webnovel

Part 61 : Am I Wrong?

Adyra berdiri di depan pagar rumahnya. Sesekali, ia melongok mengedarkan pandangan ke jalanan. Gadis itu mendecak cemas. "Andra ke mana, sih? Ini udah jam berapa? Kok dia belum jemput gue?" Dengusan ringan lolos di bibir Adyra. "Atau jangan-jangan ada apa-apa di jalan?"

Adyra merogoh saku roknya, lalu mengotak-atik ponselnya. Andra sudah dihubungi berkali-kali, namun tak ada jawaban.

"Sayang?"

Adyra menoleh. "Kamu kok belum berangkat, sih? Ini udah jam berapa?"

"Iya, Pa. Ini Andra juga belum jemput."

"Ngapain nunggu dia? Udah, berangkat sama Papa aja."

"Aku takut Andra ada apa-apa di jalan." Adyra menghela napas. Pagi-pagi gini, separuh semangat Adyra sudah hilang entah kemana.

"Udah, ayo berangkat. Palingan juga dia bangun kesiangan."

Dengan setengah hati, Adyra mengikuti langkah Papanya memasuki mobil.

••••••

"Mas, tumben berangkatnya siang."

Cowok itu menghentikan motornya sebentar, "Iya, Pak. Tidurnya kemaleman gara-gara ngerjain tugas," katanya sambil tersenyum.

"Ya udah, Mas. Silahkan masuk." Usai membalas ucapan Eric, pria paruh baya berseragam satpam itu bergerak menutup gerbang.

"Ngapain lo di sini?" Eric terkejut melihat Adyra berdiri di bawah pohon sambil melipat tangan.

Adyra merengut, "Nungguin Andra."

"Gerbang udah ditutup, masa dia belum dateng?"

Gadis itu mengendikkan bahu. "Gue nggak tahu. Lagian, dari tadi hape gue nggak bunyi. Gue telepon nggak diangkat-angkat."

"Lo nggak cek ke kelas?" Adyra menggeleng.

Eric mengangkat satu alisnya. Ketika melihat seseorang melintas di depannya, cowok itu berteriak. "Pak Rahman!"

Mendengar suara Eric, pria yang dipanggil namanya itu menoleh. "Iya, Mas?"

"Andra udah datang belum, ya?"

Pria itu terlihat mengingat. "Setahu saya sudah datang dari tadi, pagi-pagi sekali." Pria itu mengedarkan pandangan ke arah parkiran lalu menunjuk sesuatu. "Itu motornya."

Benar, itu motor Andra. Letaknya tak jauh dari tempat Adyra berdiri saat ini. Gadis itu terperangah. Bagaimana bisa ia tidak tahu?

Adyra langsung pergi tanpa permisi. Ia berjalan menuju kelas Andra dengan langkah kesal. Ketika sampai di sana, ia malah melihat Andra duduk-duduk santai sambil baca buku di depan kelas.

Andra terkejut, ketika buku yang ia pegang mendadak terlepas dari tangannya. Ketika ia mengangkat kepala, ia melihat Adyra. "Maksud lo apa, sih? Kenapa lo nggak jemput gue? Gue dari tadi nungguin lo di rumah tahu, nggak? Sampai mau telat! Udah sampai di sekolah, gue masih nungguin lo, karena gue pikir, lo ada apa-apa di jalan. Tapi sekarang, lo malah enak-enakan duduk di sini."

Andra mengangkat satu alisnya. "Oh, iya. Gue lupa. Harusnya kan gue jemput elo, ya?"

Adyra menatap tak percaya. "Lupa?"

Cowok itu mengangguk. "Gue buru-buru berangkat karena harus ngumpulin tugas lebih awal. Jadi, gitu deh."

"Seenggaknya lo bisa ngasih kabar, kan?"

Andra mengerutkan dahi. "Handphone gue ketinggalan di rumah. Jadi, nggak bisa kasih kabar."

Usai memberikan penjelasan yang tak masuk akal, Andra kembali merebut bukunya dari tangan Adyra, lalu berjalan memasuki kelas tanpa mengatakan apapun lagi. Kalaupun ponselnya tertinggal, dia bisa kan pinjam ponsel orang lain untuk sekedar memberi kabar. Namun, Andra malah pergi. Bahkan, cowok itu tidak berpikir untuk minta maaf karena sudah membuat Adyra menunggu lama.

•••••

Jam istirahat.

"Berapa, Bu?" Adyra menunjukkan air mineral yang dia pegang.

"Dua ribu lima ratus, Neng."

Adyra mengekuarkan sejumlah uang, lalu berjalan ke arah meja. Belum sampai Adyra menjatuhkan tubuhnya di kursi, ia melihat Aldo jalan bersama teman-temanya. Namun, ia tak melihat Andra.

"Nyari Andra, kan?" tebak Rio.

"Mana dia?" balas Adyra membenarkan.

"Tuh," Aldo mengendikkan dagu, "Lagi main basket ama Eric dkk."

"Oh, oke."

Adyra menghampiri Andra yang terlihat duduk di pinggir lapangan seraya menyeka keringat dengan handuknya. Gadis itu berniat memberikan air mineral dingin ini untuk Andra. Cowok itu pasti kehausan, pikir Adyra.

"Nih, buat lo."

Gerakannya terhenti. "Adyra?"

Gadis itu melihat Cinta. Ia sama-sama menyodorkan botol minum yang ia bawa di depan wajah Andra. Cinta yang menyadari kehadiran Adyra, langsung salah tingkah. "Sorry, Ra. Gue pernah pinjem uang sama Andra buat beli minum, makanya sekarang mau balikin."

Adyra tersenyum, "Iya, nggak papa, kok."

"Hmm, lo minum punya Adyra aja tuh, Ndra," seru Cinta.

Cowok itu mengangkat alis kanannya. "Yah, padahal gue lagi pengen minum yang manis-manis, nih." Andra mengulurkan tangannya di depan Cinta, "Gue minum punya lo aja. Katanya mau bayar utang?"

Cinta membelalakkan mata, "Tapi, Ndra...."

"Nggak papa kan, Ra?" Andra meminta persetujuan Adyra.

Gadis itu terdiam sejenak sebelum akhirnya menurunkan botol minumnya. "Iya, nggak papa, kok."

Andra tersenyum, "Tuh, kata Adyra nggak papa. Mana sini cepet! Gue haus." Enggan menunggu, Andra merebut botol minum itu dari tangan Cinta. Lalu menegaknya sampai habis.

Di sisi lain, Cinta terlihat kebingungan. Sementara Adyra meremas botol minum yang berada di tangannya. "Gue masuk ke kelas dulu, ya?"

•••••

"Ada apa, sih?"

"Apanya?"

"Lo sama Adyra, ada apa?"

Andra mengendikkan bahu. "Nggak ada apa-apa."

Cinta mendengus lalu mengambil tempat duduk di sebelah Andra. "Mau ada masalah apapun di antara lo sama Adyra, tolong selesaikan baik-baik. Adyra itu teman gue," Gadis itu menggantungkan kalimatnya. Ia terdengar mengambil napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan.

"Jangan sakitin Adyra. Dia itu orang baik."

Cinta sudah pergi, meninggalkan Andra yang duduk sendiri. Ucapan Cinta ada benarnya. Tapi, Andra enggan membenarkannya. Cowok itu menarik sudut bibirnya dengan tatapan kosong.

"Orang baik, ya?"

•••••

Dimas memejamkan mata. Seraya menggerakkan jemarinya di atas senar gitar, ia mengingat-ingat cord lagu yang sempat ia hapal di luar kepala. Ketika pintu kamar terbuka, spontan ia membuka mata.

"Udah pulang? Tumben," Dimas memetik senar gitar, "Lo nggak ada les?"

"Siapa suruh lo masuk kamar gue?"

Dimas menaikkan alis. Ia menghentikan petikan gitarnya. "Bukannya biasanya gue bebas ya, keluar masuk kamar lo?" Cowok itu mendengus geli.

"Itu kan biasanya. Sekarang beda." Andra melihat Dimas mengerutkan dahinya. "Gue nggak suka ada orang lain yang keluar masuk ke ranah pribadi gue. Bukan berarti karena kita udah kenal lama, lo bisa seenaknya."

Andra mengakhiri kalimatnya dengan senyuman penuh makna. "Lo ngerti maksud gue, kan?"

•••••

"Chat gue nggak dibales dari pagi."

Amy membulatkan mata, ia mengambil bantal di sebelahnya lalu menggeser tubuhnya mendekati Adyra. "Kok bisa?"

Adyra mengendik, "Mana gue tahu?"

"Kok bisa nggak tahu?" sambil main ponsel, Siska ikut menyahuti. "Lo pacarnya, kan?"

Adyra merebahkan badan kemudian meniup poninya kesal.

"Lo selingkuh, kali."

Adyra langsung terbangun, "Selingkuh jidatmu?" Amy cengegesan usai menerima pelototan Adyra.

"Kalo lo nggak selingkuh, terus masalahnya apa, dong?" tanya Amy.

"Mungkin karena masalah pribadi." Adyra menerka-nerka.

"Maksud lo masalah keluarga?" tanya Siska yang mendapat anggukan dari Adyra.

Amy mengetukkan jari di dagunya hingga tak berselang lama ia menjentikkan jarinya. "Coba telepon adiknya. Lo bilang, Andra punya adik cewek dan dia juga deket sama lo, kan? Coba lo tanya dia, ada masalah apa aja di rumah."

Amy mendapat acungan jempol dari Siska. "Good idea." Amy menepuk dadanya bangga.

"Oke, coba gue telepon, ya?"

Amy dan Siska langsung mengapit tubuh Adyra di sisi kanan dan kirinya. Amy juga sudah memasang kuda-kuda, untuk menguping pembicaraan. Ketika telepon sudah tersambung, Adyra menaruh jari telunjuk di bibir, membuat perintah untuk tidak bersuara.

"Halo?"

"Iya, Kak. Kenapa? Tumben telepon?"

Adyra meringis, lalu menggigit bibir bawahnya. "Kamu... sibuk, nggak?"

"Enggak, kok."

"Aku... ganggu?"

"Enggak, Kak. Aku lagi santai, nih. Emang ada apa?"

Adyra berdehem. "Boleh... tanya sesuatu?"

Siska memutar bola mata. Tinggal nanya doang aja pakai belibet segala. Kelamaan basa-basi ngabisin kuota aja, si?!

"Barusan Kak Adyra kan udah nanya. Hahaha, emang mau tanya apa?"

Adyra menjauhkan ponselnya dari telinga, lalu menutup lubang speaker dengan tangan lainnya. "Gue nggak enak, nih. Masa tiba-tiba gue nanya gituan?" Adyra mengajak Amy dan Siska bicara.

"Lo mau dapet info, nggak?" tanya Amy.

"Mau."

"Yaudah, gercep!"

"Tapi..."

"Jadi, mau lo yang ngomong apa gue yang ngomong?" Akibat tak ingin kesal berkepanjangan, Siska membuat ketegasan.

"Jangan, dong! Biar gue aja."

Bukannya langsung ngomong, Adyra malah bangkit dari kasur sambil berjalan ke pojok ruangan. Dan membuat Siska dan Amy kebingungan. "Kalian nggak boleh nguping. Awas aja!"

Amy dan Siska memutar bola mata bersamaan. "Dasar anak perawan."

Siska menyahuti cibiran Amy, "Temen lo, tuh."

"Temen lo juga."

Gantian Siska yang merebahkan badan. Ia menunggu Adyra selesai bicara sembari tiduran. Kemudian kembali memainkan game di ponselnya yang tadi sempat ia jeda.

"Gimana, Ra?"

Siska hanya melirik mereka berdua, agak malas nimbrung.

"Kok lo malah diam, sih? Ditanyain, juga!" Amy gemas sendiri.

Cewek itu melihat Adyra melempar ponsel di samping bantal dengan wajah memelas. "Dia bilang, nggak ada masalah apa-apa, kok."

Amy mengerjapkan mata berkali-kali. Adyra menghela napas sambil memeluk boneka beruangnya erat-erat.

"Udah fix, nih!"

Adyra menelengkan kepala. "Fix apa?"

"Kalo lo selingkuh--"

"Udah dibilang gue nggak selingkuh, juga! Ish!"

Amy menipiskan bibir. "Kalo lo emang nggak selingkuh, terus Andra juga nggak ada masalah keluarga, berarti..."

"Berarti apa?"

Amy malah cengegesan melihat wajah penasaran Adyra. "Nggak jadi, deh."

"Kok nggak jadi? Nyebelin amat sih! Berarti apa?! Ayo bilang!"

"Gue bilang nggak jadi."

"Harus jadi!"

"Nggak mau."

"Harus mau!"

"Apa, sih?!"

Adyra memukulinya dengan bantal agar Amy mau bicara. Namun, cewek itu tetap keukeuh tak mau melanjutkan kalimatnya.

"Berarti ada kemungkinan lain," sahut Siska yang mendapat pelototan Amy.

"Kemungkinan apa?" tanya Adyra tak sabaran.

"Ka, lo jangan aneh-aneh." Amy memperingati. Siska malah memalingkan pandangan tak peduli.

Siska menjeda game-nya lagi, kemudian meneggakkan tubuhnya menghadap Adyra. "Lo ada ngelakuin kesalahan, nggak?"

Adyra menggeleng. "Nggak... maksudnya, gue nggak tahu. Setahu gue nggak ada, kok."

Siska mengangguk mengerti. "Kalau gitu, lo harus curiga."

Adyra mengernyit, "Curiga?"

"Bisa aja dia udah bosen. Dan nggak suka sama lo lagi."

••••

Kanya mengernyit karena Adyra langsung memutuskan sambungan telepon. "Kenapa Kak Adyra tiba-tiba nanya gitu, ya?"

Tak lama, ia mengendikkan bahu. "Nggak tahu, lah." kemudian melanjutkan kegiatannya yang sempat tertunda tadi.

"Ah, susah!"

Kanya mendengus, lalu melempar rubik ke atas kasur karena kesal. Mendadak, tenggorokannya terasa kering. Secara impulsif, ia langsung melompat dari kasur, kemudian berjalan menuju dapur.

"Lho, Kak Dimas?" Matanya membulat usai melihat Dimas berdiri sendirian di balkon sambil menatap langit. "Belum tidur?"

Cowok itu tersenyum saat Kanya menghampirinya. "Nggak bisa tidur."

"Kenapa?" Gadis itu mengernyit, "Ada masalah?"

Dimas menggeleng. "Kamu sendiri, nggak tidur?"

"Sama, nggak bisa tidur juga."

Keheningan menyelimuti mereka. Dengan saling menyibukkan diri dengan lamunan masing-masing. Tak lama, sesuatu melintas di benak Kanya. Ia jadi teringat sesuatu.

"Kak Dimas, pernah suka sama seseorang, nggak?"

Kanya mendengar dengusan geli dari cowok di sebelahnya. "Pernah, lah." Dimas mengerling, "Kamu lagi naksir sama cowok, ya?"

Pipi Kanya memerah, "Ih, apaan."

"Lagian, tiba-tiba nanya gitu." Cowok itu menggodanya lagi.

Melihat Dimas terus-terusan tersenyum, Kanya jadi tak bisa menahan senyumnya lebih lama. "Emang, cowok macam apa yang udah bikin barbie kecilnya Andra ini jatuh cinta, hm?"

"Yang pasti, dia itu baik." Kanya tersenyum.

Dimas mengangkat satu alisnya, lalu melipat tangan di depan dada. "Klise."

"Semua orang yang jatuh cinta, pasti memuji-muji orang yang dia suka."

Kanya menelengkan kepala. "Enggak. Menurut aku dia itu emang baik, kok."

"Masalahnya, dia juga suka nggak, sama kamu?"

Kalimat ringan cowok itu berhasil membuat Kanya terdiam untuk beberapa saat. Kanya mencerna kembali, apa yang barusan cowok itu sampaikan. Pertanyaan singkat yang seolah terdengar seperti pernyataan menyakitkan di telinga Kanya.

"Belum." Kanya menyelipkan senyum tipisnya, membuat Dimas menoleh padanya.

"Saat ini, mungkin dia sedang berlarian ke tempat lain. Mencari sesuatu yang belum tentu bisa ia dapatkan." Kanya menghela napas. "Tapi, kalau dia udah lelah, aku bakal datang ke sana. Dan di saat itu juga, aku bakal buat jatuh cinta sama aku."

Kanya menarik sudut bibir, "Someday."

••••

"Lo nggak jemput gue lagi?"

"Gue hampir telat tau nggak, nungguin lo!"

"Kenapa lagi sekarang? Ngumpulin tugas lagi? Kenapa nggak ngabarin gue? Hape lo ketinggalan lagi?"

"Gue capek." Andra menghela napas. "Gue bangun kesiangan terus baru nyampe sekarang. Dan lo malah marah-marah."

"Soal gue nggak jemput aja dipermasalahin. Gue juga punya kehidupan sendiri." Andra menyugar rambutnya ke belakang. "Udah, lah. Gue mau ke kelas."

Adyra terperangah, melihat cowok itu benar-benar pergi ke kelas tanpa menghiraukannya. Adyra masih berdiri di tempatnya tadi. Tak bergerak sama sekali. Ia menatap punggung Andra yang semakin lama kian menghilang.

Bisa aja dia udah bosen. Dan nggak suka sama lo lagi.

Adyra mengepalkan telapak tangannya, "Lo kenapa sih, Ndra?"

••••