webnovel

Part 66 : Let Go

Bara menghela napas. Sebenarnya, ia sudah lelah. Menerima penolakan Adyra yang tak ada habisnya. Seolah sekeras apapun ia berjuang, sebanyak apapun Bara mengorbankan waktunya untuk menghibur Adyra, ia masih saja kalah dengan Andra. Kalah dengan seseorang yang menurut Bara sama sekali tak pantas mendapatkan tempat di hati Adyra.

Bara melirik cokelat di tangan kanannya. Entah kenapa, ada perasaan kesal saat ia melihat benda itu. Bara berjalan menuju tempat sampah. Tangannya sudah terulur berniat membuang benda dalam genggamannya. Namun, seseorang bergerak sepersekian detik lebih cepat. Ia menahan lengan Bara lalu merebut cokelat itu dari tangan Bara.

"Kalau lo nggak bisa menghargai diri lo sendiri, gimana lo bisa dihargai sama orang lain?"

Bara mengangkat satu alisnya, kemudian tersenyum sinis. "Kalau lo mau cokelatnya, ambil aja. Nggak usah pakai menghina gue segala."

Bara melempar tatapan sarkartisnya pada Siska. Namun dibalas dengusan acuh. "Kalau lo udah memutuskan buat beli cokelat ini, seenggaknya lo harus bertanggung jawab. Dengan lo buang ini, lo sama aja nggak menghargai keputusan lo sendiri karena udah terlanjur beli."

Siska menarik tangan Bara, mengembalikan cokelat itu pada pemiliknya. "Cewek itu nggak butuh cokelat buat menghibur kesedihannya. Yang dia butuhin cuma satu."

Bara mengernyit melihat Siska mengurai senyumnya. "Yaitu orang yang selalu ada buat dia."

••••

"Duluan, ya!"

Bara memutar kepala, ketika mendengar suara Adyra. Gadis itu mengedarkan pandangan, seperti mencari seseorang. Bara mengikuti langkah Adyra ketika melihat ia berjalan entah kemana. Hingga langkah Adyra berhenti di perpustakaan. Bara melihat Andra di sana.

"Cari buku apa?"

Bara menutup wajahnya dengan sebuah buku. Sesekali, ia melirik Adyra yang mencoba mengajak Andra bicara.

"Kamu ngerjain tugas?"

Bara semakin mendekat. Mencari posisi yang tepat agar bisa mendengar dialog mereka.

"Tugas apa?"

Ingin sekali rasanya Bara memeluk Adyra saat itu juga. Ia ingin Adyra melihatnya. Ia ingin Adyra menganggap keberadaannya. Ia ingin mengatakan pada Adyra jika masih ada orang yang peduli dengannya melebihi Andra.

"Ya udah, deh. Gue nggak akan berisik. Gue cuma mau nemenin lo."

Bara sempat melihat Adyra melengkungkan bibir, "Boleh 'kan?"

Kemudian, Adyra tertidur. Dengan berbantal lengan dan menghadap ke arah Andra. Tak lama, Andra melakukan pergerakan yang membuat Bara menatap tak percaya.

Andra mengulurkan tangannya, mengusap puncak kepala Adyra. "Gue sayang sama lo, Ra. Banget."

Ketika Andra menjauhkan tangannya, ia menarik sudut bibir. "Tapi, gue juga benci. Gue benci karena gue nggak bisa berhenti peduli sama lo, sementara lo udah ngecewain gue."

•••••

"Ayo putus."

Kalau hati Adyra terbuat dari kaca, mungkin saat ini Adyra tak bisa merasakan apa-apa lagi. Karena hatinya sudah pecah terhantam kalimat Andra. Namun, Adyra tetap memaksakan senyumnya. Ia menatap manik mata Andra, enggan melepaskan genggaman Andra dari tangannya.

"Apa gue salah dengar?"

"Enggak," jawab Andra tanpa membiarkan sedikit jeda dari pertanyaan Adyra.

"Apa lo bercanda?"

"Enggak."

Adyra masih tersenyum, menghiraukan genangan air yang sudah mendesak memenuhi pelupuk matanya. "Lo serius?"

Melihat Andra menganggukkan kepala, membuat Adyra kehilangan tenaga. Ia membiarkan air matanya mengalir tanpa menghilangkan sedikit senyum pun di wajahnya.

"Oke, kalau itu yang lo mau."

Andra membiarkan Adyra melepaskan genggamannya. Membiarkan adanya jarak di antara mereka. "Gue minta maaf, kalau selama ini gue menyakiti perasaan lo. Gue tahu gue salah. Gue udah ngambil keputusan yang salah. Mungkin, gue nggak bisa perbaiki apa yang udah gue rusak."

Adyra menarik sudut bibir, menertawai dirinya sendiri. "Gue cuma mau bilang terima kasih, buat apa yang udah lo kasih sama gue selama ini. Gue senang, pernah ketawa bareng sama lo."

Adyra mundur satu langkah dari hadapan Andra, "Gue sayang lo." lalu memutar tubuhnya meninggalkan Andra.

Tangis Adyra pecah seketika. Ia menggigit bibirnya, agar Andra tak bisa mendengar isak tangisnya. Adyra mengepalkan telapak tangan. Berusaha mengumpulkan kekuatan yang tersisa, walau tubuhnya sudah bergetar karena tangisnya. Ia masih berharap jika ini hanya mimpi belaka. Dan ketika Adyra membuka mata, ia akan terbangun di tempat yang berbeda. Ia tidak akan melihat Andra. Dan tidak mendengar Andra mengatakan hal yang tak ingin didengarnya.

"Pembohong.

Adyra menghentikan langkah. Mendengarkan Andra berbicara tanpa membalikkan badannya.

"Lo bilang sayang sama gue, tapi kenyataannya lo malah pergi?"

"Gue kira, lo bakal marah-marah sama gue. Gue kira lo bakal jelasin semuanya ke gue. Lo bakal cerita semuanya. Dan mukul-mukul gue biar gue narik ucapan gue."

"Gue pikir lo bakal peluk gue."

"Dan bilang kalau lo nggak mau kehilangan gue."

Dada Andra naik turun. Ia mengambil napas panjang sebelum berjalan mendekati Adyra. Gadis itu mematung memunggunginya. "Jangan pergi, Ra."

Adyra memejamkan mata. Melepaskan air mata yang sudah tak sanggup ditahannya. Andra menyentuh bahunya, kemudian memutar tubuh Adyra. Adyra bisa merasakan jemari hangat Andra mengusap pipinya. "Gue sayang lo. Gue nggak mau kehilangan lo."

Bara menarik sudut bibirnya. Berusaha tersenyum melihat Adyra memeluk Andra di hadapannya. Bara sudah terbiasa melihat pemandangan seperti itu. Namun untuk hari ini, atmosfir yang ia rasakan jauh berbeda dari sebelumnya. Ia benar-benar lega. Entah kenapa. Harusnya Bara merasa sakit di dadanya seperti biasa. Harusnya ia kesal seperti saat ia melihat Adyra tertawa bersama Andra.

"Eh, Barbar! Belum pulang lo?! Udah mau malem, nih! Diganggu mbak kunti biar tahu rasa!"

Siska melambaikan tangannya di depan wajah Bara. Cowok itu mengedip merasakan angin kecil yang dibuat Siska. "Malah bengong! Kesambet lo?"

Mungkin, benar yang dikatakan orang. Pelangi memang datang setelah hujan. Bara pernah membantah hal itu. Karena sejak kecil, ia tak pernah menemukan pelangi usai bermain hujan-hujanan di rumah neneknya sampai demam. Namun, saat ini ia sudah membuktikan sendiri. Ia benar-benar melihat pelangi. Pelangi yang indah, versinya sendiri.

"Malah senyum-senyum." Siska bergidik ngeri. "Horor, lo!"

Bara mengerutkan dahi. "Kok gue ditinggal?! Tunggu, dong!"

Bara melangkah menghampiri Siska lalu berjalan di sampingnya. "Gue anter pulang, ya?"

Siska melotot, "Apa, sih? Nggak ada angin nggak ada hujan! Ogah, jauh-jauh sana lo!"

"Gue kasih cokelat, deh. Gimana?"

"Lo pikir gue anak kecil, bisa disogok?"

"Gue tambah pizza?"

"Enggak!"

"Jalan-jalan ke Dufan?"

"Enggak!"

"Candle light dinner?"

"Dinner aja sana sama nenek lo!"

Bara terkekeh. Perasaannya benar-benar lega. Beban yang selama ini mengumpul di dadanya, sudah menghilang dalam sekejap mata. Mungkin, butuh waktu cukup lama untuk benar-benar melupakan Adyra. Namun, ia akan berusaha menghapus semua perasaannya untuk Adyra.

Agar Adyra bahagia. Dan Bara, juga bisa ikut merasakan kebahagiaan yang sama.

••••

"Selamat ulang tahun! Selamat ulang tahun! Selamat ulang tahun, Cinta~ Selamat ulang tahun!"

"Satu, dua, tiga!"

"Yeaayyyy!"

Semua orang bertepuk tangan usai Cinta meniup lilinnya. Ia tersenyum melihat Adyra. Ada Andra juga, Eric, Aldo, Rio, Bara, Siska dan Amy. Kejutan perayaan ulang tahun yang sederhana. Hanya bermodalkan kue berukuran sedang, di sebuah kafe yang tak jauh dari sekolah.

"Fotoin kita dong, Ric!"

Eric langsung menyiapkan kameranya sesuai permintaan Adyra. Semua mata tertuju pada kamera di tangan Eric. Usai cahaya blizt berkedip, Eric menunjukkan jempolnya.

"Eh, potoin gue juga, dong! Sama Siska!" Bara memamerkan senyum sambil menempelkan bahunya ke bahu Siska.

Cewek itu melotot. "Apaan sih, nempel-nempel?! Mau gue tonjok?"

"Ih, lo mah gitu." Bara melengkungkan bibir bawahnya. "Gue kan cuma mau poto."

"Ecieeee, Barbara punya gebetan baru, nih? Udah nggak jadi bucinnya Adyra lagi?" Rio bersorak sambil tepuk tangan.

"Iya, lah. Gue mah cepet move on. Ngapain lama-lama?" Bara melirik Siska, "Ada bidadari di sebelah masa dianggurin?"

"Mau muntah gue," cibir Siska dengan bola mata berputar.

"Udah-udah. Mending kita potong kuenya aja! Udah laper gue." Aldo mengusap-usap perut.

"Oke, gue potong kuenya ya?" Cinta menerima pisau bergerigi yang diberikan Adyra. Lalu memotong sedikit bagian kuenya.

"Suapan pertama buat siapa, nih?" Adyra menyenggol bahu Cinta. "Pasti buat Aldo, ya?" Cinta hanya membalasnya dengan senyuman. Sementara Aldo cengegesan salting.

"Eh, jangan Aldo dulu, dong! Gue aja yang pertama! Kan gue yang beli kue," protes Rio nggak mau kalah.

"Yaelah, perhitungan banget sih, lo! Beli pakai duitnya Andra aja gaya!"

"Apa sih, Mimi peri?"

Amy melotot. "Mimi peri pantat lo?"

"Udah, udah. Kenapa jadi kalian yang berantem, sih. Suka-suka Cinta lah! Dia yang ulang tahun." Adyra menengahi. "Ayo, Ta. Lo mau kasih suapan pertama buat siapa?"

Cinta mengedarkan pandangannya. Di antara semua yang ada di hadapannya, semua sama specialnya. Memiliki teman seperti mereka adalah hal yang paling disyukuri dalam hidupnya. Cinta tersenyum seraya mengulurkan suapan pertamanya ke Adyra. Gadis itu mengedip, "Buat gue?"

Cinta mengganggukkan kepala dan memberikan sesuap kue untuk Adyra. "Dulu, gue pernah permaluin lo di depan orang-orang. Cuma karena gue iri sama lo. Tapi lo nggak pernah benci sama gue. Lo malah menawarkan pertemanan ke gue, saat semua orang menjauhi gue. Lo itu orang baik. Dari semua nikmat yang Tuhan kasih, salah satu hal yang paling gue syukuri adalah bisa berteman sama lo."

Adyra tersenyum seraya menarik Cinta dalam pelukannya. "Gue juga bersyukur punya teman kayak lo."

"Gue bukan teman yang baik, Ra. Gue nggak tahu diri. Gue minta maaf..."

"Udah, nggak usah dibahas lagi." Adyra mengusap punggung Cinta. "Gue tahu lo nggak bermaksud kayak gitu. Anggap aja masalah itu nggak pernah terjadi, oke?"

Pipi Cinta sudah basah. Air mata mengalir bebas di wajahnya. Amy jadi terharu. Ia ikut bergabung dengan Cinta dan Adyra kemudian Siska menyusulnya. Eric tersenyum melihat betapa eratnya pelukan mereka. Ia mengangkat kameranya. Membidik sebuah momen yang sangat berharga.

•••••

"Dingin, nggak?"

"Hm?" Adyra menelengkan kepala kemudian menggeleng setelahnya. "Kan udah pakai jaket."

Andra terkekeh, "Ya siapa tahu masih dingin."

Andra menjatuhkan tubuhnya di atas rerumputan. Dengan berbantal lengan, ia menatap hamparan bintang di atas langit. Tak lama, Adyra ikut berbaring menyusulnya.

"Dimas pergi ke Jogja."

"Hm?" Adyra memiringkan kepala, agar bisa melihat wajah Andra.

"Dia bakal tinggal di sana untuk waktu yang lama." Andra mendengus pelan. "Padahal dia bilang nggak mau tinggal sama ibu tirinya."

"Dimas bilang, dia mau jagain Eyang, yang udah ngerawat dia dari kecil. Dia nggak tenang kalau ngebiarin Eyangnya tinggal sama ibu tirinya sendirian. Takut diapa-apain katanya." Andra tertawa pelan disela-sela kalimatnya.

"Dia titip salam ke lo."

Adyra tak merespon. Memilih diam dan mendengarkan.

"Maaf," Andra menghela napas memberi jeda di kalimatnya. "Dia bilang gitu."

"Buat apa?"

Andra mengendikkan bahu, "Gue pikir, lo tahu alasannya."

Andra melihat Adyra menarik sudut bibir kemudian menganggukkan kepalanya.

"Ra,"

"Hm?"

"Gue sayang sama lo."

"Gue juga."

"Gue nggak mau kehilangan lo."

Adyra tersenyum, "Gue juga."

Tak lama setelah dialog singkat mereka, Adyra melihat bintang jatuh. Orang bilang, kalau ada bintang jatuh, segera buat permohonan. Ia memejamkan mata. Berharap Tuhan berkenan mengabulkan doanya.

••••

#Cookies

"Ra?"

Dimas berjalan, menghampiri Adyra yang kini membalikkan badan menghadapnya. "Ada apa?" tanya Dimas. Melihat Adyra membawa kardus berukuran sedang, membuat Dimas semakin bertanya-tanya. "Terus, itu apa?"

"Gue mau balikin ini." Adyra menjatuhkan kardus yang dia bawa tadi tepat di hadapan Dimas.

Kernyitan di dahi cowok itu semakin dalam melihat apa yang tengah di lemparkan Adyra padanya. "Kenapa?"

"Gue udah nggak butuh." Adyra berbalik badan, berniat pergi. Tapi Dimas mencekal pergelangan tangannya.

"Ada apa sama kamu?"

Adyra mendengus geli. "Harusnya gue yang nanya gitu. Ada apa sih, sama lo? Apa tujuan lo sebenarnya? Pakai acara sembunyi di balik kata teman pula. Dan begonya, gue terima-terima aja." Dimas tak percaya dengan penuturan Adyra. Ditambah gaya bahasanya yang terdengar kasar, seperti bukan Adyra saja.

Adyra menepis tangan Dimas. "Kenapa?! Kenapa lo dateng lagi di kehidupan gue setelah lo pergi ninggalin gue gitu aja? Lo pikir gue apa? Barang? Yang mau diambil kalo butuh, terus dibuang kalo nggak berguna lagi, iya?"

Adyra jadi kesal. Gadis itu mengacak rambutnya geram. "Kenapa lo harus bikin semuanya jadi rumit, sih?"

"Gue masih sayang sama lo."

"Lo pikir gue peduli?"

Adyra melirik skeptis. "Waktu itu, gue nungguin lo. Gue kehujanan, sampai sakit. Apa lo peduli? Enggak, kan? Lo lebih mentingin perasaan lo sendiri. Dan sekarang, lo dateng ke gue dengan alasan masih sayang sama gue? Udah terlambat tahu, nggak. Ke mana aja lo selama ini?"

Adyra meraba jaketnya, sambil merogoh saku di sana. Ia mengambil ponsel kemudian melakukan sesuatu. "Mulai sekarang, jangan hubungin gue lagi. Gue udah blokir kontak lo. Lo nggak bisa telepon-telepon gue lagi." Adyra membuka case handphone, mengeluarkan kartu kemudian menginjaknya keras-keras. "See? Gue juga udah rusak kartunya. Gue pastiin, lo nggak akan dapet nomor baru gue dari siapapun. Jadi please, pergi dari kehidupan seperti yang lo lakuin dulu."

"Apa nggak ada sama sekali-sedikitpun tempat di hati lo buat gue, Ra?" harap Dimas.

"Nggak ada," tegas Adyra. "Masalah kita udah selesai. Dan anggap aja, kita nggak pernah kenal. Gue bisa maafin kesalahan lo dulu. Gue juga bisa ngelupain rasa sakit yang udah lo kasih dulu. Tapi untuk balik sama lo lagi, gue rasa itu nggak mungkin."

Di balik sebuah pohon, Andra menghela napas. Ia mendengar semuanya. Sejak Adyra datang menghampiri Dimas sampai kini berjalan meninggalkannya. Ia salah menilai Adyra. Namun, ia menarik sudut bibirnya. Perasaannya benar-benar lega. Karena Adyra tak pernah berniat menghianatinya.

-End-

****