webnovel

Part 60 : The Truth Untold

"Andra!"

Tak jadi menyuapkan makanan, Andra menolehkan kepala ke arah suara yang ia dengar. Ia melihat seorang cewek berjalan menghampirinya dengan langkah senang.

"Kenapa?" Andra mengernyit. "Kelihatannya seneng banget."

Cewek itu tersenyum, "Coba tebak, nilai kimia gue dapat berapa?"

Belum sempat cowok itu menjawab pertanyaan yang diajukan, teman-temannya muncul menghampiri mejanya. "Andra! Ke kantin kok nggak ngajak?" tanya Adyra yang muncul di balik punggung Eric.

Gadis itu duduk di hadapan Andra, melihat cowok itu memotong pembicaraannya dengan Cinta untuk sekadar menatap Adyra. Tak lama, ia menaruh atensinya pada Cinta kembali.

"Emang dapet berapa?" Andra merespon pertanyaan Cinta.

"Tebak, dong!"

"Seratus?" tebak Andra asal.

Cinta malah diam. Ia tidak menunjukkan respon apa-apa selain tersenyum. Membuat Andra sontak membulatkan mata. "Seriusan dapet seratus?"

Cewek itu mengangguk. "Woah, gila! Gue aja nggak pernah kimia dapet seratus."

"Ini semua karena lo, tahu. Karena lo ngajarin gue kemarin, gue yang nggak pernah nyambung sama kimia aja jadi bisa." Cinta menepuk bahu Andra. "Lo emang guru yang keren."

Merasa tak diperdulikan kehadirannya, Adyra mencari perhatian. "Andra, kok nggak diterusin sih, makannya! Makan cepet, nanti keburu bel masuk."

"Ra, UH kimia dia dapet seratus, masa? Gue aja tadi cuma dapet 90," kata Andra membanggakan cewek itu.

"Nilai sembilan puluh dia bilang cuma?" Rio tak terima. "Gue dapet enam puluh aja udah alhamdulillah."

"KKM-nya 86 plis, deh! Nilai lo di bawah standar kelulusan," celetuk Amy ikut-ikutan bersama Siska di belakang membawa minuman.

"Seenggaknya nilai gue masih bagus kalo dibandingin ama si Ramon." Rio menyeruput es jeruknya. "Apaan, tuh gebetan lo. Udah nilai jeblok mulu, main bola nggak pernah becus, bisanya cuma mainin cewek doang."

"Dia bukan gebetan gue!"

"Bukannya lo bilang waktu itu kalo lagi deket sama Ramon ya, My?" Siska bertanya.

"Udah enggak!" jawab Amy sewot.

"Jelas aja udah enggak. Orang si Amy ditinggal pas lagi sayang-sayangnya, kok. Belum pacaran aja udah punya gandeng cewek lain. Gila itu kunyuk satu main dukun di mana, coba? Gue satu cewek aja kagak ada."

Mengesampingkan debatan Amy dan Rio di seberangnya, Andra menoleh pada Cinta ketika cewek itu menepuk lengannya. "Btw, makasih banget. Buat yang kemarin."

"Nggak usah makasih, kalo nggak karena usaha lo juga mana bisa dapet nilai bagus. Iya kan, Ra?"

Adyra tidak suka melihat binar di mata Andra. Cowok itu, terlihat sangat senang dengan topik pembicaraan Cinta hingga mengabaikannya. Mendadak kesal, Adyra memundurkan kursi lalu berdiri.

"Mau ke mana, Ra? Kan lo belum pesen makan?" Siska keheranan.

"Udah nggak mood. Selera makan gue ilang."

Rio nyeletuk, "Dicari dong, kalo ilang."

Usai mengatakan kalimat seperti itu, Adyra benar-benar berjalan meninggalkan kantin sendirian. Andra yang tak begitu peka dengan keadaan, bukannya berlari mengejar Adyra malah kembali melanjutkan pembicaraan. "Sampai di mana tadi, Ta?"

Di sisi lain, Aldo memilin gulungan tisu di antara ibu jari dan telunjuknya. Seraya menyalurkan perasaan kesal yang tiba-tiba muncul ke permukaan.

••••••

Bara bermain ponsel sambil berjalan. Ia memasang earphone di satu telinga. Cowok itu nampak fleksibel. Ia mengangguk-anggukan kepala sambil sesekali bersenandung.

Melihat sosok cewek berambut agak panjang duduk di bawah pohon sendirian, membuat Bara mendadak merinding. Namun, ketika ditoleh ternyata wajahnya tidak nampak sobekan atau sayatan maupun lubang di daerah punggung, Bara bisa bernapas lega. Apalagi kalau yang dia lihat wajah kek Adyra gitu. Berasa adem, kayak lihat Nisa Sabyan.

"Lo nggak ke kantin, Ra?"

Adyra tak mengeluarkan suara. Bara melepas earphone, lalu ikut bergabung duduk di sebelahnya. "Kok sendirian, sih? Kayak jomblo aja, lo. Di bawah pohon, lagi. Nanti kalo kesambet gimana? Disamperin Mbak Asih baru tahu rasa."

Adyra masih betah mengunci mulutnya. Melihat air muka Adyra yang kelihatan kecut-kecut gimana, rasanya Bara mulai sedikit peka.

"Lo lagi bete, ya? Pasti gue ganggu banget." Cowok itu mendengus agak panjang. "Ya udah, gue pergi kalo itu yang lo mau."

Bara memenuhi perkataannya. Cowok itu sudah berdiri dari posisi duduk dan sudah siap berjalan meninggalkan Adyra.

"Bara,"

Suara Adyra tiba-tiba, membuat Bara menghentikan langkahnya dan menolehkan kepala. "Hng?"

"Jangan tinggalin gue sendiri. Tapi, jangan ajak gue ngomong. Gue lagi nggak mood ngobrol."

Bara mengangguk mengerti maksud Adyra. Cowok itu kembali ke posisinya tadi. Duduk di samping Adyra sambil memasang earphone. Kali ini lengkap menutup kedua telinganya. "Oke, gue temenin lo." Bara menghargai privasi Adyra.

••••••

Ketika Cinta memasuki perpus, udara sejuk AC menyapa kulitnya halus. Cewek itu mengedarkan pandangan melihat-lihat buku yang ia cari. Seingat dia ada di rak bagian sini. Dengan wajah sumringah, ia mengamati satu-persatu judul buku di hadapannya.

"Masih senyam-senyum aja dari tadi."

Dengan sedikit terkejut, ia menoleh. "Aldo?"

Cowok itu tersenyum melihat Cinta menyapanya. Tak lama, cewek itu kembali pada kesibukannya, seraya berkutat di rak buku bagian ilmu pengetahuan. Gerakan apapun yang cewek itu ciptakan, sama sekali tak luput dari pandangan Aldo. "Lo itu seneng karena dapet nilai bagus, atau karena hal lain?"

Cinta mengernyit mendengar pertanyaan Aldo. "Maksudnya?"

Aldo tak langaung menjawab. Ia diam beberapa saat sambil sok-sok'an membaca buku di tangannya.

"Misal, lo seneng karena akhir-akhir ini mulai deket sama Andra, mungkin?"

Cinta mengulurkan tangan, berniat mengambil buku di atas kepalanya. Namun, gerakannya terhenti udara secara tiba-tiba. Air muka Cinta yang semula terlihat senang, kini sudah tak lagi kelihatan.

"Gue nggak ngerti," aku Cinta.

Aldo mengangkat sudut bibir," Gue tahu, lo ngerti kok, maksud gue apa."

Cinta menatap manik mata Aldo. Hanya sebentar, hingga kemudian cewek itu kembali menyibukkan diri seolah-olah tak mau diganggu. Namun, Aldo masih penasaran. Ia mengikuti kemanapun cewek itu pergi. Hingga ketika Cinta mulai jengah, ia mengambil asal buku di depannya, lalu membacanya sambil duduk di sebuah kursi.

Bukan Aldo namanya kalau cepat menyerah. Ia menarik kursi di hadapan Cinta, tanpa memutus sedikitpun atensinya pada cewek itu. "Lo masih suka sama Andra, kan?"

Tak bisa dipungkiri, tubuh cewek itu menegang. Aldo bisa dengan jelas melihat itu, walau Cinta berusaha menutup-nutupi ekspresi wajahnya. Aldo menghela napas, "Sampai kapan lo mau terus-terusan kayak gini? Andra nggak pernah suka sama lo. Apalagi sekarang, ada Adyra di kehidupan dia. Lo nggak pernah berpikir buat ngerusak hubungan mereka, kan?"

"Lo ngomong apa, sih? Gue nggak ngerti kenapa tiba-tiba lo ngomongin tentang Andra ke gue." Cinta memotong pembicaraan cowok itu. "Dan lagi, soal gue suka sama Andra. Emang tau apa lo sama perasaan gue? Mau gue masih suka sama dia atau enggak, itu bukan urusan lo, kan?"

Cewek itu menutup bukunya kasar, kemudian berdiri berniat pergi. "Terserah. Lo mau berpikir seperti apa. Satu hal yang perlu lo tahu, kesempatan itu nggak datang dua kali. Sekali lo ngelakuin kesalahan yang sama, nggak akan mudah buat memperbaiki semuanya lagi."

Aldo berjalan, menghampiri cewek itu dan berdiri di hadapannya. Sejurus kemudian, ia tersenyum.

"Lo harus inget, siapa lagi orang yang ada buat lo saat semua orang pergi ninggalin lo.."

Cowok itu berbisik, "...kalau bukan Adyra?"

•••••

Kanya memutar kenop pintu lalu memasuki kamar Andra. Ia mencari-cari sesuatu, namun tak kunjung menemukannya. Ketika gadis itu teringat sesuatu, ia langsung mengambil ponsel.

"Kenapa?"

"Kak Andra naruh notebook di mana? Aku mau pinjam sebentar!"

"Buat apa?"

"Udah jangan banyak tanya, cepet kasih tahu di mana notebook-nya? Kalo nggak, aku berantakin nih, kamarnya!"

"Ada di meja belajar."

"Nggak adaaa."

"Ada! Cari yang bener dong, makanya! Udah, jangan telepon lagi, gurunya udah masuk!"

Penggilan terputus.

Kanya keki setengah mati. Abangnya semata wayangnya itu emang benar-benar ngeselin. Orang jelas-jelas di meja belajar nggak ada notebook juga, masih nyalahin Kanya yang nggak bener nyarinya. Dia kata mata Kanya juling apa? Notebook segitu kagak kelihatan?

Melihat benda putih elektronik itu teronggok di bawah bantal single sofa di pojok ruangan, Kanya mendengus sekeras-kerasnya. Kalo ini notebook nggak dibeli pakai uang, sudah Kanya banting ini sekalian.

Gadis itu duduk menyila di kasur Andra. Sambil menyalakan notebook, ia meraba permukaan ranjang untuk menemukan bantal. Namun, tangannya tak sengaja menyentuh sesuatu. Benda itu bukan bantal karena teksturnya yang padat. Ketika ia pungut, ternyata hanya sebuah buku. Namun anehnya, kenapa cowok sangar seperti Andra menyimpan buku diary cewek di kamarnya? Di bawah bantal pula. Buat apa, coba?

"Ini apa, sih?"

Karena penasaran, Kanya membukanya. Ekspresinya langsung berubah ketika halaman pertama terbuka. Ada sebuah foto, yang menampakkan sepasang lelaki dan perempuan yang mengambil selca. Kanya bisa melihat dengan jelas wajah kedua orang itu. Gadis itu langsung bungkam. Kosakata yang dia punya seolah menghilang entah kemana. Dengan tatapan tak percaya, Kanya menelan saliva.

•••••

Sebenarnya, hari ini tidak ada les tambahan. Namun, mereka tetap berkumpul di rumah Adyra untuk membahas materi-materi kemarin sebelum tiba ulangan harian. Mereka membagi diri mereka menjadi dua kelompok. Anak cewek berada di ruang tengah sementara anak cowok di ruang tamu. Itu semua kemuan Aldo dan Rio. Mereka bilang, mereka harus belajar dengan serius. Nggak boleh ada yang pacaran, katanya.

Harusnya Adyra tersindir. Karena cuma dia dan Andra yang pacaran di antara teman-temannya yang lain. Namun, kayaknya nggak pas banget waktunya buat kesindir. Karena bahkan sampai sekarang, Adyra masih kesal dengan sikap Andra yang tadi. Gimana nggak mau kesal, coba? Dia merasa bersalah aja kagak, gimana mau minta maaf?

"Ra, gue numpang ke toilet, ya?"

Adyra melirik Cinta malas. Gadis itu hanya berdehem singkat merespon pertanyaannya.

"Tapi, boleh minta anterin, nggak?" tanya Cinta. "Soalnya, gue nggak tau toiletnya di mana."

Adyra mendengus singkat. "Amy temein dia ke toilet, My!" Adyra teriak-teriak.

"Astaghfirullah, Ya Allah.. Nggak usah teriak-teriak kali, Buk! Gue itu di sebelah lo, dan suara lo itu melengking di depan kuping gue!" Adyra mengabaikan keluhan Amy sambil menyibukkan diri.

Tak lama, Siska menoel-noel lengannya. Membuat Adyra membuat Adyra menelengkan kepala. "Bagi kertas hvs lagi, dong! Buat hitung-hitungan, nih."

"Di dalam map tadi kan ada."

"Udah abis, Ra."

Adyra memutar bola mata. "Lo tuh ya, buang-buang kertas tahu, nggak? Mubadzir."

"Ya maap, atuh." Siska mencebik.

"Bentar, deh. Gue ambilin buku bekas aja. Siapa tahu masih ada."

Adyra berjalan menghampiri rak buku miliknya. Tidak cukup besar sih, memang. Namun, cukup untuk menyimpan banyak buku pelajaran yang dia punya ditambah lagi koleksi novel. Tak butuh waktu lama, Adyra sudah menemukan benda yang dia cari. Tapi, entah kenapa dia merasa ada yang ganjal. Seperti ada yang hilang. Sejurus kemudian, ia membulatkan mata, dan langsung pergi menghampiri teman-temannya.

"Kemarin ada yang pergi ke rak buku gue, nggak?"

"Enggak, kenapa? Buku lo ada yang hilang?" tanya Siska. Adyra mengangguk.

"Buku apa emang?" giliran Aldo yang bertanya.

"Emang itu buku penting, ya?" sahut Rio ngeselin.

"Kalo nggak penting ya ngapain dicari, Dodol." Amy gemas sendiri.

Andra mengamati mimik wajah Adyra. Gadis itu terlihat sangat gelisah. Andra jadi penasaran dengan isi buku itu. Kemarin, ia tak sempat melihatnya karena Eric—yang notabene sebagai ketua kelas memberitahu jika ada tugas Biologi dadakan dan harus segera diselesaikan. Jadi, ia lebih mencondongkan perhatiannya pada tugas sekolah daripada hal lain.

"Lo lupa naruhnya di mana kali, Ra." Cinta ikut-ikutan menyahuti.

Adyra mencoba mengingat-ingat kembali. Namun, ia masih tak mendapatkan apapun. Adyra tak pernah lupa jika menaruh sesuatu. Ia selalu ingat barang apapun yang ia taruh dengan tangannya sendiri. Kalau buku itu hilang, rasanya tidak mungkin. Kecuali, kalau memang ada yang sengaja memindahkannya atau... malah mengambilnya. Adyra mengernyit. Tapi siapa?

•••••

Dimas meminum jus mangga di hadapannya. Sambil bertopang dagu, cowok itu memandangi ponsel. Dimas menghela napas. Ia menaruh punggungnya di sandaran kursi, seraya memejamkan matanya sejenak. "Kenapa Adyra nggak pernah telepon gue lagi?" katanya bermonolog.

Kanya menghentikan langkahnya, karena tak sengaja mendengar ucapan Dimas. Gadis itu mematung sejenak di balik dinding sambil mengamati cowok itu.

Dimas mengacak rambutnya kesal. "Apa gue telepon aja kali, ya?"

"Kak Dimas!"

Dimas sedikit terkejut melihat Kanya tiba-tiba muncul di balik tembok. "Ada apa?"

"Temenin Kanya nonton film, dong! Daripada main hape terus, nggak bosen?"

Dimas berdehem. "Emangnya nggak bisa nonton sendiri, ya?"

Kanya merengut. "Yah, kok gitu? Biasanya Kak Dimas kalo diajak nonton pasti mau. Jadi sedih."

"Tapi..."

"Beneran nggak mau, ya?"

Dimas menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ia jadi merasa bersalah. "Yaudah deh, iya. Aku temenin nonton."

"Serius?!" Kanya tersenyum senang. "Gitu, dong! Aku punya film horor."

"Kayak berani aja nonton film horor," kata Dimas meremehkan.

"Berani, lah!" Kanya menepuk dadanya bangga.

Dimas mendengus geli. Melihat sifat Kanya yang masih seperti anak kecil, membuat Dimas ragu kalau gadis itu sudah tumbuh dewasa dengan badan setinggi ini. Rasanya, Kanya masih seperti anak kecil, yang suka nangis kalau mainannya diambil.

Akibat larut dalam pikiran, Dimas tak sadar jika Kanya sudah menariknya pergi. Gadis itu menarik tangannya--ralat, lebih tepatnya menggenggam tangannya. Ketika telapak tangan lebarnya mengisi ruang-ruang kosong di telapak tangan mungil Kanya, ia merasakan sesuatu. Rasanya hangat. Bukan hangat di tangannya. Namun, di bagian lain. Ketika ia menyentuh dadanya dengan tangannya yang bebas, Dimas merasakan jantungnya berdebar dengan ritme yang berbeda dari sebelumnya.

•••••

Andra meliukkan badan. Usai membuka kenop pintu kamar, cowok itu melempar ransel ke ranjang dan membuang sepatunya asal. Andra duduk, lalu memijit pelipis karena kepalanya terasa pusing. Ia memungut botol minum di atas nakas, namun sejurus kemudian ia mendesah karena tak menemukan air. Tenggorokannya kering. Tapi, ia sangat malas kalau disuruh berjalan keluar kamar.

Andra mengacak rambutnya. Mau tak mau ia harus keluar kalau tidak mau mati karena kekeringan. Ketika cowok itu sudah mengumpulkan niat untuk berdiri, ia berjalan malas menuju pintu. Mendadak, kakinya terasa menginjak sesuatu. Andra menunduk dan menemukan sebuah kertas foto yang teronggok di atas lantai. Ia pikir, itu foto miliknya yang tak sengaja keluar sendiri dari pigora.

"Sweet Impression?" kata Andra membaca tulisan di balik foto itu.

"Bukan foto gue, ini." Andra mendengus. "Lagian sejak kapan gue pakai ngasih caption segala di foto cetak? Dikira instagram? Hahaha, alay nih, orang."

Cengegesan Andra tak berlangsung lama. Selang beberapa saat, air mukanya berubah memerah. Ia terperangah. Mendadak, semua saraf yang ada di tubuhnya terasa kebas seketika. Tangannya menegang dan tubuhnya enggan bergerak. Yang tersisa sekarang, hanya deru napas yang terdengar berantakan. Andra berhasil menangkap wajah seseorang dalam bingkai foto itu.

Andra membanting bantal, dan mengacak-acak ranjangnya sendiri hingga seprai dan selimutnya berceceran di atas lantai. Ia terlihat mencari-cari sesuatu di sana. Tumpukan buku-buku ia singkirkan, laci-laci meja belajar ia buka paksa. Namun, tidak ada yang ditemukan. Tak sengaja, tatapannya jatuh pada sepasang sepatu yang tergeletak di lantai, tepat di bawah ranjang.

Andra berhasil menemukannya.

Dengan satu helaan napas panjang, Andra sudah memutuskan. Tangannya bergerak membuka halaman itu satu-persatu, dengan napas menderu. Ia membacanya teliti, seolah tak ingin terlewat satu kata pun dari sana. Setiap halaman yang ia baca, semakin dadanya berdegup kencang. Tiba-tiba, tangannya terkulai. Kedua matanya ia pejamkan dalam-dalam. Andra menciptakan keheningan. Menciptakan kesunyian. Malam yang mengesankan. Membuat seulas senyum muncul di wajahnya. Senyum manis yang lebar, namun nampak menyakitkan.

"Jadi ini yang selama ini lo sembunyiin dari gue, Ra?"

••••