric singkat.

"Lo pikir gue ngelawak?"

"Nggak sih. Tapi, coba lo pikir deh. Dimanapun ada elo, pasti itu cewek ada di situ juga. Lo nggak ngerasa...aneh?"

Andra membuang bulatan kapas yang sudah berubah warna menjadi merah itu, ke dalam tong sampah dengan sekali lemparan. "Emang itu cewek aneh, kan."

"Tapi dia cocok sama lo. Hipoaktif, sama hiperaktif." Eric tersenyum sambil menatap langit-langit. "Whoaa!! Kebayang nggak tuh, anak-anaknya bakal gimana? Pasti lucu banget deh!"

Sebuah bantal sofa persegi melayang tepat ke wajah Eric, hingga membuat cowok itu mengelus pipinya pelan. "Sialan lo! Amit-amit gue punya anak sama tuh cewek!"

Eric semakin mengeraskan suaranya. Tak peduli dengan tatapan tajam Andra yang seolah bisa membunuhnya kapan saja.

Kini, cowok berkaos hitam itu merebahkan tubuhnya di sebuah ranjang miliknya yang terletak tepat di samping sofa. Matanya melirik ke arah Andra yang terlihat kebingungan, seperti mencari sesuatu.

"Ngapain sih, lo?"

"Lo, lihat ada kertas jatuh dari saku celana gue nggak?" tanya Andra risau, tanpa meninggalkan telapak tangannya yang masih nangkring di saku celana.

"Enggak. Emang kertas apa sih?"

"Lagu ciptaan gue, gue tulis di situ. Dan sekarang nggak ada."

"Lo lupa naruhnya kali." Andra menggelengkan kepalanya pelan. Dia bukan tipikal cowok ceroboh yang suka menaruh barang asal-asalan. Jelas-jelas dia tadi masih melihat gumpalan kertas itu di saku celananya. Tapi sekarang, kosong momplong.

Cowok itu mengacak rambutnya gusar sambil sesekali mengingat sesuatu. "Mungkin nggak sengaja jatuh waktu elo keserempet tadi." Andra mengendikkan bahunya.

Eric memutar kepalanya agar bisa menemukan kemungkinan-kemungkinan terbesar yang terjadi pada kertas itu. Hingga beberapa saat setelah itu, matanya membulat kaget. Dia menatap Andra sambil membelalakkan matanya. Sedangkan Andra menatapnya dengan tatapan bertanya.

"Jangan-jangan kertas itu jatuh waktu lo kabur, terus diambil sama-"

Andra membulatkan kedua bola matanya, seolah sama terkejutnya dengan mimik wajah Eric saat ini.

Sial.

•••

Duk!

Empuk.

Gadis itu merebahkan tubuh mungilnya di atas kasur. Tanpa mengalihkan pandanngannya pada selembar kertas setengah basah yang terkait di kedua telapak tangannya.

Kedua sudut bibirnya masih saja tersenyum sejak tadi. Tentu saja, setelah menemukan kertas itu.

Di lembaran tersebut tertulis beberapa kalimat puitis semacam lirik lagu lengkap dengan cord gitar yang melengkapinya. Adyra memang tak tahu itu lagu apa. Namun, dengan membacanya sekilas saja, bisa membuat Adyra tersenyum dibuatnya.

"Romantis."

Gadis itu tersipu malu sambil memejamkan kedua matanya.

Membayangkan Andra memetik senar gitar dengan mengalunkan lagu itu indah di telinganya, membuat rongga dada Adyra terasa bergemuruh hebat.

Hingga di sebuah taman, telapak tangan besar itu menutup kedua mata Adyra hingga terpejam. Sebuah melody akustik mengalun indah di telinganya. Hingga beberapa saat setelah telapak tangan itu terlepas, Adyra mengerjapkan matanya.

Hamparan rumput taman yang menghijau, rangkaian bunga berbentuk love, hingga satu set candle light dinner yang menakjubkan membuat bibir Adyra menganga lebar, selebar satu box pizza jumbo with extra cheddar cheese and macaroni.

Oh, my god!!

Bibir merah merekah Adyra tak henti-hentinya mengulas senyum manis. Sangat tidak disangka jika cowok dingin di hadapannya kini bisa bersikap romantis.

Andra meraih telapak tangan Adyra, lalu menggenggamnya lembut. Gadis itu tersipu, hingga warna pipinya mungkin sudah semerah kepiting rebus sekarang. Adyra menatap mata itu. Mata yang selalu menyiratkan sorot mengintimidasi dan tajam, kini berubah menjadi sorot mata yang lembut dan meneduhkan. Ya Tuhan! Semoga gadis itu belum pingsan sekarang.

"Ra?"

Adyra bergumam. Gadis itu mengerjapkan matanya berkali-kali. Apa? Barusan Andra menyebut namanya? Nggak salah?

"Adyra?"

"I—iya?"

"Kamu cantik."

"Ha? A—apa?"

"Kamu cantik, aku suka."

Semilir angin malam seolah membuat tubuh gadis itu melayang dalam waktu sepersekian detik. Tubuhnya seringan kapas. Kalimat itu seolah merenggut habis seluruh oksigen yang memenuhi rongga dadanya, tanpa tersisa sedikitpun.

Adyra hanya bisa tersenyum, tidak tahu harus berkata apa. Lidahnya kelu tak terkira, hingga bibirnya seolah membeku.

Gadis itu semakin membulatkan matanya saat mata itu menatapnya lekat. Langkah kaki jenjangnya semakin mendekat. Hingga hembusan udara dari hidung Andra, terasa hangat menyentuh permukaan wajah Adyra. Dadanya naik turun entah sudah keberapa kalinya.

Manik mata Andra sangat tercetak jelas di bola mata Adyra, hingga gadis itu bahkan tidak sanggup menutup matanya. Wajah tegas Andra terhenti, sekitar 10 cm dari wajah Adyra. Adyra masih menatap mata itu. Mata seseorang yang tengah mengulas senyum.

"Lo mau, jadi pacar gue?"

Habis sudah kekuatan topang tubuhnya. Kakinya meluruh seperti jelly, hingga membuatnya terhuyung. Tapi Adyra tidak jatuh, Andra menangkap kedua bahu kecilnya. Lalu menyunggingkan seulas senyum menawan untuk Adyra. Gadis itu terpaku sejenak.

"Jadi? Lo mau?"

Dia mengangguk. Sumpah, itu bukan kemauannya. Tubuhnya bergerak secara otomatis tanpa disuruh. Hingga membuat Adyra tersentak kaget saat Andra menarik tubuhnya.

Andra merengkuh tubuh Adyra erat hingga membuat gadis itu sedikit sesak. Tapi tidak bisa dipungkiri jika gadis itu juga merasakan bahagia saat ini. Benar-benar bahagia hingga dia sendiri sulit mendeskripsikannya.

Kedua permukaan pipinya terasa dingin, saat Andra menangkupnya dengan kedua telapak tangannya. Bibir Andra tersenyum, hingga membuat Adyra secara otomatis menarik sudut bibirnya. Wajah Andra memiring bergerak mendekat ke wajah manis gadis itu. Dan Adyra memejamkan matanya.

Hembusan angin malam yang dingin dan udara yang keluar dari hembusan napas Andra sulit dibedakan. Semuanya terasa sama, dan ruang jantungnya berdetak sangat kacau.

'Cup

Pipinya terasa basah.

What? Jadi, ini nyata? Bukan mimpi? Bahkan Adyra bisa merasakan sebuah kecupan singkat di pipinya. Whooaaa!! Adyra ingin berteriak sekencang-kencangnya sekarang. Matanya masih terpejam, dan kecupan-kecupan ringan itu masih sangat terasa sampai detik ini.

Entah ada berapa ribu kupu-kupu yang ingin terbang dari perut Adyra. Detak jantungnya bergerak cepat seperti lomba marathon, hingga membuat Adyra berkeringat.

Tapi tiba-tiba, hidungnya terasa gatal.

Ini aneh.

Yang dicium kan pipi, kenapa yang gatal hidung ya?

Gadis itu mengusap hidungnya berkali-kali, berusaha menghilangkan rasa gatal yang menjalar di permukaan hidungnya.

Adyra tidak tahan. Hidungnya semakin gatal.

Hingga..

'Haattciihh'

Akhirnya kelopak matanya terbuka spontan, dan mulai membulat sempurna setelah melihat sesuatu di sebelahnya.

"Aaaaa!!! Kuciiinnggg!!"

Gadis itu segera melompat ke bawah kasur. Jadi yang cium pipi gue barusan itu...kucing?

Adyra bergidik geli saat mendengar kata 'kucing'. Adyra benci kucing. Dia alergi bulu kucing, dan sekarang, ujung hidungnya memerah karena bersin-bersin tiada akhir.

"Ada apa sih, Ra? Berisik banget."

Andi-papanya, menyembulkan kepalanya di ambang pintu setelah mendengar teriakan Adyra yang memekakkan telinga.

"Papaa!! Siapa yang masukin kucing ke kamar aku?!!"

"Papa." jawab Andi singkat.

"Papa?"

"Iya."

"Kok Papa jahat banget sih, sama—haattccih—aku?!"

"Salah sendiri, susah dibangunin."

"Tapi ini kan masih jam—apa??!!"

06.45 !!

Gadis itu membelalakkan matanya kaget saat melihat jam weker minionnya yang mengambang ringan di dalam segelas air putih. Pasti itu akibat ulah alam bawah sadarnya, yang melakukan hal konyol itu tanpa sengaja.

Adyra membenturkan dahinya di atas bantal.

"Mampus gue!"

•••

"Pagi, calon pacar!"

Andra mendengus napasnya kesal. Pagi-pagi bukannya dapat udara segar, malah harus banyak bersabar. Ini lagi! Pakai sebut-sebut 'calon pacar'. Emang sejak kapan Andra mau jadi calon pacarnya?

"Andra! Mau dengar kisah 1001 malam nggak? Ini kisah nyata loh!"

Andra berjalan lurus ke depan tanpa menoleh sedikitpun. "Ogah."

"Tapi ini penting!! Masa' tadi malem lo ada di mimpi gue, terus elo bilang kalau gue itu cantik! Wuaaa—kebayang nggak tuh gimana malunya gue!! Hihi."

Gadis itu mengoceh banyak hal yang bahkan tidak digubris Andra sama sekali. Cowok itu mengangkat telapak tangannya untuk menutupi dua lubang telinganya.

"Gue seneng banget tahu, nggak? Sampai sekarang aja gue masih inget waktu elo nembak gue ditaman, pakai musik romantis, candle light dinner, terus akhirnya elo ci—"

"Apa?"

Adyra tidak memerdulikan pertanyaan Andra. Tatapan matanya kini terfokus pada lengan kanan Andra. Terdapat luka baret yang sudah mengering di lengan itu. Dan itu, mengingatkan Adyra pada sebuah kejadian dimana...

"Jadi yang gue lihat di kafe kemarin itu—elo?"

Cowok itu mengikuti arah pandangan Adyra yang mengarah pada lengannya. Gadis itu tengah memegang lengan kanannya yang tergores, tanpa kain kasa. "Bukan urusan lo."

Andra menyentakkan lengannya dari tangan Adyra, lalu melenggang pergi menghindari gadis itu. Andra hanya tidak ingin menggubrisnya. Paling-paling nanti itu cewek nanya yang enggak-enggak. Kan males jawabnya.

"Jadi... kalau kertas ini, bukan urusan lo juga?"

Langkah lebar Andra terhenti seketika, saat Adyra menyebutkan 'kertas' itu. Cowok itu berbalik badan, hingga mendapati Adyra yang tengah mengacungkan kertas hvs berwarna putih yang dilipat menjadi 4 bagian.

Cowok itu mendelik kaget. Bagaimana Andra tidak bisa mengenali kertas itu. Dia sangat yakin jika itu kertas miliknya. Kertas yang bertuliskan lagu perdana ciptaannya.

"Balikin."

Andra menyodorkan tangannya seolah menagih kertas miliknya itu dari tangan Adyra. Gadis itu tidak menyerahkannya pada Andra. Dia malah menyembunyikan kertas putih itu di belakang tubuhnya.

"Ambil aja kalau bisa."

Cowok itu menggeram kesal saat merasa dipermainkan oleh gadis itu. Andra berusaha mengambil kertasnya kembali. Tapi Adyra tidak bodoh. Dengan sigap gadis itu mengarahkan kertasnya ke arah lain agar Andra tak bisa menjangkaunya.

"Payah! Ambil selembar kertas aja nggak bisa. Gimana mau ngambil hati aku?!"

Gadis itu berlari, membiarkan tas ransel pink-nya terayun-ayun karena berusaha kabur dari Andra. Tanpa sadar, Adyra berlari terlalu jauh hingga sampai di lorong lantai atas. Dan di sini, sepi. Lorong yang pertama kali membawa Adyra mengenal Andra. Dan tiba-tiba, perasaannya tidak enak.

"Gue nggak main-main! Balikin kertas itu sekarang juga, atau gue akan—"

"Akan apa?"

Hawa dingin yang menguasai Andra seakan dirasakan oleh permukaan kulit Adyra. Bulu kuduknya merinding, saat Andra melangkah mendekatinya.

"Lo nggak akan nyangka apa yang bisa gue lakuin, di tempat sepi kayak gini."

Andra semakin mendekat. Tapi Adyra bukan pengecut. Dia berusaha memasang tampang seorang pemberani walau detak jantungnya sangat kacau sekarang.

"Emang lo mau apa?" Adyra mengangkat sebelah alisnya, berusaha bersikap tengil.

Andra semakin geram menghadapi gadis itu. Hingga tanpa sadar cowok itu menghimpit tubuh Adyra, hingga punggungnya menubruk tembok.

"Gue bakal cium lo."

Bola matanya membulat sempurna saat Andra mengucapkan kalimat final itu lantang tanpa jeda dan keraguan di sana.

Ciut sudah nyali Adyra detik itu. Terlebih lagi tatapan mata Andra yang sangat tidak menyiratkan kesan humor sama sekali.

Bukan Adyra namanya, kalau dia tidak bertindak gila. Coba bayangkan! Sekarang, gadis itu tengah melipat kedua tangan di depan dada, sambil menyipitkan matanya menantang. Sedangkan di hadapannya saat ini ada seorang cowok yang entah bisa berbuat apa di lorong panjang yang sepi seperti ini. Mau berteriak? Mustahil! Tidak akan ada yang lewat sini. Karena ini bukan jalan umum. Cari masalah banget nih anak!

"Coba aja kalau bisa."

"Lo—"

Adyra tersentak, saat salah satu tangan Andra menghantam tembok dan mengunci tubuhnya di sana. Lipatan tangan Adyra meluruh. Yang tersisa, hanya tatapan mata yang saling bertubrukan lekat di sana. Seperti biasa. Tatapan dingin Andra membuat Adyra semakin berani. Sementara tatapan hangat Adyra seolah membuat Andra melemah detik itu juga.

Andra menarik tubuhnya menjauh dari Adyra. Dia benci tatapan itu. Tatapan meneduhkan itu membuat Andra terpaku. Cowok itu melihat tatapan Adyra yang semula terkejut, menjadi normal dalam sekejap.

"Cewek gila! Lo pikir gue mau ngelakuin hal murahan kayak gitu?" kalimat Andra membuat Adyra tersadar dari lamunanya.

"Ambil aja kertas sialan itu! Gue udah nggak butuh!"

Andra melangkah pergi meninggalkan gadis itu. Adyra menatap punggung Andra yang kian menghilang dari pandangnya.

"Lo nggak nyadar, Andra? Gue gila juga gara-gara elo, kali."

Adyra tertawa sumbang, sambil menatap lembar kertas putih itu yang tak sengaja diremas kuat olehnya.

"Gue anggep ini adalah hadiah pertama yang lo kasih sama gue. Dan bakal gue simpen sebaik-baiknya."

"Makasih, Andra."

•••