webnovel

Part 6 : Secarik Kertas di Bawah Hujan

-Adyra POV-

Andai waktu bisa kugenggam seperti yang kumau, mungkin aku bisa mengulang perihal kejadian masa-masa senja itu bersama kamu. Di bawah langit jingga yang sendu ini, aku mulai merindumu lagi. Entahlah sudah berapa kali aku melakukannya, aku bahkan tidak ingat. Detik demi detik waktuku seolah habis, terkikis bengisnya belati rindu.

"Adyra."

Aku mendongak, menatapmu dengan tersenyum. Rengkuhan ringanmu di bahuku waktu itu, membuatku sedikit sulit bergerak. Tapi aku mengerti, kamu hanya mengekspresikan perasaanmu padaku saat itu. Aku senang. Aku bahagia. Kamu seolah membuatku menjadi satu-satunya perempuan yang kamu perlakukan seperti itu selain ibumu. Dan aku sangat bangga menjadi kekasihmu waktu itu.

"Kalau suatu saat aku pergi, apa yang akan kamu lakukan?"

Senyumku memudar, sejurus setelah bibirmu menceloskan kalimat itu seringan kapas. Kamu tidak tahu betapa tercekatnya hatiku saat perkataan itu kamu tujukan padaku. Aku hanya diam tanpa kata. Tanpa memandangmu. Dan melepaskan rengkuhan bahumu dengan paksa.

Aku merasakan keterkejutanmu waktu itu. Aku tahu kamu menghela napas. Kamu hanya tersenyum singkat menanggapi perubahan ekspresiku.

"Diam bukan sebuah jawaban, Ra." katamu.

Aku memandangmu tak suka. Memasang mimik wajah yang jelas, agar kamu tahu jika aku tidak suka kamu mengatakan hal seperti itu.

"Aku bakal benci sama kamu" emosiku seolah meledak detik itu.

Kamu benar-benar membuatku geram. Untuk apa menanyakan hal yang akan membuat aku ragu? Atau kamu memang sengaja membuatku ragu tentang perasaanku? Kamu ingin mengujiku? Atau apa?

"Kalau emang gitu, lakukan."

Aku membelalakkan mataku kaget. Siapa yang ada di hadapanku saat ini? Apa ini benar-benar kamu? Atau aku hanya sedang bermimpi saat ini? Aku masih memandang bola matamu yang tengah menatapku lekat. Berharap mendapatkan ekspresi humor yang selalu kamu lakukan untuk sekedar menggodaku dan membuatku marah.

Tapi hasilnya, NIHIL.

Kamu sama sekali tidak bercanda. Sorot matamu memang mengisyaratkan jika kamu benar-benar serius mengatakannya. Satu tahun bersamamu membuatku hafal setiap detik ekspresi matamu.

"Dimas, aku nggak serius ngomong gitu."

"Kenapa?"

"Kenapa apanya?!" sejenak aku membentuk garis-garis kerutan di wajahku, seolah menunjukkan tatapan curigaku padamu.

"Jangan bilang kamu mau ninggalin aku."

Sungguh, bukan aku yang berniat mengatakannya.

Pada awalnya aku hanya ingin diam, tak ingin menghiraukan pembicaraan konyol itu. Tapi hatiku? Dia seolah berontak. Bibirku menceloskannya tak sengaja, seolah tengah bersengkongkol dengan kata hatiku. Aku merasa aneh. Tapi kurasa kamu tidak. Buktinya, kamu masih bisa mengulas segaris senyum saat ini.

"Bukan salah takdir kalau pada akhirnya, aku jatuh cinta sama kamu. Bukan salah takdir kalau pada akhirnya, Tuhan tidak menggariskan kita selalu memiliki banyak waktu untuk kita habiskan bersama kayak gini."

Aku masih menyimakmu lekat.

"Jika suatu saat takdir menyuruh aku pergi, itu berarti Tuhan tidak memilihku. Tapi Dia akan menggantinya dengan suatu hal yang lebih baik daripada aku."

Aku menggenggam tanganmu erat, hingga satu tetes air mataku jatuh tanpa sengaja. "Takdir akan membiarkan kamu tetap di sini. Aku yakin."

Kamu tersenyum, menyambut pelukanku dengan lembut. Aku rindu dengan pelukan yang sering kali kamu berikan padaku waktu itu. Aku rindu dengan ibu jari yang selalu mengusap lembut air mataku.

Aku rindu kamu, Dimas.

Masih rindu..

Bahkan sampai saat ini..

'Ckrek!!'

Bola mataku terkesiap saat secercah cahaya flash yang lewat tanpa permisi membuat kelopak mataku mengerjap kaget.

Dasar, nggak sopan!

Aku menatap kedua tangan Nando yang telah menurunkan kamera digitalnya dari balik matanya. Dia tersenyum tak berdosa setelah melihat ekspresi terkejutku yang aku jamin konyolnya setengah mati.

Dia berjalan menghampiriku dengan langkah lebar, lalu mengambil posisi duduk tepat berada di hadapanku.

"Dimas lagi?"

Aku menghela napasku berat. Tebakan yang tepat. Apa aku terlihat seperti seorang gadis yang patah hati banget, ya?

"Dimas itu seperti magnet. Meskipun sudah aku tendang jauh, dia malah semakin menarikku mendekat." Kutopangkan daguku menatap cowok yang memakai topi hitam terbalik itu lekat. "Aku kelihatan menyedihkan banget ya, Kak?"

Kak Nando mengangkat sebelah alisnya, lalu tersenyum singkat. "Kalau fase jatuh cinta dan mencintai itu bisa sesingkat itu, kenapa fase melupakan malah terasa serumit ini?" aduku memelas.

"Gadis yang malang."

Kuacungkan sebuah garpu besi yang terkepal di telapak tanganku ke arahnya. Ekspresi anehnya itu membuatku semakin muak. Bisa-bisanya dia mengejekku dalam keadaan seperti ini.

Tawanya meledak untuk beberapa detik. Hingga beberapa saat setelahnya, dia mengacak rambutku. "Jangan kelamaan melankolis gitu. Ayam tetangga gue kemarin abis mati gara-gara putus cinta."

"Sialan lo, Kak."

Hal yang paling aku sukai saat mendatangi sebuah kafe yang mengantarkanku bertemu denganmu dulu. Di satu sisi, mungkin aku tidak bisa mengobati kerinduanku kepada kamu yang pergi meninggalkanku jauh entah kemana.

Aku tidak bisa berbohong jika aku masih menunggumu di sini. Berharap kamu berdiri di hadapanku dengan secangkir hot chocolate seperti biasanya.

Tapi di sisi lain, aku nyaman berada di sini. Karena seorang cowok yang-suka memakai topi dengan keadaan terbalik ciri khasnya itu-akrab kusapa Kak Nando. Dia anak pemilik kafe ini. Saking seringnya aku menghabiskan waktu bersama Dimas dulu, aku jadi mengenalnya.

Dia teman baik Dimas.

Usianya dua tahun di atasku. Aku suka berbicara banyak hal dengannya, terlebih tentang Dimas.

"Manggung satu lagu, yuk?"

Manggung itu, maksudnya nyanyi di panggung mini kafe yang terletak di samping mini bar. Aku biasa manggung di sana dengan iringan gitar akustik Kak Nando yang sering aku lakukan sekedar untuk menyalurkan bakat dan emosi yang ingin terlampiaskan.

Itu, ide briliant Nando.

Daripada nangis dari pagi sampai malam yang cuma bisa bikin mata bengkak kayak panda, mending nyanyi di sana dengan tujuan emosi tersalurkan dan bonusnya bisa menghibur orang lain juga.

"Sekarang, lagi nggak bisa."

"Kenapa?"

"Ada yang bakal manggung 5 menit lagi."

"Siapa? Karin?" kutanya.

"Bukan. Dia anak baru. Cowok sih."

"Cowok?"

"Ya, lumayan ganteng lah. Walaupun masih lebih ganteng gue, sih."

Kuputar bola mataku malas. Terkadang sifat percaya dirinya yang terlalu tinggi itu membuatku mual dalam sekejap. Untung, hati nuraniku masih berfungsi dengan baik sampai sekarang. Kalau tidak, pasti sudah kutendang jauh muka tengilnya itu sampai Benua Antartika. Biar jadi makanan beruang kutub sekalian.

"Nah, itu dia."

Ujung dagunya menunjuk ke arah panggung yang sudah ditempati seorang cowok yang mengenakan sebuah kupluk berwarna hitam seperti penjaga villa di daerah Bandung kebanyakan.

Suara petikan gitar akustiknya terdengar indah mengalun melewati gendang telingaku. Aku menatapnya terkejut bukan main. Bukan hanya karena permainan lembut senar gitarnya.

Melainkan, suara itu...

•••

Seorang cowok yang memiliki gaya rambut berantakan itu membiarkan sepatu converse-nya yang menapak jinjit di atas pijakan single chair itu berayun mengikuti hembusan angin yang menyejuk. Alunan melodi akustik yang menggelitik seolah menggugah suasana bahagia yang berasal dari hati.

Dia berani bertaruh, jika semua orang yang menangkap melodi akustiknya itu akan membatu di tempat karena terbawa suasana.

Dia sangat ahli dalam hal ini. Sangat mahir dalam mengendalikan suasana hati dan emosi seseorang yang berada di dekatnya. Bahkan hanya dengan sekedar petikan jari saja.

Matanya terpejam, menikmati suasana hati yang membuatnya menarik seulas senyum.

Sosok cowok yang katanya dingin, kaku, tak tersentuh itu baru saja mematahkan argumen-argumen negatif tentang dirinya. Sayangnya, mereka yang berasumsi seperti itu sedang tidak menangkap basah senyum menawannya yang melelehkan.

Sorot bahagia yang terpancar jelas dari mata tajam yang selalu terkesan mengintimidasi itu, sama sekali tidak dapat disembunyikan oleh image-nya sebagai seorang Pangeran Frozen yang dijuluki oleh teman-teman seangkatannya.

Riuhnya suara tepuk tangan mulai menggema memenuhi setiap sudut ruangan itu. Sudut bibirnya makin tertarik lebih lebar hingga membuat semua orang yang berada di sana menjadi terpesona.

Dia sedikit membungkukkan badannya sebagai tanda terima kasih atas respon yang diterimanya. Cowok itu melangkah pergi menuju mini bar yang terletak tepat di sebelah tempatnya berdiri tadi.

Dia menaruh gitarnya di samping tubuh semampainya. Cowok itu tersenyum, kepada sang pemilik kafe. "God job, Bro! Penampilan lo tadi, keren banget!"

Dia menyambut hangat telapak tangan sang pemilik kafe yang mengajaknya toast ala cowok, seperti saling menubrukkan dada.

Cowok itu sedikit menarik sudut bibirnya, lalu mengambil posisi duduk tepat di sebelahnya. "Biasa aja, kok. Nggak usah berlebihan gitu."

Nando mengambil segelas green tea ice dari karyawannya, lalu menyodorkannya kepada sosok di sebelahnya. Cowok itu menerimanya dengan senang hati. Minuman dingin itu seolah menyejukkan kerongkongannya yang mulai mengering karena kehausan selepas bernyanyi tadi. Dia meminumnya rakus, hingga tandas tanpa tersisa.

"Gue rasa, elo punya darah keturunan musisi. Gue bener nggak?"

Cowok itu meliriknya sekilas, lalu membalasnya dengan tersenyum. Dia rasa, senyum saja sudah cukup untuk menanggapi arah pembicaraan yang seolah tidak menarik baginya.

Hingga beberapa detik kemudian, senyumannya telah raib. Lenyap entah kemana perginya.

Dia kembali menjadi sosok cowok yang dikenal dengan sikap dinginnya. Sorot mata datarnya muncul kembali sejurus dengan suasana hatinya.

Benar-benar sulit ditebak.

"Gue cabut dulu, ya? Udah mau hujan."

"Oke."

Cowok itu mempercepat langkah kakinya menuju sebuah tempat dimana motornya terparkir.

Dia harus bergegas pergi sebelum hujan tiba. Bukannya dia takut akan sakit jika terkena rintikan air hujan yang deras berlama-lama. Hanya saja, dia malas menghadapi hujan. Cowok itu tidak menyukai hujan. Baju jadi basah. Bikin repot, katanya.

Dia berjalan menuju pintu keluar dengan langkah lebar. Bersama sebuah gitar yang terbalut kain seperti tas selempang yang menggantung di salah satu bahunya. Cowok itu merogoh saku celana jeans-nya, berharap bisa menemukan kunci motornya di sana.

Tapi sayangnya, zonk.

Yang dia temukan hanyalah sebungkus rokok, sebuah ponsel, korek api gas, gumpalan kertas coretan lirik lagu buatannya, dan sebuah dompet.

Cowok itu mengacak rambutnya gusar. Dia terpaksa kembali ke kafe tersebut untuk mencari kunci motornya. Siapa tahu, tertinggal di salah satu meja di sana.

Dengan sesekali berjalan sambil menunduk, cowok itu menajamkan pandangannya. Siapa tahu dia menemukan kunci motornya yang jatuh di sekitar sini.

"Itu dia!"

Dia menyambar kasar kunci motornya yang terjatuh hanya sekitar beberapa langkah dari tempatnya berdiri.

Cowok itu membalikkan tubuhnya, berniat kembali ke tempat parkiran motor di samping kafe. Dia hendak melanjutkan langkah kakinya yang sempat terhenti. Hingga 0,8 detik sebelum kakinya melangkah, tubuhnya menegang.

"Andra?"

Telapak tangannya mengepal menggenggam kunci motornya. Sejenak tubuhnya terpaku. Dia sangat mengenal suara itu.

Suara feminin.

▪▪▪

Cowok itu mempercepat langkah kakinya entah menuju kemana, Adyra tidak tahu.

Gerimis hujan sudah merintik mengenai permukaan kulitnya. Dengan suasana jalan yang ramai akibat padatnya segerombolan para pekerja yang hendak pergi kembali ke rumah dengan menuju halte di depan kafe itu, membuat cowok itu lebih leluasa menghindari gadis itu.

Iya, gadis itu.

Adyra bergerak melangkah mendekatinya. Dia sangat yakin jika cowok itu Andra. Meskipun gaya pakaian rapi yang dikenakannya sangat berbanding terbalik dengan karakter Andra yang terkesan 'masa bodo' kalau urusan penampilan.

"Akkhhhh!!"

Adyra membelalakkan matanya kaget. Sebuah motor melaju cepat hingga hampir menabrak cowok itu.

Gadis itu melihat darah. Cairan merah pekat itu mengalir di lengan kanannya yang membentuk segaris baret. Sorot mata Adyra menyiratkan kekhawatiran, saat cowok itu terlihat kesakitan. Gadis itu mendekatinya, berusaha melihat keadaan lengannya. Tapi sejurus kemudian, bahu kananya seolah terdorong.

"Mbak, gimana sih?! Kalau mau jalan itu lihat-lihat dong, Mbak! Saya itu buru-buru! Mbak, nggak lihat saya bawa bayi? Nanti kalau anak saya kehujanan gimana?"

"Maaf, Bu. Saya nggak sengaja."

Adyra membantu memunguti barang belanjaan seorang ibu-ibu yang tidak sengaja terjatuh dan berantakan di aspal karenanya.

Ibu itu melengos, meninggalkan Adyra tanpa sepatah katapun. Sementara gadis itu, dia memilih tidak peduli dan melanjutkan langkah kakinya yang sempat terhenti.

"Sial!"

Itu bukan umpatan yang keluar dari bibir Adyra. Melainkan seorang anak cowok yang berusia sekitar 13 tahunan, yang masih mengenakan seragam SMP. Dahinya mengkerut. Masih bocah, tapi udah fasih nyumpah serapah kayak gitu. Batinnya.

Pandangannya diedarkan ke seluruh penjuru kerumunan ini. Tapi, lensa matanya tak menemukan seorang cowok yang dikira Andra itu.

Bahunya meluruh, bersamaan dengan helaan napasnya. Dia tidak beruntung kali ini.

"Sial!" katanya mengikuti cara bicara anak tadi.

Untuk detik ini, dia menyetujui kata bocah SMP yang tak sengaja ditemuinya tadi. Mungkin kata 'sial' sangat tepat untuk menggambarkan perasaannya saat ini.

Rintikan air hujan semakin deras setiap detiknya. Gadis itu berbalik arah, berniat pulang dan segera meninggalkan tempat ini sebelum turun hujan deras.

Flat shoes cokelat mudanya mengganjal, terasa seperti menginjak sesuatu. Adyra menunduk, dan mengambil gumpalan kertas hvs yang berada tak jauh dari kakinya.

Kertas ini sedikit basah. Mungkin karena terkena rintikan hujan yang menghantam lembaran kertas itu.

"Kertas apa, sih?" Adyra penasaran. Lalu mulai membukanya pelan, berusaha tak merusak atau bahkan merobeknya.

Sejenak, gadis itu berpikir. Hingga segaris senyum terlukis jelas di bibirnya.

"Gotcha!"

▪▪▪