webnovel

Part 56 : Perdebatan Kecil

Cowok itu menanggalkan jaket lalu melemparnya asal ke kursi di sebelahnya. Tak lama, seorang pelayan kafe datang menghampirinya dengan membawa secangkir kopi.

"Tumben lo ke sini. Ngapain?"

Dimas menengadah, dan menemukan Nando dengan setelan kaosnya yang tengah menarik kursi di depannya. Ia tersenyum, "Lo kayak nggak suka gitu kalo gue ke sini."

Usai melirik Dimas sekilas, ia mengalihkan atensinya pada sebuah laptop yang tadi ia bawa. "Mana gips lo?"

Dimas memberi jeda sambil meminum seteguk kopinya. "Udah dilepas sama dokternya." Nando mendengar Dimas menghela napas. "Padahal, gue pengin gips itu nempel di tangan gue lebih lama lagi."

Nando mengangkat pandangan dengan satu alis dinaikkan. "Buat apa? Buat cari perhatian Adyra, atau belas kasihan dia?"

Dimas merasa tersinggung. "Maksud lo?"

Nando tersenyum. "Jangan tersinggung. Apa yang gue bilang barusan nggak salah, kan?" Cowok itu kembali mengalihkan atensinya di depan laptop. "Adyra itu cewek baik-baik. Dia pantes dapetin kebahagiaan seperti apa yang dia mau."

"Apa lo lagi... mojokin gue?" tanya Dimas sambil diselingi senyum sarkastis.

Nando menghentikan kegiatannya. Ia menatap Dimas, cukup lama. Hingga ia memutuskan untuk menutup laptopnya agar leluasa menatap wajah seseorang di hadapannya. "Gue nggak mojokin lo. Gue cuma mau lo sadar, kalo apa yang lo lakuin sekarang itu salah."

"Apa yang salah dari gue?" Dimas bertanya. "Adyra emang nggak jawab iya waktu gue ngungkapin perasaan gue kemarin. Tapi, dia juga nggak nolak gue. Gue yakin, gue masih punya kesempatan."

"Gimana lo bisa sangat yakin?"

"Tentu saja." Dimas menatap lurus ke depan, sambil menyesap kopinya. Dengan masih menunjukkan air muka yang serius dan penuh keyakinan, ia bilang, "Gue juga yakin kalo Adyra masih menyimpan buku itu."

Nando mengerutkan dahi, "Buku apa yang lo maksud?"

••••

"Ayo dong, buka mulutnya! Aaaa~"

Adyra menggerak-gerakkan kepalanya menghindar. "Nggak mau! Kamu pikir aku kambing apa, makan ijo-ijo?!"

"Ini 'kan sayur bayam, Ra." Cowok itu menghela napas. "Kamu nggak akan dipanggil kambing juga, cuma gara-gara makan bayam."

"Pokoknya nggak mau!"

"Yaudah, deh. Yang warna oren aja, nih."

"Kamu pikir aku kelinci, dikasih carrot segala?"

"Yaudah kalo gitu yang warna kuning."

"Itu labu, aku nggak suka." Adyra mengerucutkan bibir.

"Yang warna merah aja, gimana?"

"Kamu nyuruh aku makan cabe? Yang benar aja!"

Cowok itu mulai kesal. "Terus maunya apa, dong?" Mendadak, ia pasrah. "Kamu 'kan lagi sakit. Harus makan yang bergizi biar sembuh. Ya kali aku kasih seblak?"

"Aku udah sembuh, kok," cicit Adyra sambil menutupi sebagian wajahnya dengan selimut.

"Sembuh apanya? Badan masih anget, juga."

"Kamu marah, ya?"

Cowok itu menghela napas. "Enggak. Cuma agak kesel."

Adyra mencebikkan bibir. "Yaudah, deh. Aku makan sayurnya," kata Adyra pada akhirnya. Membuat Dimas tersenyum.

"Eh, itu apa?"

Adyra melompat dari ranjang melihat Dimas menyentuh buku diary-nya. "Jangan dilihat!"

Terlanjur. Dimas sudah membukanya. Ia sempat membaca beberapa paragraf dari sana. Adyra mencoba merebut benda itu. Namun sayang, tubuhnya yang tak cukup tinggi membuat Adyra kesusahan. "Aku bilang jangan dilihat, juga!"

"Ini buku tentang aku semua?"

Adyra menelan ludah. "Apa, sih?! Balikin, nggak!"

Adyra semakin berusaha memanjangkan tangannya sambil berjinjit. Namun, Dimas malah semakin menjauhkan tangannya. "Aku balikin. Tapi, kamu harus janji satu hal."

Adyra berdecak, "Apa?!"

Dimas mengikat atensi Adyra dengan tatapannya. Membuat Adyra bergeming dan tak bisa mengalihkan pandangan. "Jaga buku ini, ya? Jangan sampai hilang. Apalagi kamu buang."

"Emang kenapa?" tanya Adyra diringi kernyitan di dahi.

"Janji dulu."

Adyra tak langsung menjawab. Ia terlihat memikirkan sesuatu. Namun, cowok itu masih menunggu jawaban Adyra. Tak lama hingga Adyra mengulurkan jari kelingkingnya seraya tersenyum.

"Oke, aku janji."

"Ra, kamu dengarin aku ngomong nggak, sih?"

Adyra mengedip, "Eh... kamu tadi bilang apa?"

Andra menghela napas. "Kamu kenapa, sih? Sering banget ngelamun kayak gini. Kamu sakit?" tanya Andra seraya menyentuh dahi Adyra.

"Aku nggak papa, kok."

Andra memiringkan kepala, "Kamu ada masalah?" Cowok itu membingkai wajah Adyra dengan telapak tangannya. Sesekali, mengusap kedua pipi Adyra. "Kalo kamu ada masalah, kamu bisa cerita sama aku. Bukannya selama ini aku selalu cerita masalah aku sama kamu?" Tangan Andra turun, menggenggam telapak tangan Adyra. "Jangan anggap aku orang asing, Ra. Kamu juga bisa cerita apapun sama aku. Termasuk masa lalu kamu, mungkin?"

Adyra terperangah. Ia merasa jika kalimat terakhir yang diucapkan Andra seolah menyinggung dirinya. Namun, ia masih diam. Tak menunjukkan ekspresi apa-apa. Sampai Andra menarik telapak tangan Adyra lalu mengecupnya.

Adyra menarik tubuh Andra lalu memeluknya. Ia jadi semakin merasa bersalah. Tak seharusnya ia menyembunyikan hal ini dari Andra. Andra juga berhak tahu. Apa Adyra katakan saja yang sebenarnya sekarang?

•••••

Dimas melepas sepatu kemudian menentengnya seraya memasuki rumah. Saat berjalan menuju dapur, ia terkejut melihat Kanya muncul dari balik meja bar.

"Kamu ngapain?"

"Taraa~"

Dimas mengernyitkan dahi ketika Kanya mengeluarkan sesuatu dari oven. "Itu apa?"

"Ini adalah lasagna pertama buatan Kanya! Yeayyy!" seru Kanya diiringi tepuk tangannya.

Dimas tersenyum ketika aroma sedap itu melewati lubang hidungnya. "Kamu bisa masak?"

"Lagi pengen belajar masak, biar keren! Hehe," jawab Kanya sambil meringis. "Walaupun masih sedikit-sedikit dibantuin Bi Sumi, sih."

Dimas manggut-manggut mendengarkan. "Kak Dimas mau coba?"

Mendengar tawaran Kanya, Dimas melebarkan mata. "Emang boleh?"

"Ya boleh, lah!" Kanya mengambil sendok lalu memindahkannya ke tangan Dimas. Ketika cowok itu menyuapkan sedikit ke mulutnya, Kanya memasang wajah penasaran. "Gimana? Enak, nggak?"

Dimas tak langsung menjawab. Ia sengaja membuat Kanya menunggu komentarnya. Ketika Dimas tak kunjung memberikan komen, Kanya menepuk bahunya. Cowok itu tersenyum. "Enak, kok."

Kanya berbinar, "Beneran?!" diiringi senyum dan mata yang melebar. Dimas mengangguk mengiyakan. "Kalo gitu aku mau cobain juga, dong!"

Dimas menjauhkan tangan ketika Kanya ingin merebut sendoknya. "Bentar, dong. Gantian."

"Tadi 'kan udah."

"Cuma sesuap doang, mana cukup?!" Dimas langsung menyuapkan beberapa sendok lagi. Ia makan dengan bersemangat, hingga tak sadar jika ada sisa makanan menempel di ujung bibirnya.

"Sampai belepotan gitu." Kanya tertawa seraya menarik sehelai tisu dari tempatnya. Dimas tersentak, ketika merasakan sesuatu menyentuh bibirnya. Kanya mengusap sudut bibir Dimas dengan lembut, membersihkan sisa-sisa makanan di sana.

Melihat itu, Dimas terdiam. Bukannya Kanya beringsut menjauh, sekarang gadis itu malah bertopang dagu, mengikis sedikit jarak wajahnya dengan wajah lelaki di hadapannya. Sesaat Dimas terpana, ketika melihat Kanya menarik kedua sudut bibirnya.

••••

At roomchat WhatsApp.

Adyra: Andraaaaa

Andra: Hm?

Adyra: Lagi di mana?

Andra: Di atas motor.

Adyra: Kamu balas chat aku sambil nyetir?! UDAH JANGAN DIBALES!

Andra: Ngapain? Orang aku lagi parkir, kok. Cuma ya masih di atas motor:)

Adyra: Bikin orang jantungan aja, sih

-_-

Andra: Ada apa?

Adyra: Mau ngajak jalan>,<

Andra: Prasaan tadi udah ketemu. Masih kangen lagi?

Adyra: Ge'er! Orang cuma minta anter ke toko buku juga:p

Andra: Buku kamu udah bejibun di rumah. Ngapain beli lagi? Mau dijual?

-_-

Adyra: Ya buat dibaca, lah! Buku itu jendela dunia. Ketika kamu membaca buku, kamu sedang melihat dunia. Apa yang terjadi di dunia ini kamu akan mengetahui semuanya. Dari yang tidak pernah kamu tahu, kamu akan jadi tahu. Maka dari itu, kamu harus rajin membaca buku, agar kamu hidup kamu tidak abu-abu akibat ketidaktahuan akan sesuatu.

Andra: Y

Adyra: Ngetik panjang-panjang padahal:')

Andra: Yyyyyyyyyyyyyyyyy

Andra: Udah panjang, tuh.

Adyra: -,-

Andra: Kayaknya aku nggak bisa nganter, deh.

Adyra: Kok gitu-_-

Andra: Besok aja lah, ya? Lagi main PS. Mager keluar:v

Adyra: Aku sumpahin mati lampu-_-

Andra: Yah, kok gitu?:(

Adyra: LCD TV nya rusak

Adyra: Stick PS nya ilang

Andra: Do'anya jelek banget:(

Adyra: Do'a orang yang teraniaya itu tidak akan tertolak:)

Andra: Aku nggak pernah nganiaya kamu. Aku cuma menyayangi kamu:)

*read

Kesel. Adyra melempar ponselnya asal. Tapi masih di atas kasur. Mau dilempar ke lantai, sayang. Gadis itu mengambil jam beker di atas nakas, lalu mengaturnya. Besok hari pertama sekolah, dan dia tak boleh terlambat.

••••

"Kemarin bilangnya besok, sekarang mau bilang besok lagi?"

"Aduh, Ra. Ini beneran nggak bisa. Aku ada rapat klub basket sama Pak Edwin buat turnamen minggu depan."

Bola mata Adyra berputar. "Bilang aja nggak mau."

"Bukannya nggak mau, tapi emang nggak bisa." Andra membalikkan badan Adyra agar mau menatapnya. "Aku pesenin uber, ya?"

"Kamu nyuruh aku pergi sendiri? Jahat banget." Adyra melepas tangan Andra yang menempel tangannya. "Kamu udah bosen sama aku, ya? Kamu udah nggak sayang sama aku lagi? Atau kamu udah punya cewek lain?"

Andra geregetan sendiri. "Kamu ngomong apa, sih?!"

"Udah, lah! Kamu pikir aku nggak bisa pergi sendiri?!" Adyra mengambil tas ranselnya lalu mengenakananya kasar. "Nggak usah pesen uber! Nggak butuh!"

Adyra berjalan pergi dengan langkah kesal. Sementara dari jauh, Andra menatap cewek itu bingung. Ia melirik ke arah Siska yang sejak tadi asik main HP karena tidak dipedulikan. Bahkan sampai sekarangpun, ia ditinggal. Padahal Siska tadi yang menemani Adyra mencari Andra sampai dua kali naik tangga begini.

"Dia kenapa, sih?"

"Pra-Menstruasi Syndrome."

Setelah menjawab pertanyaan Andra, Siska melenggang pergi. Sambil memasang earphone di telinga. Ia meninggalkan Andra sendiri. Cowok itu tak mengerti. Setahunya, ia pernah dengar istilah itu saat pelajaran Biologi bab Reproduksi. Tapi ia lupa maksudnya apa.

"Lo denger nggak, Yo?" tanya Andra pada Rio yang juga sejak tadi di sana. "Premes... apa tadi?"

Rio terlihat berpikir serius, sambil mengetuk-ngetukkan jarinya ke dagu. "Prematur maksudnya?"

••••

Adyra mencebikkan bibir dengan wajah super duper masam. Setelah mengambil buku dari rak, ia meletakkannya lagi. Rasanya, mood Adyra sudah benar-benar buruk sekarang. Apalagi ketika memeriksa ponsel, ia sama sekali tak menemukan ada riwayat chat atau panggilan dari cowoknya. Adyra jadi semakin kesal. Pengin makan orang rasanya.

"Adyra?"

Mendengar sapaan Dimas, Adyra terlonjak. Ketika balik badan, ia menemukan cowok itu berdiri dengan setelan kaos santai diiringi senyuman.

"Kok sendiri?" Cowok itu celingukan ke belakang tubuh Adyra. "Andra mana?"

Mendengar nama Andra disebut, Adyra memutar bola mata. Ia kembali mengedarkan pandangannya pada jejeran rak buku tanpa menghiraukan cowok itu. Ia mengambil buku besar yang berisi bank soal persiapan Ujian Nasional. Melihat Adyra nampak kesusahan, Dimas menawarkan bantuan.

"Biar saya yang bawa--"

"Nggak usah."

Dimas menarik sudut bibir. Alih-alih mendengarkan, Dimas malah merebut buku itu dari tangan Adyra hingga membuat gadis itu memasang wajah kesal. "Saya cuma mau bantuin. Nggak ada niat apa-apa," kata Dimas seolah mengerti apa yang ada dipikiran Adyra.

"Kalo kamu masih kepikiran sama yang terjadi malam itu, lupain aja." Adyra membalas tatapan Dimas, "Anggap nggak terjadi apa-apa."

Dimas berjalan meninggalkan Adyra. Melihat hal itu, Adyra mengikutinya dari belakang. Ia melihat cowok itu berhenti di jejeran rak yang berisi buku-buku bergenre fantasi. "Gips lo, udah dilepas?" Adyra bertanya.

Dimas memalingkan wajahnya menghadap Adyra, lalu menganggukkan kepala. "Sejak kapan?" tanya Adyra lagi.

"Kemarin," balas Dimas.

"Oh." Gadis itu tersenyum. "Bagus, deh."

"Tapi masih agak sakit, sih. Kalo angkat yang berat-berat." Dimas melengkungkan bibirnya ke bawah.

"Yaudah kalo gitu sini bukunya! Biar gue yang bawa." Melihat Dimas tertawa Adyra mengernyitkan dahinya. "Gue cuma bercanda." Mendengar Dimas bilang gitu, Adyra refleks mencubit perutnya.

"Gimana rasanya jadi anak kelas tiga?" tanya Dimas sambil membaca sinopsis novel di tangannya.

"Nggak tau. Orang baru pertama masuk juga." Adyra berjinjit, berusaha mengambil buku yang berada di rak paling atas. Badannya yang tidak cukup tinggi membuat cewek itu kesusahan. Melihat hal itu, Dimas menghampirinya. "Perasaan dari dulu nggak nambah-nambah tingginya."

Gantian, Adyra menyikut perut Dimas. Sambil terkekeh, ia memanjangkan tangan berniat mengambil buku yang dimaksud Adyra. Namun, gerakannya terhenti. Ketika melihat tangan lain mendahului tangannya.

Adyra terkejut. Ketika melihat Andra muncul tiba-tiba sambil menyerahkan buku itu padanya. "Kamu ngapain?"

Andra tersenyum ke Adyra. Lalu beralih senyum ke Dimas waktu tatapan mereka bertemu beberapa saat. "Udah semua kan bukunya? Yuk, pulang!"

Adyra nampak kebingungan melihat Andra menarik tangannya. "Tapi--"

"Thanks ya, Dim. Kita duluan."

Tanpa memberikan Adyra kesempatan untuk bicara, Andra mengambil buku yang akan Adyra beli dari tangan Dimas lalu memindahkan ke tangannya. Dimas mengangkat satu alisnya. Mereka berdua sudah pergi ke kasir dengan wajah Adyra yang masih kelihatan bingung dengan sikap Andra. Ketika mereka sampai di tempat Andra memarkir motor, Adyra menghentikan langkahnya.

"Kamu ngapain, sih? Udah datang tiba-tiba, pakek narik-narik tangan aku lagi nyuruh pulang! Katanya sibuk, ada urusan?! Ngak bisa nganter, lah. Ada rapat, turnamen, basket, lah. Ngapain pakek acara nyusul ke sini segala--"

"Ra.." Melihat air muka Andra, Adyra berhenti bicara. "Aku lagi nggak mau berantem. Jangan berantem sekarang, ya? Aku anter kamu pulang."

Adyra tak mengerti apa yang terjadi pada Andra saat ini. Ekspresi cowok itu nampak serius. Namun Adyra tak tahu apa yang membuat Andra bersikap seperti ini. Adyra bergerak menaiki motor Andra. Lalu duduk di sana tanpa mengeluarkan kalimat apa-apa.

•••••

Andra tak mengatakan apapun selama perjalanan. Bahkan ketika Adyra melepas helm dari kepalanya, Andra tak membantunya seperti biasa. Cowok itu hanya diam, memandang lurus ke depan tanpa menghiraukan Adyra.

Adyra mendengus kesal. Ia menyerahkan helm yang dipakainya tadi, ke Andra dengan sedikit kasar. Kemudian, gadis itu balik badan sambil uring-uringan.

"Ra?"

Adyra berhenti lalu berbalik sebentar. "Apa lagi?!" jawab cewek itu nyolot.

"Maaf."

Adyra mengerjapkan mata. "Harusnya aku nggak bersikap kayak gitu tadi." Andra bicara, tapi cowok itu masih enggan menatap Adyra.

"Dan satu lagi. Mungkin kamu berpikir kalo aku nggak bisa bersikap dewasa. Tapi, aku cuma mau bilang." Pada akhirnya, Andra mengangkat pandangannya, dengan helm yang masih melekat di kepala.

"Jangan terlalu akrab sama cowok lain. Aku nggak suka."

•••••