webnovel

Part 62 : Terima Kasih

Adyra bertopang dagu di atas meja, sambil memandang kosong ke depan seolah tak ada gairah hidup saja. Amy yang sejak tadi mengamati Adyra jadi menghela napasnya lelah.

"Gara-gara lo sih, Ka." Amy menyenggol lengan Siska yang lagi fokus belajar soal-soal fisika.

"Kenapa gue?"

"Kalau lo nggak ngomong yang aneh-aneh kemarin, Adyra nggak bakal kepikiran kayak gini," dengus Amy kesal.

"Kenapa jadi gue yang disalahin? Gue nggak ngerasa ngelakuin hal yang salah, kok." Siska menelengkan kepala ke arah Amy yang lagi nggak enak muka. "Kalau Adyra nggak gue omongin kayak gitu, kapan dia mau sadar?"

Amy mengerutkan dahi. "Semua cowok itu sama aja. Dia cuma peduli di awal doang. Kalo dia udah ngerasa bosen, dia bisa pergi kapan aja. Bukannya lo juga pernah mengalami, kan?"

Siska benar. Amy pernah mengalami hal itu, waktu dekat dengan seorang cowok. Ia pikir, Ramon itu sosok yang hampir sempurna di mata Amy. Cowok itu selalu ada di setiap kali Amy membutuhkan seseorang. Namun, sekarang sudah berbeda. Ketika ia sudah berhasil membuat Amy jatuh, ia malah pergi. Mementingkan kehidupannya sendiri.

"Lo harus realistis, My. Apa yang bersama kita sekarang, belum tentu bisa bersama kita selamanya."

•••••

"Mau ke mana, Ra?"

"Ke toilet."

"Gue temenin, ya?"

"Nggak usah, gue bisa sendiri."

Tanpa menghiraukan suara Amy yang masih memanggil-manggil namanya, Adyra berjalan menyusuri koridor. Ia menyelipkan beberapa helai rambutnya ke belakang telinga ketika tersapu angin. Ia berjalan menunduk, hingga tak sengaja menabrak seseorang hingga terlihat beberapa buku berceceran di atas lantai.

"Maaf, gue nggak sengaja."

Cowok yang tertabrak Adyra tadi mengangkat pandangan kesalnya. "Makanya, kalo jalan itu lihat ke depan, jangan meleng."

Habis kena omel, Adyra berniat kembali melanjutkan langkah. Namun, langkahnya terhenti. Ia melihat Andra berjalan ke arahnya. Hingga ia menghentikan langkah ketika menyadari kehadiran Adyra di ujung sana.

Sudut bibir Adyra tertarik. Ia mengangkat tangan, berniat melambaikan tangan ke arah Andra. Tapi, gerakannya terhenti di udara. Belum sempat Adyra menyapa, Andra sudah membuang muka dan berjalan ke arah lain tanpa menghiraukan Adyra.

••••••

Bel berbunyi sebanyak empat kali. Menandakan jika semua jam pelajaran di sekolah sudah berakhir. Siska menghela napas lega, karena tak jadi maju ke depan untuk mengerjakan soal fisika di papan. Walau tatapan Bu Dwi masih agak terasa mengerikan, setidaknya ia bisa bernapas lega sekarang.

"Pulang bareng yuk, Ra!" seru Amy.

Adyra memasukkan buku-bukunya tanpa menengok cewek itu. "Gue pulang sendiri aja."

"Kok gitu?" Bibir Amy melengkung ke bawah. "Hari ini, Abangnya Siska bawa mobil. Jadi kita bisa nebeng pulang. Iya kan, Bos?"

Amy mengerling ke arah Siska, membuat cewek itu memutar bola matanya. "Hm, abang gue udah nunggu di gerbang. Yuk, gercep, ah! Entar abang gue ngamuk kalo kelamaan. Soalnya dia harus balik ke kampus."

"Kalian duluan aja."

"Tapi Ra--"

"Lo nggak papa, kalo kita tinggal?" tanya Siska yang dihadiahi pelototan oleh Amy.

Adyra mengangguk. "Iya, nggak papa. Salam buat abang lo, ya?"

"Oke," Siska langsung menarik tangan Amy. "Yuk, Mbok, kita pulang!"

Ketika sampai di luar kelas, dan agak jauh dengan tempat Adyra berdiri tadi, Amy mengerutkan dahi. Tanpa meminta persetujuan Siska, ia melepas tangannya dari genggaman cewek itu. Agak sedikit kasar, membuat Siska sedikit tersentak karena terkejut.

"Maksud lo apa, sih?! Ngapain lo tinggalin Adyra sendirian? Nanti dia pulang sama siapa?! Kalo nanti ada apa-apa gimana?! Heran gue sama lo!"

Siska menghela napas. "Biarin Adyra menyelesaikan masalahnya sama Andra. Ini masalah mereka, kita nggak perlu ikut campur."

Raut wajah Amy berubah khawatir, "Nanti kalo ada apa-apa sama Adyra, gimana?"

Siska tersenyum, "Nggak akan ada apa-apa. Lo tenang aja."

•••••

Gue tunggu di gerbang, ya? Gue mau ngomong sesuatu.

Andra mematikan layar ponsel usai membaca pesan dari Adyra. Cowok itu hanya berdiam diri, seraya memandangi tubuh Adyra yang memunggunginya di ujung sana. Gadis itu terlihat sabar menunggu seseorang sambil mengetuk-ngetukkan jarinya.

Andra berjalan cepat sambil memeluk bola basketnya dengan satu tangan. Ia menggeletakkan ranselnya ke sembarang arah, kemudian melempar bola basket di tangannya hingga berhasil mengenai ring. Cowok itu melakukannya berkali-kali, dengan sesekali berlari cepat menggiring bola.

"Lo di sini?"

Andra menghentikan kegiatannya. "Belum pulang?" lalu menengok seseorang yang mengajaknya bicara.

Andra mengembuskan napas, kemudian melanjutkan kegiatannya lagi. "Lo sendiri?"

Cinta mengangkat satu alis, "Nanti aja. Gue lihatin lo main basket, ya?"

Tak ada jawaban dari mulut Andra. Cowok itu memusatkan atensi pada permainan bolanya. Raut wajah yang serius, tercetak jelas di wajah Andra.

"Ta?"

"Hm?"

"Tolong ambilin botol minum gue. Di dalam tas."

"Oke."

Cinta merogoh tas ransel Andra, lalu menyerahkan botol minum yang dia temukan ke arah Andra. "Thanks," kata Andra sambil lalu yang mendapat senyuman dari Cinta.

Ketika Cinta berniat menutup resleting tas Andra lagi, gerakannya terhenti saat melihat suatu benda yang menarik perhatiannya.

"Ini buku apa?"

••••••

Adyra menggerakkan kakinya gelisah. Sambil sesekali berdiri, ia melongok ke sembarang arah. Siapa tahu menemukan Andra berdiri di sana.

Ia sudah menunggu selama satu jam, dan belum ada tanda-tanda kehadiran Andra. Adyra tahu, kalau Andra masih di sini. Dan ia yakin, kalau Andra akan datang untuk menemuinya.

"Kurang 10 menit lagi, Ra. Andra pasti ke sini. Tunggu sebentar lagi," katanya bermonolog.

•••••

30 Januari 2017

Mama, sebenarnya Adyra nggak suka tinggal di sini. Suasana Bandung yang sekarang, jauh berbeda sama dulu waktu masih ada Mama yang selalu temani Adyra liburan. Rasanya sepi, nggak asik sama sekali.

Tapi, akhir-akhir ini Adyra bertemu cowok. Dia aneh, tapi selalu bisa bikin hari-hari Adyra nggak membosankan. Sejak saat itu, Adyra nggak pernah lagi ngerasa sendirian.

15 Februari 2017

Aku suka sama dia. Nggak tau kenapa. Walau agak menyebalkan, tapi dekat sama dia membuat aku senang. Kalau Mama di sini, aku pasti kenalkan dia ke Mama. Aku yakin kalau Mama pasti juga suka sama dia.

01 Maret 2017

Ma, dia nembak aku. Dia bilang suka sama aku. Aku senang banget. Awalnya aku nggak tau harus bilang apa. Tapi akhirnya, kita jadian.

Dia minta ambil selca bareng, terus kalau aku sampai rumah, dia minta biar dikasih bingkai. Biar bisa jadi kenangan. Tapi aku nggak mau. Aku malu. Nanti pasti Papa lihat. Jadi, aku selipin di buku diary yang Mama kasih ini.

15 April 2017

Ma, aku sayang sama dia. Nggak tahu kenapa. Rasa sayangku ke dia memang nggak sebesar rasa sayang Adyra ke Mama. Tapi, aku nggak mau kehilangan dia. Aku takut dia pergi dan ninggalin aku sendiri. Aku nggak mau, Ma. Adyra nggak mau.

"Lo ngapain?"

Tangannya bergerak secara instingtif membalik halaman paling belakang. Ia melihat selembar foto monokrom, yang diambil selca. Dahi Cinta berkerut melihat kedua wajah di dalam foto itu. "Cowok ini, kan..."

"Balikin."

Cinta membalas tatapan Andra, namun enggan memenuhi ucapan cowok itu. Gadis itu berdiri dan bergerak selangkah menjauhi Andra.

"Gue bilang balikin."

"Kenapa bisa?"

"Bukan urusan, lo." Andra mengulurkan tangan, "Balikin sekarang juga."

"Nggak," cewek itu memanjangkan tangannya ke atas.

"GUE BILANG BALIKIN!"

Andra mendorong bahu cewek itu, hingga menabrak dinding di belakangnya. Tubuh Andra menghimpitnya. Cinta menelan saliva. Embusan napas Andra yang terasa hangat menyapu wajahnya. Tangannya masih di atas, memegangi buku itu erat-erat. Tak lama, Andra mencekal pergelangan tangannya kemudian terdengar suara langkah kaki tak jauh dari tempat mereka berdiri.

"Kalian lagi ngapain?"

Kedua mata Cinta membulat, "Adyra?" bisiknya. Tak lama, cewek itu membuat Andra tersentak kaget karena Cinta mendorong kuat bahunya.

"Ini nggak seperti yang lo lihat..."

"Memang apa yang gue lihat?" Adyra tersenyum kernyih. "Jadi ini yang bikin lo akhir-akhir ini ngejauhi gue, Ndra?"

Andra bergeming. Cowok itu bahkan tak membalas tatapan Adyra.

"Jawab gue."

Cinta menggelengkan kepala. "Ra, gue bisa jelasin..."

"Gue nggak lagi bicara sama lo! Gue bicara sama Andra!" ketika Adyra berteriak, Cinta langsung membungkam mulutnya. Ia terperangah, baru kali ini melihat Adyra marah hingga melengkingkan suara.

Adyra berjalan mendekati Andra. "Jadi ini maksud lo selama ini?" Andra masih tak mengeluarkan suaranya.

"Kenapa diam?" Adyra memukul bahu Andra. "Gue tanya kenapa lo diam aja?! Andra, jawab gue!"

"Ra," lirih Cinta.

"Dari satu jam yang lalu gue nungguin lo di gerbang. Gue yakin kalo lo bakal datang. Gue sendirian di sana. Tapi ternyata, lo malah di sini..."

Tatapan Adyra mengarah pada Cinta, "...sama cewek lain."

Adyra menghela napas, "Apa maksud lo?"

"Ra, biarin gue yang jelasin. Ini semua nggak seperti yang lo pikirin. Gue tadi cuma lewat, dan lihat Andra main basket sendirian. Jadi, gue samperin ke sini. Gue sama sekali nggak janjian sama dia. Gue cuma kebetulan lewat dan---"

"Gue bilang diam! Gue nggak lagi bicara sama lo!" teriak Adyra lagi.

Gadis itu memejamkan mata, seraya mengatur deru napasnya. "Ta, selama ini gue udah nganggep lo sebagai teman gue sendiri. Gue belain lo di depan orang lain, gue belain lo di depan teman-teman gue, gue bahkan belain lo di depan Andra, tapi ini balasan lo ke gue?"

"Gue..."

"Gue salah apa?" bisik Adyra. "Apa salah gue sama lo, sampai lo ngelakuin hal ini ke gue!"

"Jangan salahin dia."

Adyra menatap Andra yang tiba-tiba mengeluarkan suara. "Lo nggak berhak marah-marah sama dia."

Adyra mengerutkan dahi, "Jadi lo belain dia?"

"Emang kenapa kalo gue belain dia?"

Adyra terperangah mendengar jawaban Andra. "Emang kenapa kalo gue berduaan sama dia? Ada masalah sama lo?" Andra mendengus pelan.

Cinta menelengkan kepala. "Andra!"

"Gue udah muak!" Andra membentak. "Gue udah muak, Ra," ulangnya lagi dengan nada suara merendah. "Lo pengin tahu kenapa gue berubah akhir-akhir ini?" Cowok itu tersenyum miring. "Harusnya lo introspeksi diri. Bukan malah nyalahin orang lain, dan membuat seolah-olah lo adalah korban di sini."

"Gue nggak ngerti maksud lo," lirih Adyra.

Andra menggemelatukkan gigi. Telapak tangannya terkepal kuat. Ia berjalan ke arah Cinta dan merebut sesuatu di tangannya. Tak butuh waktu lama, Andra melempar benda itu di hadapan Adyra. Benda itu jatuh ke lantai dengan keras, membuat Adyra memusatkan atensinya. Dadanya mencelus seketika. Sesuatu yang kemarin hilang, hingga membuat Adyra dongkol setengah mati. Sesuatu yang selama ini Adyra simpan rapat-rapat, tergeletak di hadapannya saat ini.

"Gimana?" Andra tersenyum miring, "Lo udah ngerti maksud gue?"

"Kenapa bisa ada sama lo?"

"Gue yang seharusnya nanya kayak gitu sama lo." Andra mendengus pelan. "Kenapa? Kenapa lo nyembunyiin hal itu dari gue?"

Adyra hanya diam menatap sorot mata Andra yang nampak sayu. "Gue nggak peduli ada berapa puluh cowok yang ada di masa lalu lo. Gue juga nggak peduli sama siapa aja yang pernah bikin lo jatuh cinta. Dan dari sekian banyaknya orang, kenapa harus Dimas? Kenapa harus orang terdekat gue? Dan kenapa lo nggak pernah cerita apapun sama gue?"

"Selama ini gue selalu cerita semuanya sama lo. Tentang kehidupan gue, yang nggak semua orang tahu. Cuma lo yang tahu semua. Karena cuma lo yang gue percaya."

"Lo ketemu sama Dimas, lo nggak bilang apa-apa sama gue. Lo bilang pulang sama uber, tapi ternyata pulang bareng sama Dimas. Waktu handphone lo ada sama Dimas malam itu, bukan karena dia nggak sengaja nemuin itu di jalan, kan? Tapi karena emang kalian berdua ketemuan?"

Adyra terperangah.

"Apa lagi yang nggak gue tahu sekarang? Apa masih banyak lagi hal yang nggak gue tahu?" Andra mengembuskan napasnya kasar. "Gue capek jadi orang bego yang nggak tahu apa-apa!"

Jantungnya bertalu-talu. Harusnya Adyra memikirkan hal ini sebelumnya. Harusnya ia tahu kalau ini akan terjadi jika ia tetap menyembunyikannya. Bibir Adyra bergetar. Ia menundukkan kepala. Ia takut menatap Andra. Ia takut melihat tatapan kecewa Andra yang ditujukan padanya.

"Maaf."

Hanya itu yang keluar dari bibir Adyra usai sekian lama ia diam mendengar Andra bicara.

"Maaf?" Andra menelan saliva, lalu menarik sudut bibirnya. "Kalau gitu, gue juga minta maaf kalo selama ini gue ngerepotin lo. Maaf karena gue nggak selalu ada buat lo, kayak Dimas. Gue juga nggak bisa kasih apa-apa sama lo, kayak apa yang Dimas kasih. Maaf juga, kalo selama ini gue egois."

Cinta tersentak, ketika Andra mencekal pergelangan tangannya. Kesadarannya masih belum kembali sepenuhnya. Cewek itu melihat Andra dengan tatapan bingung.

"Gue anterin lo pulang."

Satu kalimat yang keluar dari bibir Andra, sebelum ia meninggalkan Adyra, sendirian.

•••••

Cinta masih tak mengerti, dengan situasi yang menyelimutinya sekarang. Tangan Andra masih menggenggam pergelangan tangannya. Tidak sakit memang, namun Cinta bisa merasakan genggaman itu sangat erat membungkus tangannya. Cewek itu masih berjalan, mengikuti langkah Andra. Hingga tiba-tiba cowok itu berhenti.

Cinta tidak tahu apa yang sedang Andra pikirkan. Cowok itu hanya diam setelah berhenti di tengah jalan. Tak lama, pegangan di tangannya terlepas perlahan-lahan. Bersaman dengan Andra membalikkan badan.

"Gue nggak bisa nganterin lo. Lo bisa pulang sendiri, kan?"

Cewek itu menatap Andra, sedikit lama. Kemudian, ia menarik sudut bibir. Apa yang ada di pikiran lo, Ta? Andra ya tetap Andra. Semarah apapun dia sama Adyra, dia nggak pernah benar-benar punya niat untuk menyakitinya.

"Oke, gue bisa pulang sendiri."

Andra tersenyum, sebelum pergi dari hadapan Cinta.

•••••

Adyra mengedarkan pandangan. Ia yakin jika Andra belum pergi jauh dari sana. Ia harus menjelaskan semuanya. Ia tidak mau Andra meninggalkannya. Adyra takut. Ia takut kehilangan Andra.

"Lo di mana?"

Adyra sudah menyusuri semua koridor sekolah. Ketika sampai di area parkir, Adyra tak menemukan motor Andra. Namun, ia tak menyerah. Gadis itu tetap mencarinya ke tempat lain, dan berharap jika cowok itu masih di sana.

Ia terjatuh, tak sengaja terpeleset karena menuruni tangga. Kakinya terasa sakit. Namun, ia masih mencoba berdiri. Walau dengan keadaan tertatih, ia masih melanjutkan langkahnya. Namun tak lama, ia terjatuh lagi. Kini rasanya lebih sakit dari sebelumnya. Bukan hanya kakinya yang berdenyut, namun juga batinnya. Melihat suasana sekolah yang sudah sepi, mustahil jika ada yang menolongnya.

"Adyra?"

Gadis itu mengerjapkan mata. Lalu membentuk lengkungan di bibirnya. Ia tahu, jika Andra tidak akan meniggalkannya. Ia tidak akan tega meninggalkan Adyra sendiri.

Seseorang berdiri di hadapannya, seraya mengulurkan tangannya. Adyra masih tak bisa menahan senyumnya. Ketika ia mengangkat kepala, senyum Adyra yang mengembang tadi sudah raib entah ke mana.

"Gue anterin lo pulang, ya?"

Bara menatapnya lembut diiringi senyuman di bibirnya.

•••••

"Buat lo."

Cinta tersenyum, menerima botol minuman dari tangan Aldo. Sebelumnya, cowok itu sudah membukakan tutup botol untuk Cinta agar dia bisa tinggal minum. Di tengah-tengah kegiatan Cinta yang masih minum, Aldo duduk di sebelahnya sambil mengajaknya bicara.

"Gue udah telepon Bara. Mungkin, sekarang dia udah sampai. Lo nggak usah khawatir."

Cinta menurunkan botol minumnya usai tegukan terakhir. Ia menelengkan kepala, seraya menatap Aldo dengan tersenyum. "Terima kasih."

Aldo mengangguk, kemudian membalas senyumnya. "Sama-sama."

****