webnovel

Part 58 : Seberang Telepon

"Oi, nyontek kimia, dong!"

Andra mendecih. "Katanya lo lebih pinter dari gue? Ngapain sekarang minta contekan?"

"Eh, Mamat. Ini bukan saatnya becanda tau nggak sih, lo! Urgent ini! Urgent! Cepet mana sini buku lo, elah!"

Andra memukul tangan Bara yang dengan kurang ajarnya merogoh tas ranselnya. "Mau ngerampok lo?! Nggak sopan!"

Walau sambil ngomel, pada akhirnya Andra menyerahkan buku tulis kimianya ke Bara. Ia melihat cowok itu menyalin dengan ahlinya. Cepet banget, kek naik jet!

"Motor lu baru, ya?" celetuk Bara usai menyalin dan menutup bukunya.

"Enggak."

"Bohong 'kan lo?"

"Dibilang enggak, juga. Ngeyel amat, sih?!"

"Lagian sih, kemarin gue lihat lo pulang ama Adyra nggak pakek motor yang biasa." Bara menyandarkan punggungnya di kursi.

Andra mengernyit. "Kemarin gue nggak nganter Adyra pulang. Dia naik uber."

"Lah? Mana ada uber pakek motor sport?" Bara mendengus. "Kalaupun ada, kenapa itu abang-abang nggak pakek jaket uber, coba?"

"Lo yakin?"

Bara agak terkejut ketika Andra menarik bahunya agar Bara mau menatapnya. Ketika tatapan mereka bertemu, Bara melihat ekspresi serius di wajah Andra. "Beneran bukan elo, ya?"

Bukannya menjawab, cowok itu malah beranjak meninggalkan Bara. "Diajak ngobrol malah pergi. Nggak sopan!"

••••

Usai mendengar bel istirahat, Adyra berinisiatif mengemasi barang-barangnya dari atas meja. Melihat Amy duduk di sebelahnya, Adyra berniat mengajaknya ke kantin. Namun, tubuhnya tersentak ketika seseorang menarik tangannya.

"Apa? Kenapa?"

Itu Andra. Wajah cowok itu terlihat serius. Tangan Adyra pun masih dicekal olehnya. "Ada apa, sih?"

Selang beberapa detik, ia mengeluarkan suara. "Ke kantin, yuk?!"

Adyra menipiskan bibir. "Aduh, aku kira ada apa tahu, nggak? Bikin orang kaget aja."

"Udah, yuk, cepet! Laper, nih!"

Di kantin.

"Andra! Rekomendasi novel fantasi, dong! Lagi pengen baca genre baru, nih." Adyra menyedot es teh.

"Ngapain baca novel, sih? Bikin ngantuk aja. Mending belajar, lebih bermanfaat. Hapalin rumus identitas trigonometri, hukum kirchoff, pengaruh subsrat pada enzim, ama penyetaraan redoks metode setengah reaksi dan perubahan biloks," jawab Andra dengan lancarnya usai menelan sesuap nasi.

"Ih, tapi 'kan aku juga butuh hiburan! Mual tahu, dijejelin pelajaran segabrek kek gitu." Adyra mengerucutkan bibir.

"Lihat topeng monyet juga hiburan."

Alis Adyra terangkat sebelah, "Emang kamu mau jadi monyetnya?"

Mendengar Adyra bicara seperti itu, membuat Andra yang hampir menyuapkan nasi malah tidak jadi.

"Udah lah, cari temen ngobrol yang lain aja. Ngobrol sama kamu nggak asik." Usai mengatakan seperti itu, Adyra pergi meninggalkan Andra sendiri. Cowok itu mendengus.

"Kalo mau pergi, seenggaknya bayar dulu, dong!" kata Andra sedikit berteriak. "Main kabur aja."

••••

Melihat semua orang memasuki pagar, Cinta berhenti. Ia memandangi rumah di depannya dengan tatapan ragu. "Ta! Ngapain masih di situ? Ayo, masuk!" teriak Adyra sambil melambaikan tangan ke arahnya. Melihat Cinta yang masih diam saja, gadis itu berinisiatif menarik tangan Cinta. Diikuti Eric yang berjalan di belakangnya.

"Baru pertama kali gue masuk ke rumahnya Andra," celetuk Amy. "Bagus juga." Cewek itu melirik Andra.

Bara memutar bola mata. "Biasa aja, tuh. Masih bagus rumah gue."

"Siapa?" tanya Andra.

"Gue, lah!"

"Yang tanya?"

"..."

Seketika, Bara merasa menginjak kotoran sapi.

"Wohoo! Menggoda sekali itu stick PS!" Rio berniat menyentuh benda itu, namun Adyra memukul tangan cowok itu lebih dulu. "Kita ke sini mau belajar, Yo. Bukan main."

Rio mencebik, "Iya, Bundaaa."

"Adik lo yang cantik itu mana, Ndra?" tanya Aldo sembari mengikuti Andra menaiki tangga.

"Nggak ada."

"Masa, sih? Nggak usah bohong, deh."

"Emang nggak ada, kok." Andra mendengar Aldo mendengus. "Sekalipun ada juga nggak akan gue suruh keluar. Bahaya, banyak buaya."

Bara berdecih mendengarnya. "Termasuk elo, ya?"

Akhirnya, mereka sampai di ruang tengah lantai dua. Tempat ini, biasanya Andra gunakan untuk bersantai bersama keluarga. Selain cukup luas, suasananya juga enak dipandang, karena tak banyak terdapat furniture yang membuat ruangan terlihat penuh.

"Udah datang?"

Sosok lelaki menyambut kedatangan mereka. Membuat kening beberapa orang mengernyit seketika. "Siapa, Ndra?" tanya Rio mewakili pertanyaan hampir semua orang.

"Teman gue, dari Jogja. Lagi libur kuliah, makanya main ke sini. Namanya Dimas."

Cowok yang barusan dikenalkan Andra itu tersenyum ke semua orang di depannya. "Gue ke sini cuma mau ngambil laptop, ketinggalan di sofa."

Andra mengangguk, "Ambil aja."

Usia Dimas pergi, Amy tak bisa menyembunyikan keterpanaannya. "Ganteng, Kaaa!" gemas Amy mencubit Siska. "B aja," ujar Siska usai mengaduh.

Siska mengangkat satu alisnya, seraya menatap punggung tegap yang sudah menjauh itu dengan tatapan datar. "Harus banget ya, ketemu dia lagi?"

Bara sekonyong-konyong menoleh, "Lo kenal?"

Siska menggeleng, "Tapi gue pernah guyur muka dia di depan banyak orang."

Bara membulatkan mata. "Kok bisa?"

Siska ikut menoleh, menatap Bara sebentar, dengan tatapan datar juga. "Ke-po."

Mendengar jawaban Siska, tangan Bara jadi gatal pengin mencekik leher cewek itu sekarang juga. Untung Bi Sumi datang tepat waktu. Beliau berhasil menghentikan rencana jahat Bara.

"Tutornya sudah datang," kata Bi Sumi.

••••••

Cinta memandangi ponselnya. Cewek itu merengut. Bagaimana ia pulang sekarang? Anak-anak udah pulang semua dari tadi, dan tinggal dirinya saja yang masih berdiri kebingungan di rumah Andra. "Loh, Ta? Belum pulang? Katanya dijemput?" Adyra tiba-tiba muncul entah dari mana.

"Eh, iya. Ini baru mau pulang, kok."

"Bokap lo mana?"

"Papa nggak bisa jemput. Masih di tempat kerja, soalnya. Gue mau cari ojek dulu, ya?"

"Eh, nggak usah!" Melihat Andra lewat di depannya, Adyra menarik tangan cowok itu. "Biar Andra yang nganterin lo pulang."

Cinta mengerjapkan mata, "Tapi, Ra..."

"Kamu mau kan?" Adyra berkedip, memberi kode---memaksa Andra menyetujui kalimat Adyra.

"Nggak usah, jangan! Gue bisa pulang sendiri, kok." Cinta tetap menolak. Namun, ketika cewek itu hendak pergi dari hadapan mereka, Andra menginterupsinya secara tiba-tiba.

"Ambil helm di atas meja." Cinta menatap Andra bingung, tak mengerti maksud dari ucapannya.

Melihat Cinta masih diam saja, Andra jadi gemas. "Gue anterin lo pulang."

••••

Kanya mengedarkan pandangan. Ia mencari handuk kecil untuk menemaninya membasuh muka. Hampir saja ia sampai di kamar mandi, ia mendengar suara seorang perempuan di ruang tengah.

"Itu novel lama, walau cover-nya kelihatan kuno, tapi nggak bakal bikin orang nyesel baca."

Adyra mengernyit, "Ini punya lo?"

Dimas mengangguk. "Kalo dilihat dari sinopsis, kayaknya menarik," kata Adyra mengundang senyum di wajah Dimas. "Kalo suka bawa aja."

Mata Adyra langsung berbinar. "Emang boleh?"

Cowok itu terkekeh. "Ya boleh, lah." Sambil menunjukkan beberapa buku yang ia punya. "Selain fantasi juga ada supranatural, science fiction, misteri, action, horror---"

"Gue mau coba baca semua genre-nya, kecuali yang terakhir."

Bibir Dimas masih mengembang melihat tingkah gadis itu. "Tapi tenang aja, bakal gue balikin, kok! Suer!" kata Adyra sambil mengangkat jari membentuk huruf V.

"Iya, iya. Percaya, kok."

Adyra menarik sudut bibir hingga kedua matanya menyipit. "Kalo yang ini, ceritanya tentang apa?"

"Oh, kalo yang ini tentang...."

Kanya menghela napas. Tak seharusnya ia mengintip macam penguntit seperti ini. Biasanya, kalau melihat Adyra, Kanya langsung melompat kegirangan sambil memeluknya. Namun, rasanya berbeda sekarang. Seolah ada sesuatu yang mencoba merusak mood-nya habis-habisan.

Mereka akrab banget, batin Kanya.

Gadis itu mendengus, seraya memasuki kamar mandi dengan langkah malas.

•••••

"Berhenti di sini?"

Cinta mengangguk. Setelah Andra menghentikan motor, gadis itu langsung beranjak menuruni motor Andra. "Adik-adik lo semua juga tinggal di sini?" tanya Andra melihat keadaan rumah Cinta yang terlihat sempit. Karena setahu Andra, Cinta punya dua adik kembar masih balita dan satu adik cowok yang masih smp.

Cewek itu mengangguk. "Rumah ini emang kelihatan sempit, sih. Tapi, seenggaknya cukup buat sekeluarga." Cinta tersenyum dengan tatapan menerawang. "Nenek pernah nawarin gue buat tinggal di rumahnya. Tapi, Papa ngerasa kalo kita semua adalah tanggung jawab dia. Dia nggak mau nyusahin siapapun. Gue sangat menghargai keputusan Papa. Gue tahu, kalo dia cuma butuh keluarganya untuk menemani dia di saat-saat kayak gini."

Melihat Andra yang hanya diam, Cinta jadi tersadar. "Eh, sorry. Gue banyak omong, ya?" Cinta mengulurkan helm di tangannya ke arah pemiliknya. Andra tidak bilang apa-apa. Ia langsung menyalakan mesin motor dan berniat segera pergi dari sana. Namun, tak lama, ia mendengar Cinta memanggilnya. Spontan, ia berhenti.

"Kenapa?"

"Gue cuma mau bilang makasih."

Andra mengernyit. "Kalo bukan karena Adyra juga, nggak bakal gue nyampe sini."

Mendengar jawaban Andra, cewek itu tersenyum. "Bukan, bukan itu maksud gue. Gue bukannya mau berterima kasih karena lo udah nganterin gue pulang. Gue mau berterima kasih buat semuanya. Terima kasih karena lo udah nerima gue sebagai teman lo, setelah apa yang pernah gue lakuin." Cinta menghela napas, "Jujur, gue bahagia punya teman seperti kalian semua. Apalagi Adyra."

Andra bergeming, juga tak menunjukkan ekspresi apa-apa. Cinta jadi salah tingkah. Apa dia salah bicara? Cewek itu menundukkan kepala, hingga akhirnya Andra mengeluarkan suara.

"Nggak usah berterima kasih. Gue pikir, nggak buruk-buruk banget, kok, temenan ama lo."

Melihat respon Andra, seketika ia tersenyum.

Maafin gue, Ndra. Gue tahu, nggak seharusnya gue kayak gini. Mungkin, gue emang nggak tahu diri. Tapi maaf, kalau sampai saat ini, perasaan gue masih sama.

Kayaknya, gue masih suka sama lo.

•••••

"Lagi apa?"

Andra tersenyum ketika layar laptopnya menampilkan wajah Adyra.

"Belajar. Kenapa?"

"Aku ganggu, dong?"

"Peka banget," jawab Adyra disertai senyuman.

Andra merengut, "Padahal kangen."

"Kamu juga belajar, sana!"

"Nggak mau, bosen! Dari pagi sampai sore belajar di sekolah. Ditambah lagi les pulang sekolahnya. Lama-lama mendidih ini ubun-ubun."

"Kalo mendidih, tinggal tiriskan."

"Nggak papa deh, ya? Aku lihatin kamu belajar."

"Orang belajar kok dilihatin."

"Ya nggak papa. Asal yang dilihatin itu kamu, aku betah-betah aja, sih."

Adyra tak menyahut lagi. Andra melihat gadis itu terlihat fokus dengan beberapa buku di hadapannya. Cukup lama Andra membiarkan Adyra fokus dengan keheningan yang ia buat, hingga pada akhirnya gadis itu menjatuhkan kepalanya.

"Capek banget," keluh Adyra.

"Ngantuk?"

"Lumayan."

"Yaudah istirahat aja."

"Emang boleh?"

"Yang nggak ngebolehin juga siapa?"

Adyra menghela napas. "Dari tadi kan kamu nungguin aku belajar. Jadi enggak enak."

"Ya dienakin aja, sih."

"Apanya?"

"Maunya apa?"

"Ih, kan! Ga jelas!"

Andra terkekeh. "Udah, tidur sana."

"Yaudah. Aku matiin, ya?"

Panggilan video terputus.

Cowok itu menghela napas. Dia nyesel banget sih, aslinya. Masih kangen sama Adyra dan masih pengin ngobrol lama-lama. Sekarang masih jam 9 malam. Rasanya, masih kesorean banget nggak sih, kalau mau tidur? Kedua mata Andra juga watt-nya masih bagus. Terus dia harus ngapain, dong? Masa belajar lagi? Kalau ini ubun-ubun beneran mendidih gimana?

.

.

.

Adyra menutup layar laptop, lalu menyimpannya di dalam tas. Ketika Adyra membereskan buku yang berserakan bekas dia belajar, ia menemukan sesuatu yang membuat matanya berbinar.

"Ini kan novel yang gue pinjem tadi." Adyra mendadak bersemangat. "Gue baca, ah! Tidur kan bisa nanti-nanti."

••••

Dimas merebahkan punggungnya di sandaran kursi. Seraya menikmati udara malam di halaman belakang, cowok itu memainkan ponselnya. Ketika ada panggilan masuk, tak butuh waktu lama untuk cowok itu mengangkatnya.

"Halo?"

Dimas tersenyum, tak langsung membalas sapaan. "Eh, Dimas?! Gue udah baca novelnya, nih! Seru banget! Tapi, gue nggak ngerti, kenapa si John bunuh bapaknya sendiri?"

Cowok itu diam mendengarkan.

"Oh, iya ada lagi! Soal Jane yang bunuh diri. Padahal, dari awal cerita dia kelihatan baik-baik aja nggak ada masalah. Tapi kenapa di beberapa part selanjutnya dia tiba-tiba bunuh diri?"

"Apa ada hubungannya sama kedatangan Thomas? Soalnya waktu itu, ekspresi Jane kelihatan aneh waktu ketemu Thomas. Atau jangan-jangan, mereka saling kenal?"

"Ih, sumpah nggak ngerti gue. Ceritanya belibet, tapi bikin penasaran! Kesel gue lama-lama."

Dimas terkekeh pelan mendengar ocehan Adyra yang tidak putus-putus sejak tadi. "Namanya juga thriller. Ya gitu, deh."

Di seberang telepon, Adyra terdiam beberapa saat. "Eh, ceritain dikit, dong!"

"Spoiler, dong?"

Dimas mendengar dengusan Adyra. "Iya juga, sih. Abis kesel sih, gue."

"Haha. Bocoran dikit, deh. Nanti fakta yang kamu cari bakal muncul semua dia part ketujuh belas."

"Gue baru part kesepuluh, sih. Berarti kurang tujuh part lagi, dong? Lama juga, ya?"

"Diterusin besok kan bisa."

"Keponya sekarang, bukan besok."

"Ini udah jam 12 malam, loh. Kamu nggak tidur, emang? Besok nggak sekolah?"

"Yah, iya juga, sih."

"Udah, tidur aja sana. Kepo-nya disimpen dulu buat besok."

"Yaudah, deh. Gue lanjutin baca besok. Kalo gue kesel lagi, gue telepon lo."

Dimas tak henti-hentinya tersenyum. Mendengar suaranya saja sudah membuat jantungnya terus berdebar, apalagi bertemu langsung?

"Yaudah kalo gitu. Selamat tidur, Ra."

Ucapan Dimas sekaligus menutup sambungan telepon.

"Belum tidur?"

Dimas terperanjat lalu memutar kepalanya. "Andra?"

"Abis teleponan sama siapa? Kedengerannya seru banget," tanya Andra.

Bingung mau jawab apa, Dimas berdehem.

"Gue dengar, tadi lo nyebut-nyebut Ra?"

"Hng?" Dimas mengangkat kedua alisnya seraya menatap Andra.

"Ra itu... maksudnya Adyra?"

•••••