webnovel

Part 55 : Buku Diary

"Handphone kamu ketinggalan."

Adyra terdiam. Seolah tak bisa menggerakkan anggota tubuhnya. Satu-satunya yang dapat ia gerakkan hanya bola mata. Adyra menatap Andra di sebelah kanannya yang tengah menunjukkan wajah penuh tanya, dan Dimas di sebelah kirinya dengan senyum yang berbeda dari biasanya. Gadis itu mencoba memejamkan mata. Berharap jika semua yang ia lihat saat ini hanya mimpi saja.

"Gimana bisa handphone Adyra ada di lo?" tanya Andra membuka suara. Bersamaan dengan kalimat Andra, gadis itu menghempaskan semua harapannya. Karena pada kenyataannya, Adyra sedang tidak bermimpi sekarang.

Mendengar Andra menyahut kalimatnya, Dimas tak langsung menjawab. Lelaki itu menatap Andra sejenak setelah itu memberikan senyum. "Lo di sini, Ndra? Bukannya lagi makan malam keluarga?"

"Itu bukan jawaban dari pertanyaan gue," sahut Andra langsung dengan ekspresi datarnya.

Adyra mengamati mimik wajah cowok itu. Jika Andra sudah menunjukkan ekspresi seperti itu, bisa dipastikan jika cowok itu tidak sedang berada dalam suasana hati yang menyenangkan saat ini.

Melihat respon Andra, Dimas tersenyum. "Waktu di jalan, gue nemuin handphone ini. Jadi, gue ke sini mau balikin."

Andra mengambil ponsel itu dari tangan Dimas. Setelah diperiksa, ternyata benda itu tak mau menyala. Cowok itu langsung mengernyit, "Handphone nya mati. Jadi, gimana lo bisa tahu kalo ini punya Adyra?"

Dimas yang ditanya, Adyra yang gelisah. Ia takut jika Dimas salah bicara. Ia takut Dimas mengatakan sesuatu yang bisa memperkeruh suasana. "Udahlah, Ndra--"

"Bentar. Aku lagi bicara sama Dimas," sela Andra tak memberi kesempatan Adyra bicara.

Gadis itu semakin takut, ketika melihat Dimas memasang senyumnya. "Waktu gue ketemu Adyra, gue lihat dia bawa HP itu. Jadi gue pikir..."

"Kalian ketemuan?!" tanpa sadar, Andra menaikkan nada bicara. Ia nampak terkejut, namun juga terlihat tak percaya.

"Enggak," sela Dimas ketika Adyra hampir membuka suara. Lelaki itu menaikkan sudut bibirnya. "Gue emang lihat Adyra," ia menatap Adyra disela-sela kalimatnya. "Tapi... kayaknya dia nggak ngelihat gue."

Adyra merasa, seolah ada maksud yang Dimas disampaikan dari ucapannya. Namun, Adyra lebih tertarik melihat Andra. Ia mengamati setiap ekspresi dari wajah Andra. Hingga pada akhirnya ia sedikit lega melihat cowok itu menyelipkan senyum tipis sebelum bicara.

"Oh," respon Andra.

Menghindari kejadian yang bukan-bukan, Adyra berniat segera membubarkan pertemuan ini. Memang tak seharusnya juga Adyra di sini. Tak seharusnya juga ia mengiyakan ajakan Dimas dan berujung seperti ini. Adyra memang bodoh. Pada akhirnya, Adyra sendiri yang susah, kan?

"Kayaknya udah malam. Gue ngantuk, hehe." Adyra menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Setelah itu, ia merebut ponsel miliknya dari tangan Andra. Kemudian, Adyra menatap Dimas. "Makasih, udah balikin HP gue."

Dimas tahu, Adyra berniat mengusirnya. "Urusan saya juga udah selesai. Saya mau pulang."

"Barengan aja," sahut Andra. Dimas tak menjawab. Ia hanya menoleh sekadarnya.

"Aku pulang, ya?" Andra menepuk bahu Adyra. "Nanti ketemuan di mimpi kamu," kata Andra sambil mengedipkan sebelah mata.

Adyra bergidik mendadak ngeri. "Menggelikan."

Seolah tak menganggap atensi Dimas di antara mereka, Andra malah asik mencubit-cubit pipi Adyra yang terasa menggemaskan baginya.

"Apa, sih?! Pulang sana! Katanya mau pulang," kesal Adyra.

"Ya udah, sih. Nggak usah nyolot juga." Setelah membalikkan badan, cowok itu menepuk bahu Dimas sebentar. "Yuk, cabut!"

Dimas tak beranjak, sama sekali. Bola matanya masih betah menatap Adyra. Sama halnya dengan gadis itu. Adyra tak mengalihkan pandangannya. Mereka berdua seolah saling berbicara lewat tatapannya. Hingga pada akhirnya, Dimas memecah keheningan dengan sebuah kalimat ringan.

"Selamat malam, Ra."

Dimas berhasil membuat langkah Andra terhenti. Andra membalikkan badan, menatap Dimas dengan wajah terperangahnya. Bukan hanya Andra. Adyra juga hampir tak percaya dengan apa yang barusan melewati indera pendengarannya. Seketika, ia merasakan ketegangan yang terbalut tipis dengan dinginnya udara malam.

Di sisi lain, Dimas berjalan pergi dengan langkah ringan seolah tidak terjadi apa-apa.

•••••

Adyra menyandarkan tubuhnya di sebuah pohon. Dengan napas yang masih tersengal, ia minum air beberapa tegukan. Sesekali menyeka keringat yang mengucur dengan tangan, dan mengambil tempat duduk di sebuah bangku dekat pohon setelah memarkirkan sepedanya di sandaran pohon.

Ia mengamati kegiatan yang ada di sekitarnya. Suasana taman cukup ramai dengan anak-anak kecil yang bermain bola, naik sepeda, dan sebagainya. Adyra tak membawa apapun dari rumah selain sebuah sepeda dan sebotol air putih. Gadis itupun tak membawa ponsel. Ia hanya ingin tenang sebentar saja. Kejadian semalam benar-benar menguras energi dan emosinya. Mendadak, Adyra jadi trauma kalau lagi lihat HP.

Ia mau nyantai. Sambil selonjoran dan mengipas-ngipas wajahnya dengan tangan, Adyra tak sadar jika ada bola terbang mengarah padanya.

"Kak awas!"

Mendengar teriakan yang secara tiba-tiba, Adyra langsung melompat menghindari bola. Namun sayangnya ia kalah cepat. Kepalanya terantuk sesuatu. Namun, Adyra tak merasakan sakit. Ketika mendongak, ia melihat tubuh seorang cowok yang menjulang di hadapannya.

"Kakak nggak papa?" tanya segerombolan anak yang datang menghampiri Adyra.

"Kalau main bola kira-kira, dong. Masa di taman? Ke lapangan, sana! Nanti kalo kena kepala orang mau tanggung jawab?" kata cowok itu mengambil alih dialog Adyra.

Melihat beberapa anak yang cemberut, Adyra meringis memasang ekspresi baik-baik saja. "Kakak oke, kok! Nggak papa, lanjutin aja mainnya. Tapi hati-hati, ya?"

Adyra jadi lega melihat mereka tersenyum setelah mendengar perkataan Adyra. "Kakak ini keren, deh. Udah baik, cantik lagi. Nggak kayak pacarnya. Udah jelek, galak lagi." Seorang bocah perempuan berbisik ke teman-temannya. Namun sayang, telinga Andra jauh lebih tajam daripada tikungan.

"Siapa yang jelek?! Lu ngatain gua jelek?!"

"Kabuurrrrr!"

Adyra tertawa melihat segerombolan bocah-bocah itu ngacir sambil meledek Andra dengan menjulurkan lidah. Andra gemas bukan main. Ia hampir menyambit bocah ingusan itu dengan sepatunya kalau Adyra tak cepat-cepat menahannya.

"Kayak kecakepan aja lu ngatain gue jelek, ha?! Kalo berani, maju sini satu-satu!" koar Andra berapi-api.

"Udah lah, Ndra. Namanya juga anak-anak," sahut Adyra menahan tawa.

"Untung aja masih bocah. Kalo enggak, gue gantung juga itu satu-satu ke tiang listrik." Adyra masih terkekeh. Sesekali ia menepuk Andra kemudian mengambil napas dalam-dalam agar rasa geli di perutnya segera menghilang.

"Ngapain kamu di sini? Stalker, ya?" tanya Adyra sambil menoel-noel bahu Andra.

"Ngapain? Dih, kayak nggak ada cewek lain aja--aw!" pekik Andra kaget ketika menerima tamparan Adyra yang tiba-tiba.

"Yaudah, cabut sana! Cari cewek lain!" sewot Adyra sambil mendorong tubuh Andra.

"Kamu cemburu, ya?" Adyra menuli membuat Andra berkata lagi. "Cemburu itu hanya untuk orang yang tidak percaya diri."

Berhasil membuat Adyra menoleh, Andra hampir tersenyum. Namun, urung ketika Adyra mengangkat tangannya ke udara. "Talk to my hand!"

Andra mendengus. Melihat Adyra berjalan ke arah sepedanya, cowok itu mengikuti. "HP kamu nggak aktif lagi?" tanya Andra pada akhirnya. Membuat langkah Adyra terhenti. Gadis itu terdiam sejenak sebelum akhirnya berjalan sambil menuntun sepeda.

"Baterainya abis. Males charge," jawab Adyra.

Andra memiringkan kepala, lalu mengendikkan bahunya. Tangannya bergerak ke bahu Adyra lalu merengkuhnya. Merasa masih marah, gadis itu menjauhkan tubuhnya. "Ngapain, sih?! Nggak usah sok akrab."

Andra berdecak melihat tingkah Adyra. Merasa tak mau kalah, ia semakin mendekatkan tubuhnya. "Aku ke rumah kamu, ya?"

"Nggak usah."

"Kok nggak usah?"

"Lagi nggak terima tamu."

Andra terdiam sejenak. "Yaudah, deh. Kalo gitu aku ke rumah cewek lain aja."

Adyra berhenti berjalan. Andra tersenyum melihatnya. Gadis itu menoleh. "Pergi aja, sana. Nggak peduli, tuh."

Andra menelan ludah melihat wajah sepah Adyra. Namun, cowok itu enggan menyerah. "Jangan ngambek, dong. Becanda doang." Adyra tak menghiraukan.

"Kalo ngambek aku cium, nih." Andra mendekat-dekatkan wajahnya. Adyra mendelik sambil menoyor jidat Andra. "Cium aspal, sana!"

"Udah pernah kalo cium aspal. Sering malah. Kalo cium kamu 'kan belum pernah." Andra merengek, sambil mendekatkan wajahnya. Adyra berjalan cepat mendahuluinya dengan masih menuntun sepeda.

Mereka berlarian di area taman dengan beberapa orang yang memerhatikan. Adyra tak bisa menyembunyikan senyuman. Ia senang, tak ada yang berubah dengan Andra karena kejadian semalam.

Tak terasa, mereka sampai di rumah Adyra. Andra merengek kehausan. Ngidam minum yang segar-segar. Mau tak mau, Adyra mengabulkan. Andra masuk ke dalam rumah sementara Adyra membuatkan minuman.

Suasana rumah Adyra yang sepi membuat Andra berasumsi jika Papa cewek itu tidak berada di rumah. Berbekal iseng, Andra masuk ke sebuah kamar yang ia yakini jika ruangan bernuasa vintage ini adalah milik Adyra. Aja jejeran foto polaroid yang dipasang bersama tumblr lamp. Andra melihat ada banyak foto Adyra di sana. Salah satunya yang membuat ia tertarik adalah sebuah foto masa kecil Adyra yang terlihat menggemaskan bagi Andra.

Andra tersenyum melihatnya. Ia mengangkat ponsel lalu mengambil gambar. Sesekali mengedarkan pandangan, Andra melihat jejeran buku yang tersusun dalam rak kecil di samping meja belajar. Cowok itu menemukan kumpulan novel dengan berbagai genre. Ketika Andra menelusurinya, ia tak sengaja menjatuhkan sebuah buku.

Buku yang berukuran sedang, berwarna cokelat kayu. Seperti buku diary. Andra mendengus geli. "Ternyata Adyra suka nulis ginian?"

Ketika tangan Andra bergerak membuka buku tersebut, ia tersentak. Andra membulatkan mata melihat Adyra berdiri di hadapannya setelah merebut buku itu dari tangan Andra. "Kamu ngapain?"

Entah hanya perasaan Andra atau bukan, ia merasakan atmosfer berbeda yang kini tengah menyelimuti air muka Adyra. Sambil menggenggam erat bukunya, Adyra menunjukkan ekspresi wajah yang sama sekali tidak terlihat bercanda.

"Aku cuma..."

"Kamu ngapain sih, masuk ke sini?"

Andra mencoba menjelaskan. "Tadi, aku cuma mau lihat-lihat kamar kamu, terus nggak sengaja nemuin buku itu." Andra melihat Adyra menghela napas. "Emang itu buku isinya apaan, sih?" tanya Andra.

Adyra menarik sudut bibir lalu menggeleng. "Enggak. Bukan apa-apa. Cuma buku lama doang." Setelah melempar buku itu ke dalam tas ranselnya, ia menarik bahu Andra. "Yaudah, yuk, keluar. Minumannya udah jadi. Katanya kamu haus, kan?"

Andra mengerutkan dahi. Sikap Adyra agak aneh. Dan Andra merasa, jika ada sesuatu yang sedang disembunyikan Adyra.

Aish, kenapa gue jadi curigaan, sih?

••••

Siska menjatuhkan bokongnya dengan wajah senang. Tak lama, ia mengambil laptop dari tasnya kemudian membuka sebuah website.

BTS comeback stage.

Ketik Siska di kolom pencarian.

Dengan wajah lega, selega ekspresi orang yang habis kentut, ia sampai tak bisa menahan senyumnya. Sekarang masih pagi. Jadi, masih banyak waktu buat nontonin ayang V, sambil nyambung wifi dan ngofi-ngofi.

Btw, nggak ada yang tau kalau Siska suka BTS. Ini semua gara-gara Amy. Kalau itu cewek nggak berinisiatif nyekokin Siska ama koriyah-koriyah, iman dia nggak akan lemah. Apalagi kalo denger ayang V nyanyi dengan suara yang amat sangat renyah. Omg, Umii... boleh Siska bawa pulang nggak, sih?

Okey. Calmdown, Sis. Lo nggak boleh alay. Lo bukan Amy yang suka jerit-jerit kalo si Jung Kook pamer abs. Atau yang bakal greget-greget sendiri kalau jaket si Jimin mulai melorot dan nunjukin lengan atletisnya yang kokoh itu. Dan yang paling penting, lo harus tetep stay cool. Jangan sampai ada yang tau kalau lo suka ama BTS kalau nggak mau diketawain Amy abis-abisan karena pas kemarin-kemarin, lo sok'sokan nggak suka ama mas-mas fake love yang necis abis.

Tak terasa, Siska keenakan. Ia sampai lupa waktu. Yang tadinya cuma mau nonton sejam doang, ini malah kebablasan 3 jam. Siska menepuk dahi. "Mampus gue! Bisa dicariin Umi entar di rumah. Mana motor gue pakai, lagi."

Cewek itu berdecak. "Tau, ah! Abisin jusnya dulu aja kali, ya? Sayang mahal-mahal kalo nggak gue abisin."

Setelah menghabiskan jusnya, ia memasukkan laptop ke dalam tas dan merapikan beberapa buku yang ia beli sebelum ke kafe ini. Sambil menikmati lagu seesaw yang mengalun melalui earphone, ia berdiri. Namun, seketika cewek itu terkejut. Beberapa buku yang dia bawa berserakan karena ditabrak seseorang. Berbekal geregetan, Siska menarik tangan orang itu.

"Oi! Lo manusia apa bukan? Nggak kerasa ya, abis nabrak orang? Main nyelonong aja lagi."

Dengan ponsel yang menempel di telinga, cowok itu berbalik menatap Siska dan serakan buku di lantai dengan alis dinaikkan. "Nggak sengaja, tuh." Ia menarik lengannya, dan menepuknya pelan di tempat Siska meletakkan tangannya. "Lagian, kalo punya mata itu dipakai. Udah tahu orang lewat, kenapa nggak minggir?"

Siska terperangah. Ini cowok benar-benar luar biasa. Minta dicebokin mulutnya. Ia melihat cowok itu pergi tanpa menghiraukannya. Mood Siska langsung super duper buruk. Ia mengambil sebuah gelas berisi air di meja pengunjung lain. Sebuah adegan yang tak terduga, membuat beberapa pasang mata melihat mereka tak percaya. Terlebih pada Siska. Dengan wajah tak bersalah, cewek itu mengguyur cowok tadi dengan segelas air mineral. Ia berhasil membuat cowok itu melebarkan mata.

Siska tersenyum miring. "Sorry, ya? Nggak sengaja, tuh. Lagian kalo punya mata itu dipakai. Udah tahu mau gue siram, kenapa nggak menghindar?"

Siska benar-benar savage. Setelah memermalukan orang, ia pergi begitu saja seolah tanpa beban. Namun, ia tadi sempat minta maaf pada pengunjung kafe yang minumannya sudah ia tumpahkan. Ia bahkan menggantinya dengan beberapa lembar uang.

Dimas melepaskan tudung jaket. Ia menatap jaket kesayangannya yang sudah basah kuyup. Ia juga melirik ponselnya. Tidak ada jawaban dari panggilannya. Cowok itu mendengus kesal lalu tertawa setelahnya.

"Jadi, lo benar-benar menghindari gue, Ra?"

••••