webnovel

Part 63 : Rancu

Andra memejamkan mata, menikmati udara dingin yang masuk melalui jendela. Ia menundukkan kepala, menyatukan telapak tangan, lalu menaruhnya ke belakang lehernya.

Kepalanya terasa penat. Ia mengambil napas dalam-dalam kemudian mengembuskannya perlahan. Seraya berdiri di atas balkon, Andra mencengkeram kuat pagar pembatas balkon kamarnya tanpa memerdulikan ponsel yang sejak tadi berdering memekakkan telinga.

Di sisi lain, Adyra tersenyum kernyih, sambil menatap sendu ponselnya. "Sebenarnya apa sih, yang ada di pikiran lo, Ra?" Gadis itu bermonolog.

"Gue pikir, dengan nggak cerita tentang masa lalu gue ke Andra, bisa menghindari kejadian kayak gini," kata Adyra, sambil tersenyum. "Ternyata gue salah..."

Adyra menggenggam erat ponselnya. "...gue malah ngerusak semuanya."

•••••

"Apa sih, tarik-tarik baju gue?! Lo sengaja bikin baju gue sobek, ya? Biar bisa lihat abs gue?!"

Rani membuat gestur mau muntah. "Halu banget lo ngaku-ngaku punya abs. Perut kayak kue cubit aja belagu," cibirnya.

"Kue cubit jidat lo?!" Rio menipiskan bibirnya kesal.

Bola mata Rani berputar, "Cepet sana piket! Keburu Bu Bertha dateng, Yoyon!"

"Gue udah piket!" Rio berteriak.

"Kapan?!" Rani ikut berteriak.

"Kemaren!"

"Bo'ong bat lu! Orang kemarin gue lihat lu pulang duluan, kok." Rani mencibir. "Gue udah hapal tabiat lo."

Rio mencebikkan bibir. "Males ah, Ran. Ngantuk gue. Lo aja yang piket. Gue bantuin doa, deh."

"Enak aja!" Rani langsung mengacungkan sapu. "Nyapu nggak, lo?!"

Rio menghindar, "Nggak mauu!"

Cowok itu berlarian menghindari acungan sapu ijuk di tangan Rani yang menjulang. Sesekali, ia sembunyi di belakang meja, kursi, sambil muter-muter mirip adegan di Film India. "Yoyon sialan! Kalo ketangkep, gue unyel-unyel juga lo!"

Bukannya takut, Rio malah mengerling jahil. "Mau dong, diunyel-unyel..."

"Kampret!"

Rio terbahak. Ketika ia berlari menuju pintu dan berniat keluar kelas, cowok itu terlonjak kaget usai menabrak orang di depannya secara tak sengaja. "Maap—eh, Ibu Negara?" Rio mengedip melihat Adyra. Melihat gelagat Adyra yang longak-longok mirip senam irama, Rio langsung memahami suasana. "Apakah Permaisuri sedang mencari Baginda Raja?" tanyanya hiperbolis.

Adyra hanya mengangguk tanpa embel-embel bicara.

"Oh, tadi dia masuk kelas kok, perasaan."

"Mana?!" Adyra langsung bersemangat.

"Gue bilang kan, tadi. Sekarang mah nggak ada. Nggak tahu ke mana." Adyra mendengus panjang merasa kecewa.

"Dari kemarin dia nggak balas chat gue. Di-read aja enggak," curhat Adyra sambil melengkungkan bibir ke bawah.

"Ada masalah rumah tangga?" Rio berdecak, "Kayak Bang Toyib aja nggak pulang-pulang."

Adyra menghela napas. "Lo bener-bener nggak tahu dia di mana?" Rio menggeleng. "Coba tanya Eric, tanya Aldo, sama Bara juga sekalian. Kirain mereka tahu."

Rio melirik arloji di tangan kirinya. "Masih jam tujuh kurang seperempat. Mereka mah belum dateng jam segini. Paling-paling juga nanti pas jam tujuh pas. Apalagi si Barbara. Dia mana pernah berangkat pagi?" Rio menepuk dadanya bangga. "Emang gue doang di sini yang paling rajin."

"Lo cari aja, nanti juga nemu." Rio memberi saran. "Kalo bisa, sekalian cari di pojokan ruangan, selokan, kolong meja, bawah taplak meja, siapa tahu nyempil. Hehee."

Adyra malas menanggapi lelucon krispi cap jempol milik Rio. Ia malas bercanda. "Ya udah, deh. Makasih."

Melihat kepergian Adyra, Rio melanbaikan tangan. Ia menatap punggung gadis itu. Melihat tatapan sayu Adyra, membuat Rio menebak jika ada masalah di antara kedua sohibnya itu. "Lo bikin ulah apa lagi sih, Ndra? Heran gue. Nggak bisa apa ya, idup tenang tanpa hambatan ohm kayak soal-soal Fisika?" Cowok itu menggeleng tak habis pikir.

"Permisi, Mas."

Rio menoleh sopan, "Iya, Mbak?"

"Boleh pegang kupingnya sebentar?"

"Ah, iya. Silakan atuh, Mbak. Nggak usah sungkan." Rio tersenyum.

"Nuhun," balas Rani sopan kemudian tersenyum jahat. "Mampus lo, akhirnya ketangkep jugaaa!" teriak Rani sambil menjewer kuping Rio.

"Aduh, iya! Ampun!" Rio baru sadar, "Jangan pelintir daun telinga gue! Kalo putus lo mau ganti, haa?"

"Tinggal diganti daun pintu."

"Mulut lo abstrak juga, jadi gemes." Rio menampilkan senyum manis. Membuat Rani berdecih.

"Cepet sana, piket! Kalo nggak mau kuping lo gue ganti ama kuping gajah."

Rio mengalah. "Untung cantik," gumamnya.

"Lo bilang apa barusan?!"

"Nggak bilang apa-apa," sahutnya sambil senyum tak berdosa.

•••••

Andra memasang earphone di telinga, kemudian menyalakan musik dari ponsel. Cowok itu menyandarkan punggung, sambil melipat tangan di depan dada dengan kelopak mata terpejam menikmati lagu yang ia putar.

"Andra..."

Mendengar seseorang memanggil namanya, kelopak matanya langsung terbuka. "Akhirnya ketemu juga. Ternyata lo di sini?" ujar suara itu mengajak bicara Andra. Namun, Andra enggan merespon. Ia menutup kelopak matanya lagi.

"Ngapain lo di sini?" tanyanya pada Andra, sambil mengedarkan pandangan.

"Lo nggak lihat gue lagi tidur?" sahut Andra sekenanya. Tak lama, ia mendengar dengusan.

"Ya ngapain tiduran di aula? Sendirian, di pojokan pula. Emang nggak ada tempat lain?" Gadis itu mendecak lidah.

"Lagian, udah mau jam tujuh. Lo nggak masuk kelas? Dan lagi..." Ia menimbang-nimbang sebentar, hingga kemudian memutuskan untuk melontarkan kalimat itu dengan sengaja. "Adyra nyari lo dari tadi."

Andra mendengus kasar, kemudian membalikkan badan, menatap Cinta dengan tatapan datar. "Kalo lo cuma mau ngomongin hal yang nggak penting, mending pergi aja. Gue lagi nggak mau diganggu," kata Andra, lalu merebahkan badannya lagi.

Cinta menghela napas, "Lo nggak kasihan sama Adyra?"

Andra berdecak lidah, sambil tangannya sibuk membesarkan volume musik yang tersambung di earphone-nya.

"Andra dengerin gue..."

Cowok itu menulikan telinga.

"Andra!"

Ia tersentak, ketika Cinta menarik earphone di telingannya dengan lancang. Cowok itu memberinya tatapan tajam. Namun, Cinta sudah kebal. Ia sering mendapat tatapan seperti itu dari Andra dulu. Kejadiannya begitu cepat. Hingga Cinta bahkan tak diberi kesempatan untuk bertindak. Ia terkejut ketika Bara tiba-tiba datang lalu menarik kerah Andra.

"Sialan!" teriak Bara. Dengan napas tak beraturan, ia menatap tajam Andra. Seolah menunjukkan jika Bara yang dulu telah kembali. Bara yang akhir-akhir ini selalu bersikap santai, mulai memunculkan taringnya lagi.

"Gue udah bilang berkali-kali sama lo, kan? Jangan sakiti dia, atau gue bakal ngelakuin sesuatu yang bikin lo menyesal." Andra bisa mendengar desisan tajam Bara di depan wajahnya. "Lo nggak lupa, kan?"

Andra menggeleng, "Gue inget." Ia membubuhi senyuman tipis. "Gue nggak pernah lupa sama apa yang lo bilang."

"Kalo lo nggak lupa, kenapa lo masih nyakitin Adyra, hah?!"

Andra mendengus geli. "Gue? Nyakitin Adyra?"

Cinta berteriak. Ia melihat tubuh Andra terpental ke belakang usai mendapat sekali pukulan dari tangan Bara. Cinta bergerak impulsif menghampiri Andra dan membantunya. Ketika Bara menghampiri Andra hendak mengulangi pukulannya lagi, Cinta mendorong cowok itu sekuat tenaga. "Jangan pukul Andra lagi!"

Bara menggeletukkan gigi, "Minggir."

"Nggak akan." Cinta berdiri di depan tubuh Andra yang masih limbung, seolah melindunginya.

"Gue bilang minggir, lo tuli, ya?!" Bara mendorong bahu cewek itu spontan. Namun, Andra menahan tubuh Cinta dari belakang agar tidak terjatuh di lantai.

"Jangan kasar sama dia."

Bara mengernyit, merasa salah dengar. "Lo belain dia?"

"Kalo lo punya masalah sama gue, selesaikan sama gue sekarang. Jangan libatin siapapun."

"Apa ini alasan lo nyakitin Adyra?" tebak Bara tanpa ada aksen bercanda sama sekali. Namun, Andra enggan merespon. "Kenapa lo diam aja? Apa tebakan gue bener?"

Andra tetap diam.

Bara mendengus geli. "Heran gue. Lo ngebuang Adyra buat cewek murahan kayak gini?"

Cinta melemas. Ia tak tahu lagi apa yang terjadi. Usai Andra meraih kerah kemeja Bara, ia langsung memukulnya. Hanya sekali pukulan saja, berhasil membuat hidung Bara mengalirkan darah segar.

"Bara!"

Andra tak mendengarkan teriakan Adyra. Dadanya naik turun. Ia hanya fokus pada Bara yang tergeletak seraya menyentuh hidungnya.

"Apa yang lo lakuin?!" Aldo yang ikut datang bersama Adyra langsung menuding Andra. Sementara Rio dan Eric tengah berusaha membantu Bara menopang tubuhnya.

Andra tak mempedulikan tatapan bingung teman-temannya. Cowok itu masih fokus menatap Bara, yang kini memberinya senyuman miring seperti biasa. "Kalo gue denger lo ngomong kayak gitu lagi, gue habisin lo."

Tanpa melakukan apapun lagi, Andra langsung pergi. Ia bahkan melewati Adyra tanpa meliriknya sama sekali. Sakit—yang dirasakan Adyra ketika cowok itu mengabaikannya. Namun, ia hanya diam. Memilih tak mengatakan apapun agar tak memperkeruh suasana.

"Lo nggak apa-apa?" Aldo menanyai Cinta. Cewek itu masih bergeming di tempatnya berdiri, tak sanggup bergerak sama sekali. Hingga setetes cairan bening mengalir dari sudut matanya.

"Apa bener yang Bara bilang barusan?"

"Apa—apa menurut lo, gue cewek murahan?"

Aldo membulatkan mata. Ia tak percaya dengan apa yang tengah dilihatnya kini. Cinta yang selama ini terkenal pongah, dan semaunya sendiri, sedang menangis di hadapannya dengan sorot mata yang menyakitkan.

"Enggak..." Aldo memberinya pelukan, berharap bisa memberikan sedikit ketenangan. Cowok itu menepuk punggungnya pelan. "Lo bukan cewek kayak gitu."

•••••

Bara tak berkedip sama sekali, menikmati ekspresi wajah Adyra yang cukup dekat dengan wajahnya. Tangan mungil gadis itu bergerak lihai mengusap sudut bibir Bara yang lebam dengan obat merah.

"Udah selesai."

Bara tak mendengarkan. Kini, ia masih betah menatap Adyra walaupun gadis itu sudah menjauhkan wajahnya. "Lo istirahat aja. Jangan banyak gerak. Kalo belum mendingan, jangan balik dulu." Adyra membereskan plester, perban, dan alkohol ke dalam kotak obat. "Gue mau ke kelas dulu. Udah jam tujuh."

Adyra menunduk, berniat mengambil tas ransel yang ia taruh di atas lantai. Sebelum pergi, Adyra melihat Bara sejenak. "Gue minta maaf. Karena Andra, lo jadi kayak gini—"

"Andra yang salah kenapa jadi lo yang minta maaf?" sahut Bara memotong kalimat Adyra.

"Kalian berantem gara-gara gue, kan? Andra mukul lo tadi juga gara-gara gue, kan?" Bara terperangah. "Gue pikir, ini semua salah gue juga. Jadi gue harus minta maaf."

"Asal lo tahu, Ra. Andra tadi mukul gue bukan gara-gara lo. Tapi, gara-gara dia belain cewek itu."

Kalimat itu tertelan di lubuk hati yang paling dalam. Bara tidak mungkin tega mengatakan hal itu pada Adyra. Kalau Adyra tahu, ia pasti kecewa.

Bara menghela napas, semakin menatap lekat Adyra. "Bukan salah lo, kok. Sama sekali bukan salah lo. Jadi, lo nggak usah minta maaf sama gue. Oke?"

Adyra terdiam sejenak, kemudian mengangguk dan membalas senyum Bara. "Oke."

Adyra berdiri dari tempat duduk, mulai mencanglong tas dan pergi ke kelas sesuai niatnya tadi. Namun, cekalan Bara di pergelangan tangannya membuat Adyra berhenti. Ia kembali memberikan atensi pada Bara dengan menolehkan kepala.

"Segitu sukanya, ya, lo sama Andra? Segitu sayangnya lo sama Andra? Apa gue nggak punya sedikitpun tempat di hati lo, Ra? Apa sama sekali nggak ada kesempatan buat gue?"

Bara tersenyum miris. Ia sangat ingin mengatakan hal itu kepada Adyra. Sekeras-kerasnya. Agar Adyra mendengarnya. Namun, ia menelan kalimatnya bulat-bulat. Bara sadar posisinya. Ia tahu pasti, apa jawaban Adyra jika ia benar-benar mengatakannya.

"Kenapa?"

Bara tersenyum tipis, lalu mengusap pelan punggung tangan Adyra. "Makasih."

Adyra mendengus geli. "Gue kira apa." Bara meringis lebar.

"Iya sama-sama. Cepet sembuh, ya?"

Dalam hati, Bara menertawai dirinya sendiri. Pengecut lo, Bar.

••••

"Kemosintesis adalah asimilasi karbon yang energinya berasal dari reaksi-reaksi kimia dan tidak diperlukan klorofil. Umumnya dilakukan oleh mikroorganisme, misalnya bakteri. Organismenya disebut kemoautotrof."

Aldo menautkan kedua telapak tangannya di tas meja. Tak sepenuhnya mendengarkan penjelasan Bu Bertha, pikirannya rancu kemana-mana. Ia menatap kursi Andra yang nampak kosong di depannya.

"Bakteri kemoautotrof ini akan mengoksidasi senyawa-senyawa tertentu dan energi yang timbul digunakan untuk asimilasi karbon. Contoh bakteri nitrit: Nitrosomonas, Nitrosococcus. Contoh bakteri nitrat: Nitrobacter. Contoh bakteri belerang: Thiobacillus, Begiatoa."

Penjelasan Bu Bertha terpotong karena bel istirahat. Ketika Aldo menoleh ke sebelah kanannya, ia juga sama sekali tak melihat batang hidung Bara.

•••••

Usai mendengar bel pulang sekolah, Adyra langsung mengemasi barang-barangnya di atas meja dengan serius. Ia bahkan tak sadar jika Amy sejak tadi menatapnya. Amy menatap Adyra khawatir, karena gadis itu diam saja sejak pagi tadi. Bicara seperlunya, menjawab pertanyaan Amy pun seperlunya.

"Pulang bareng yuk, Raa!" ajak Amy bersemangat.

"Nggak, deh. Gue pulang sendiri aja." Belum sempat Amy mengeluarkan protes, Adyra sudah beranjak dari tempatnya. "Gue duluan!"

Untuk saat ini, Adyra hanya ingin pulang. Ia ingin me-refresh pikiran. Ia ingin melakukan banyak hal di rumahnya. Makan yang banyak, nonton film, tidur, atau apa saja agar beban pikirannya hilang. Ketika sampai di depan pintu kelas, Adyra terkejut. Ia melihat Bara lagi.

"Pulang bareng gue, ya?" tawarnya.

Adyra mengangkat sudut bibir. "Nggak usah, gue bisa pulang sendiri. Lagian, rumah lo nggak searah sama rumah gue. Lumayan jauh juga. Mending lo istirahat di rumah." Gadis itu mengakhiri kalimatnya dengan senyum manisnya. "Gue duluan, ya?"

Bara ditolak, untuk kesekian kali.

Tak lama usai kepergian Adyra, tatapannya menangkap wajah yang tak asing. Ketika menoleh, ia melihat Cinta berdiri tak jauh darinya. Sadar jika sedang diamati Bara, Cinta memilih melanjutkan langkahnya melewati Bara. Ada sedikit perasaan takut. Ia bahkan meremas telapak tangannya kuat-kuat. Melihat gadis itu berjalan melewatinya, Bara tersenyum sinis.

Cowok itu menyugar rambut ke belakang. Gara-gara cewek itu, Adyra jadi menangis. Gara-gara cewek itu, Bara kehilangan wajah ceria Adyra yang selama ini menjadi objek utama yang harus dilihatnya. Semua gara-gara cewek itu. Gara-gara Andra juga..

Bara mengepalkan tangan, hendak memukul tembok di depannya. Namun, gerakannya terhenti. Tangannya tertahan. Dan ia terkejut melihat siapa yang saat ini tengah menahan kepalan tangannya. Ia terkejut, melihat ekspresi serius Siska yang mengintimidasinya.

"Lo mau apa?" gadis itu mengangkat satu alisnya. "Hidung abis mimisan, bibir masih lebam juga masih belum puas?"

Siska menepis tangan Bara. "Gue nggak habis pikir sama lo. Emang harus, menghadapi masalah sambil marah-marah? Menurut lo, emosi bisa bikin semua masalah cepet kelar, gitu? Enggak, kan?"

"Lo pikir, Adyra bakal baik-baik aja karena ulah lo tadi pagi?" Siska mendengus geli. "Lo salah besar. Justru karena kelakuan lo tadi, malah nambah beban pikiran Adyra."

Bara tersadar. Tak tahu kenapa, ia jadi merasa bersalah. "Sebelum ngelakuin sesuatu, lebih baik lo mikir."

"Punya otak, kan?"

•••••