webnovel

Part 64 : Awake

Adyra memasuki kamarnya. Usai melepas sepatu, ia berjalan menuju lemari. Mencari beberapa potong baju, kemudian beranjak menuju kamar mandi. Tubuhnya gerah. Selain ingin menyegarkan badan, ia juga ingin mendinginkan kepala. Terlalu banyak memikirkan Andra membuat kepala Adyra terasa mau meledak saja.

Sehabis mandi, Adyra kembali ke kamar, sambil mengeringkan rambut di depan cermin. Ia melihat bayangan wajahnya di sana. Kantung mata yang agak bengkak karena menangis semalam. Ya, Adyra menangis memang. Cukup lama juga. Ia bahkan tak sadar kalau semalaman menangis sampai tertidur pulas.

Adyra beranjak dari cermin menuju kasurnya. Tak sengaja, ia melirik rak dinding di samping meja belajarnya. Ada cukup banyak pernak-pernik sederhana di sana. Sebuah rubik, kotak musik, boneka berukuran kecil, dan beberapa bingkai foto. Dan salah satunya, ada fotonya bersama Dimas yang masih terpajang di sana.

Adyra tak pernah membereskan semua itu sebelumnya. Bukan karena apa-apa, dia hanya malas membereskan barang-barang yang sudah berjejer rapi di kamarnya. Toh, benda-benda itu juga tak mengganggu penglihatan Adyra selama ini.

Namun, sekarang terasa berbeda. Semua barang pemberian Dimas, benda-benda kenangannya bersama Dimas, dengan melihatnya saja membuat Adyra menghela napas. Seolah ingin mengeluarkan sebulat beban dari embusan napasnya. Adyra mendekat, menyentuh benda-benda itu, dan mengumpulkannya menjadi satu. Ia mengambil kardus dari gudang, lalu kembali lagi ke kamar sambil memasukkan semua benda yang sudah ia kumpulkan ke dalam kardus berukuran sedang.

Ia memasukkan semuanya, satu-persatu, tanpa terkecuali kalau bisa. Gerakan tangannya cukup cekatan, hingga pada akhirnya terhenti karena ia melupakan sesuatu. Adyra meraba kasurnya. Menyingkap bantal, guling, serta selimut, hingga menemukan buku diary-nya. Adyra termenung bingung.

Tapi.... buku ini adalah benda kesayangannya. Benda yang Mama kasih terakhir kali sebelum ia pergi. Haruskah ia membuangnya juga?

••••••

Andra tiba di rumahnya. Sambil melangkahkan kakinya malas, tangannya meraih ganggang pintu dan membukanya.

"Kusut banget muka lo."

Andra mendengar suara Dimas ketika cowok itu melirik ke arah sofa. Dimas balas melirik Andra sekilas mengalihkan pandangan pada buku di tangannya. Andra memilih acuh. Ia berjalan menuju kamarnya tanpa mengatakan apa-apa.

Melihat tingkah Andra, Dimas keheranan. Kalau Andra mendadak jadi pendiam, pasti sedang ada sesuatu yang terjadi.

"Lo kenapa?" tanya Dimas ketika melihat Andra keluar dari kamarnya dengan telah mengubah seragam sekolah menjadi style kasual seperti biasa. "Lo ada masalah?" tanyanya lagi ketika Andra masih betah menyimpan suaranya. Cowok itu berjalan menuju dapur, membuka lemari es dan mengambil sebotol air dingin.

Dimas melirik Andra lagi sebelum menutup laptopnya. "Tadi Adyra telepon. Nanya lo udah pulang apa belum." Cowok itu menghela napas. "Dari suaranya, dia kayak khawatir banget sama lo. Dia juga bilang kalo— "

Andra tersenyum miring. "Emang dia bilang apa aja sama lo?" tanya Andra membuat dahi Dimas berkerut.

"Sebanyak apa dia cerita sama lo? Seberapa sering kalian teleponan, ngobrol bareng, atau bahkan ketemuan, mungkin?" Andra menyelipkan senyum di setiap perkataannya.

"Lo kenapa, sih?" Dimas bingung. "Pertanyaan lo aneh."

"Aneh?" Alis Andra terangkat sebelah. "Kayaknya nggak ada yang aneh sama pertanyaan gue." Andra mengembalikan botol minuman yang ia pegang tadi, ke dalam lemari es. Andra terkekeh pelan. "Justru kalo menurut gue, yang aneh itu... lo berdua."

"..."

"Emang masih jaman, ya, menjalin hubungan secara sembunyi-sembunyi sama mantan pacar?"

Kalimat Andra tepat sasaran. Mendengar hal itu, Dimas mulai paham dengan arah pembicaraan Andra. "Jadi lo udah tahu, ya?" Cowok itu mengangguk mengerti. "Bagus, deh. Akhirnya lo tahu juga."

Rahang Andra mengeras mendapat respon yang tak terduga dari cowok itu. "Awalnya, gue berniat terus terang sama lo, biar nggak ada salah paham di kemudian hari cuma karena hal kayak gini. Tapi, Adyra nggak ada ngasih tahu lo, sih. Jadi, gue nggak enak hati. Gue nungguin dia, biar dia yang ngomong sendiri."

"Lo masih suka sama Adyra?" Andra tak mengubah ekspresi. Aura yang dia bawa membuat hawa ruangan menjadi dingin.

Dimas tak terkejut dengan pertanyaan Andra. Ia tahu, cepat atau lambat, jika Andra sudah tahu hubungan antara ia dan Adyra, pertanyaan itu akan muncul menanti jawabannya. "Dulu, gue sayang sama dia. Gue nggak mau kehilangan dia. Bagi gue, dia itu obat. Sesuatu yang gue butuhin kalau gue sakit. Dan sekarang—"

"..."

"Perasaan gue masih sama." Dimas mengangguk mantap. "Gue masih sayang sama Adyra."

Andra sudah meraih kerah baju Dimas, dengan kurun waktu yang tak sampai dua detik. Mendengar jawaban itu, membuat Andra bergerak impulsif. Kepalan tangan Andra bahkan sudah mengacung kuat di udara. Namun, Dimas diam saja. Ia tak menunjukkan ekspresi apapun. Dimas tahu ini salah. Tak seharusnya ia mengatakan hal itu pada Andra. Tapi, dia juga tidak bisa membohongi perasaannya sendiri. Mau bilang sekarang atau nanti, tidak akan ada bedanya.

"Gue udah nganggep lo saudara—seperti abang gue sendiri. Dan ini balasan lo ke gue?"

Suara Andra sangat rendah. Terdengar lemah tak bertenaga. Tak lama, ponsel Dimas berdering. Layarnya berkedip dan menampilkan sebuah pesan yang dikirim oleh Adyra. Entah apa yang ada dipikiran Andra, kepalan tangannya yang semula menjulang tinggi, sudah jatuh entah kemana. Walau begitu, cengkeramannya di kerah baju Dimas masih kuat. Begitu juga dengan tatapan matanya yang sangat lekat. Andra mengembuskan napas melalui mulut, dan terkekeh lemah setelahnya. "Gue bahkan nggak bisa mukul lo."

Dimas tak akan menghindar. Ia juga membalas tatapan Andra dengan sama lekatnya. "Kalau lo bilang dari awal soal lo suka sama Adyra, dan kalaupun Adyra juga masih punya perasaan yang sama—gue bisa mundur."

Dimas terperangah, tak percaya dengan apa yang dia dengar. Perlahan, cengkeraman tangan Andra kian mengendur dan terlepas. Andra membalikkan badan, dan pergi meninggalkan Dimas yang mematung sendirian. Di ujung sana, Kanya melihat semuanya. Kanya mendengar semuanya. Ketika Andra berjalan melewatinya, gadis itu menghadang jalan Andra. "Kak Andra mau ke mana?"

Melihat Kanya, ia agak terkejut. Gadis itu muncul tiba-tiba. Menyadari tatapan cemas Kanya, Andra mengusap puncak kepala Kanya sekedar memberitahu jika ia baik-baik saja. "Mau cari angin sebentar."

Melihat Andra yang sudah pergi, Kanya menatap Dimas. Lelaki itu terlihat menatap ponsel, seperti membaca pesan.

From: Adyra

Bisa ketemu sebentar?

•••••

Cinta menggerakkan kakinya bosan sekaligus gelisah. Sesekali, ia celingukan. Siapa tahu menemukan sosok yang ia tunggu sejak 10 menit yang lalu. Kedua tangannya ia sembunyikan di balik saku hoodie warna army yang sedang ia pakai. Ketika mendengar suara derap langkah, wajahnya langsung sumringah. Ia balik badan dan menemukan seseorang yang dia tunggu sejak tadi.

"Gue kira lo nggak bakal dateng."

Andra berjalan mendekati Cinta, kemudian mengambil tempat duduk di sebelahnya. Mereka terdiam untuk beberapa saat, membiarkan keheningan menyelimuti sejenak. Niat awal Cinta membuat janji dengan Andra adalah, ia ingin mengatakan sesuatu. Namun ia ragu. Ia takut, jika Andra akan membencinya lagi setelah mendengar hal ini darinya.

"Lo nggak apa-apa?" Andra menelengkan kepala.

"Hng?" Cinta agak kaget. Ia cengo beberapa saat.

"Soal Bara tadi, jangan dimasukin ke hati, ya?"

Ah, iya. Cinta hampir lupa.

"Gue nggak apa-apa, kok." Gadis itu tersenyum tulus. "Hm, muka lo nggak apa-apa?"

Andra mengangkat alis lalu menyentuh sudut bibirnya. "Luka kayak gini mah, nggak ada apa-apanya. Udah gue kasih plester juga tadi beli di minimarket."

Cinta mengangguk mengerti. "Oh."

Usai mengatakan hal itu, mereka berdua terdiam lagi. Andra juga tidak ada perlu ngomong apa-apa. Cinta bilang, dia yang mau ngomong sesuatu, kan?

"Eh, iya. Lo tadi mau bilang apa? Katanya mau ngomong?"

"Ha?" Gadis itu mengerjapkan mata. "Oh, gue mau bilang makasih."

"Buat apa?"

"Karena lo udah belain gue tadi." Andra terdiam memberi kesempatan gadis itu berbicara.

"Dan juga..."

"Apa?"

Cinta menelengkan kepala, seraya mengikat tatapan Andra. Ia ingin Andra melihat ketulusannya. "Gue suka sama lo, Ndra."

Andra terperangah. Ia tidak tahu harus berekspresi seperti apa. Saat ini, cowok itu hanya memasang tampang terkejutnya, kemudian mengubahnya menjadi tatapan datar seperti biasa. Melihat Andra yang tidak bereaksi apa-apa, Cinta menghela napasnya. "Gue tahu, setelah dengar ini, mungkin lo bakal benci sama gue kayak dulu. Tapi, gue nggak bisa nyembunyiin perasaan gue. Kalau gue masih suka sama lo."

"..."

Cinta tersenyum menerawang. "Ngelihat lo yang sekarang baik sama gue, membuat gue jadi besar kepala. Gue pikir, gue punya kesempatan buat dapetin hati lo. Ditambah lagi, dengan hubungan lo sama Adyra yang lagi renggang—bikin gue naruh harapan."

"Sikap baik lo akhir-akhir ini, lo yang ngajak gue ngobrol setiap hari, bantuin gue belajar sama hal yang nggak gue ngerti, dan tadi—dengan lo belain gue di depan Bara, bikin gue semakin naruh harapan yang besar. Gue pikir.... lo bisa jatuh cinta sama gue suatu saat nanti."

Gadis itu menautkan jemarinya erat. Ia sudah tahu konsekuensinya, dan akan menerimanya dengan lapang dada. Yang terpenting sekarang, ia sudah lega. Ia lega mengatakan semuanya. Kalaupun Andra akan membencinya setelah ini, mungkin akan lebih baik untuknya. Namun, Andra mematahkan harapannya. Cinta tidak bisa menyembunyikan ekspresi terkejutnya ketika Andra mengusap pipinya—membersihkan setitik air mata yang menggenang di sana.

"Jangan nangis." Andra menatap gadis itu dalam-dalam. "Lo nggak pantes nangisin cowok kayak gue."

Telapak tangan Andra turun, meraih tangan Cinta, lalu menggenggamnya. "Gue seneng ngelihat lo yang sekarang. Cinta yang ada di depan gue sekarang, jauh beda sama Cinta yang gue kenal dulu. Maaf kalo sikap gue selama ini bikin lo jadi salah presepsi. Gue sama sekali nggak bermaksud buat bikin lo naruh harapan sama gue. Gue udah nganggep lo sebagai teman. Gue nggak suka Bara ngerendahin lo kayak gitu. Dan lagi, gue ngerasa bersalah sama lo, karena lo nggak ada sangkut pautnya sama masalah gue. Gue juga nggak nyangka kalo akhirnya jadi kayak gini."

Telapak tangan Cinta semakin hangat, ketika Andra kian menggenggamnya erat. "Tapi maaf, gue nggak bisa, Ta."

Gadis itu menarik sudut bibirnya, membentuk senyuman. "Gue tahu."

Cinta mengangguk mengerti sambil menepuk telapak tangan Andra yang bertumpuk di tangannya. "Nggak seharusnya gue kayak gini. Harusnya, gue lebih tahu diri."

"Jangan ngomong kayak gitu."

"Tapi gue lega, kok, bisa ngungkapin perasaan gue. Semoga, setelah ini gue bisa ngelupain elo." Gadis itu tak henti-hentinya tersenyum. Membuat Andra semakin merasa bersalah.

"Maaf, udah nyakitin perasaan lo."

"Iya, sakit banget rasanya. Sampai gue nangis tahu, nggak?" Cinta membuat lelucon.

"Maaf."

"Sebagai permintaan maaf, gue mau lo ngelakuin sesuatu."

Dahi Andra berkerut, "Apa?"

"Perbaiki hubungan lo sama Adyra," ujar Cinta membuat Andra mengalihkan pandangan.

"Kasih dia kesempatan buat jelasin, Ndra. Mungkin, dia punya alasan kenapa dia ngelakuin hal itu."

Bahu Adyra melemas. Namun, cengkeraman tangannya semakin kuat. Ia tak percaya bisa melihat hal ini di depan matanya. Hatinya terasa sakit. Sangat-sangat sakit. Apa Andra benar-benar sudah tak menyayangi Adyra lagi? Apa Adyra sudah tidak berarti lagi?

Melihat Andra menggenggam tangan gadis lain dengan tatapan sepenuh hati, membuat Adyra nyeri hingga ke ulu hati.

••••••

"Ra?"

Dimas berjalan, menghampiri Adyra yang kini membalikkan badan menghadapnya. "Ada apa?" tanya Dimas. Melihat Adyra membawa kardus berukuran sedang, membuat Dimas semakin bertanya-tanya. "Terus, itu apa?"

"Gue mau balikin ini." Adyra menjatuhkan kardus yang dia bawa tadi tepat di hadapan Dimas.

Kernyitan di dahi cowok itu semakin dalam melihat apa yang tengah di lemparkan Adyra padanya. "Kenapa?"

"Gue udah nggak butuh." Adyra berbalik badan, berniat pergi. Tapi Dimas mencekal pergelangan tangannya.

"Ada apa sama kamu?"

Adyra mendengus geli. "Harusnya gue yang nanya gitu. Ada apa sih, sama lo? Apa tujuan lo sebenarnya? Pakai acara sembunyi di balik kata teman pula. Dan begonya, gue terima-terima aja." Dimas tak percaya dengan penuturan Adyra. Ditambah gaya bahasanya yang terdengar kasar, seperti bukan Adyra saja.

Adyra menepis tangan Dimas. "Kenapa?! Kenapa lo dateng lagi di kehidupan gue setelah lo pergi ninggalin gue gitu aja? Lo pikir gue apa? Barang? Yang mau diambil kalo butuh, terus dibuang kalo nggak berguna lagi, iya?"

Adyra jadi kesal. Gadis itu mengacak rambutnya geram. "Kenapa lo harus bikin semuanya jadi rumit, sih?"

"Gue masih sayang sama lo."

"Lo pikir gue peduli?"

Adyra melirik skeptis. "Waktu itu, gue nungguin lo. Gue kehujanan, sampai sakit. Apa lo peduli? Enggak, kan? Lo lebih mentingin perasaan lo sendiri. Dan sekarang, lo dateng ke gue dengan alasan masih sayang sama gue? Udah terlambat tahu, nggak. Ke mana aja lo selama ini?"

Adyra meraba jaketnya, sambil merogoh saku di sana. Ia mengambil ponsel kemudian melakukan sesuatu. "Mulai sekarang, jangan hubungin gue lagi. Gue udah blokir kontak lo. Lo nggak bisa telepon-telepon gue lagi." Adyra membuka case handphone, mengeluarkan kartu kemudian menginjaknya keras-keras. "See? Gue juga udah rusak kartunya. Gue pastiin, lo nggak akan dapet nomor baru gue dari siapapun. Jadi please, pergi dari kehidupan seperti yang lo lakuin dulu."

"Apa nggak ada sama sekali—sedikitpun tempat di hati lo buat gue, Ra?" harap Dimas.

"Nggak ada," tegas Adyra. "Masalah kita udah selesai. Dan anggap aja, kita nggak pernah kenal. Gue bisa maafin kesalahan lo dulu. Gue juga bisa ngelupain rasa sakit yang udah lo kasih dulu. Tapi untuk balik sama lo lagi, gue rasa itu nggak mungkin."

"Jangan jadi orang jahat, Dim. Jangan egois. Gue tahu lo orang baik."

Setelah itu, Adyra benar-benar pergi, meninggalkannya sendiri. Jadi ini rasanya ditinggalkan? Dimas baru tahu, jika rasanya sungguh menyakitkan. Yang dirasakan Adyra dulu, berbalik mengenainya sekarang. Memang benar, kata orang. Apa yang kamu tanam dulu, adalah yang kamu tuai sekarang. Yang menyakiti akan disakiti, yang meninggalkan akan ditinggalkan, dan yang mengecewakan akan dikecewakan.

Dimas mengepalkan tangannya kuat-kuat. Emosinya meledak. Ia menghantamkan kepalan tangannya pada pohon di sampingnya, hingga menghasilkan goresan berdarah di sekitar telapak tangannya. Tangannya berdenyut nyeri. Namun itu tak sebanding, dengan rasa sakit yang dirasakannya kini.

Ia ingin pulang dan langsung tidur di atas ranjang. Berharap jika ia membuka matanya esok, yang dia hadapi adalah kenyataan, sedang saat ini ia hanya bermimpi. Namun, ketika ia memutar badan, Kanya menyambutnya dengan senyuman hangat. Gadis itu berdiri tak jauh darinya, dengan tatapan yang sangat menenangkan. Dimas tersadar, jika ini bukan mimpi. Ia sedang menghadapi kenyataan. Kanya mendekat, seraya menyentuh tangannya yang sakit. Gadis itu mengusapnya perlahan.

"Saat ini, mungkin dia sedang berlarian ke tempat lain. Mencari sesuatu yang belum tentu bisa ia dapatkan. Tapi, kalau dia udah lelah, aku bakal datang ke sana. Dan di saat itu juga, aku bakal buat dia jatuh cinta sama aku."

Kanya menatap Dimas hangat disertai senyuman. "Kak Dimas nggak apa-apa, kan?"

•••••

Adyra menghentikan langkahnya. Sudah. Sudah cukup ia berjalan. Ia sudah lelah. Kakinya melemas. Seolah tak kuat lagi menopang berat tubuhnya, Adyra berjongkok di pinggir jalan seraya menyembunyikan wajahnya di balik lipatan tangannya. Kemudian, Adyra menangis sekeras-kerasnya.

Gadis itu sudah berapa di puncak kesabaran. Ia tak bisa menahan tangisnya lagi. Di depan Dimas, ia tak boleh terlihat lemah. Ia tak ingin siapapun melihat kesedihannya. Gadis itu menangis bukan karena berat melepas Dimas. Namun, karena ia menyesal setengah mati. Kenapa harus sekarang? Kenapa tidak dari dulu saja ia bersikap tegas dalam menentukan pilihan bukannya malah mengorbankan perasaan Andra gini. Gila. Dasar bodoh. Adyra merasa menjadi orang yang tak berguna. Karena mengecewakan orang seperti Andra.

Tidak. Adyra belum siap. Ia tidak akan pernah siap jika harus kehilangan Andra.

Adyra mengusap wajahnya, beserta ingus yang kian menyumbat hidungnya sampai membuat napasnya tersendat-sendat. Adyra memandang lurus ke depan dengan membulatkan tekad.

Gue harus bikin Andra maafin gue, gimana pun caranya.

•••••