webnovel

Part 54 : Sebuah Lingkaran

"Ih, asik banget bisa makan di luar! Kita 'kan jarang bisa pergi bareng kayak gini. Apalagi aku, kalo keluar rumah sama Bi Sumi mulu. Bosen." Kanya mengoceh sepanjang perjalanan. Sesekali, Arya dan Reya tersenyum melihat tingkah anak gadisnya.

"Jadi Bi Sumi doang nih, yang dianggep?" Andra yang dari tadi fokus dengan ponsel ikut menyahuti.

"Oh iya, lupa. Sopir taksi belum disebut, ya?" Sambil cengegesan, Kanya malah dapat tatapan sengit dari abangnya.

"Mah... Di sebelah Kanya ada vampir..." Kanya sok-sok'an merengek pada mamanya.

"Andra..."

Cowok itu berdecak, ia malas berdebat. Seketika, ia seolah melupakan sesuatu. "Loh! Dimas mana?"

"Dia nggak ikut. Katanya nggak enak badan tadi," sahut Reya merespon Andra.

"Oh, ya? Kok aku baru tahu?"

Kanya berdecak sambil memutar bola matanya malas. "Mangkanya jangan main game mulu! Gitu aja nggak tahu."

Andra tak merespon. Ia tengah larut dalam pikirannya sendiri. "Perasaan dari tadi pagi dia baik-baik aja."

••••

Adyra menyimpan kedua telapak tangan di saku bajunya. Ia bersenandung sambil jalan. Jalanan komplek rumahnya memang tidak ramai saat malam hari. Namun juga tidak begitu sepi. Sesekali Adyra melihat sekumpulan orang berlalu lalang. Gadis itu berjalan menuju halte. Ketika sampai, langkahnya terhenti. Ia langsung mengambil tempat duduk.

"Ada apa?"

Adyra tak melirik lawan bicaranya sama sekali. Gadis itu seolah fokus ke depan melihat aktivitas pengguna jalan di posisinya sekarang. Ia menikmati angin malam yang menyapu kulit wajahnya.

"Saya cuma butuh teman."

Adyra mengangguk. "Emangnya Andra kemana?"

Karena tak mendengar jawaban, Adyra menoleh ke samping. Ia melihat Dimas mengendikkan bahu.

"Tadi saya dapat telepon dari Papa." Dimas berhasil membuat Adyra menoleh lagi.

"Dia nyuruh saya pulang ke rumah dia... sama istri barunya." Dimas tersenyum pahit. "Kemana aja dia selama ini? Mama dimakamkan aja, dia nggak peduli. Sekarang, dia malah seenaknya nyuruh-nyuruh pulang."

Dimas berhenti sejenak mengambil napas dalam-dalam. "Ra..."

Gadis itu mengangkat alis. "Apa menurut kamu saya harus pergi?" tanya Dimas sambil membalas tatapan Adyra.

"Emang lo mau pergi?"

Dimas menggeleng.

"Yaudah, kalo gitu nggak usah pergi."

Dimas tersenyum mendengar jawaban Adyra. Jawaban yang ingin dia dengar dari jauh-jauh hari, bahkan sebelum ia akhirnya bisa bertemu Adyra hingga saat ini.

Saya nggak akan pergi. Sesuai keinginan kamu, Ra.

"Mau pergi ke suatu tempat, nggak?" tanya Adyra.

"Kemana?"

••••

Centang satu.

Simbol yang Andra lihat dari puluhan pesan yang ia kirim ke roomchat WhatsApp Adyra. Cowok itu berdecak. Ketika ia mencoba menelepon Adyra, nomornya tidak dapat dihubungi.

Andra cuma berpikir, mungkin Adyra sedang sibuk. Jadi, tidak sempat pegang handphone. Iya, mungkin saja begitu.

••••

"Kamu tahu tempat ini pasti dari Andra, kan?"

Adyra mengedipkan mata, "Lo tahu tempat ini juga?"

Dimas berjalan mendahului Adyra. Membuat gadis itu mengikutinya sambil menikmati suasana favoritnya. "Dulu, saya sama Andra sering main ke sini. Kalau siang, biasanya kita main bola, sama anak-anak tetangga juga."

Adyra mengernyit, "Terus kalo malam?"

"Ngepet."

Adyra membulatkan mata. "Seriusan?!"

"Ya, enggak lah!" Adyra mengerucutkan bibir melihat Dimas tertawa. "Ini idenya Andra, sih, sebenarnya. Waktu itu Andra ngajak gue ke sini biar dia ada temennya. Alasannya sih, katanya kabur ke sini biar nggak disuruh belajar. Orang tua dia tahu nya, lagi belajar kelompok di rumah Dadang. Eh, pas Mamanya Andra ke rumah Dadang dan Andra nggak ada, dia ngira itu anak ilang diculik. Padahal cuma main ke lapangan."

Adyra berdecak lidah. "Parah, sih. Andra udah bandel dari kecil, emang?"

Dimas mengendikkan bahu. "Ya, gitu."

"Eh! Btw, kalo kalian kabur ke sini emang ngapain?" tanya Adyra ingin tahu.

"Tidur."

"Seriusan?!"

"Hm."

"Nggak gatel?"

Dimas terkekeh. "Ya bawa alas buat tidur, lah. Kita sering camping dadakan juga. Jadi udah biasa."

Adyra berdecak lagi. "Niat banget. Emang nggak takut malam-malam?"

"Kenapa harus takut?" Dimas mengangkat satu alisnya menghadap Adyra. "Emangnya kamu? Penakut."

Adyra membuka bibir tak percaya. "Enak aja! Gue pemberani, tahu!"

"Oh, ya?"

"Iya, lah!"

"Terus itu apa di belakang kamu, ada gerak-gerak?"

Adyra mengangkat bibir atasnya sambil tertawa sumbang. "Ha-ha-ha. Basi banget kalo ngerjain. Nggak mempan, tahu!"

Adyra menepuk bahu Dimas berharap agar cowok itu mengubah ekspresi sok seriusnya itu. Namun, cowok itu malah semakin membuat Adyra parno ketika ia mendekatkan wajahnya. "Emang Andra nggak pernah bilang sama kamu kalau..."

"Kalau apa?!"

"Kalau..."

"KALAU APA, SIH?!"

Adyra sudah mulai kesal. Namun di waktu yang bersamaan kedua matanya membulat lebar. Ia merasakan bulu kuduknya berdiri ngeri ketika mendengar suara dari arah belakang. Secara spontan ia melompat meraih bahu cowok di depannya.

"Itu... apa?" lirih Adyra.

Dimas tak dapat menahan debar jantungnya, ketika ia merasakan kehadiran Adyra di pelukannya. Cowok itu mengambil napas dalam-dalam. Ia tersenyum menatap Adyra. "Cuma ranting patah."

"Serius?"

Dimas mengangguk. Adyra nampak sedikit lega mendengar jawaban seperti itu. Namun, seketika Adyra sadar dengan posisinya yang cukup dekat, ia berusaha melepas pegangannya pada jaket Dimas. Tapi, cowok itu menahan tangannya.

Adyra bergeming. Juga tak mengatakan apapun. Suasana yang hening membuat Adyra bisa mendengar detak jantung Dimas yang bergerak cepat. Bohong jika Adyra tak merasakan debaran yang sama. Ia mengakuinya. Mengakui debaran jantungnya. Namun, ia tahu ini salah. Adyra tak seharusnya melakukan hal ini.

"Ra..."

Suara Dimas terdengar ringan. Sangat lembut ketika melewati pendengaran Adyra. "Apa kita udah nggak bisa kayak dulu lagi?"

Dengan satu sentakan yang cukup keras, Adyra mendorongnya. Ia masih menatap Dimas dengan jarak yang memang sudah seharusnya. Adyra mengepalkan tangan, mencoba mencari kekuatan.

"Kayaknya gue harus pulang. Udah malam."

"Ra..."

Adyra berhenti. Ia berbalik. Melihat tatapan Dimas yang nampak penuh penyesalan, membuat pertahanan Adyra bisa runtuh sewaktu-waktu tanpa sadar. Tanpa mengulur waktu lebih lama lagi, Adyra langsung berbalik meninggalkan Dimas. Ia berjalan sejauh mungkin agar Dimas tak menyusulnya. Namun, di tengah jalan, langkahnya berhenti secara tiba-tiba. Tubuhnya melemas hingga tak sanggup menegakkan lututnya.

Adyra berjongkok sambil memandangi kedua tangannya. "Apa yang udah gue lakuin barusan?"

•••••

Andra membuang napasnya kesal. Adyra tak pernah seperti ini sebelumnya. Apa Adyra ketiduran? Mungkin saja, sih. Tapi... Kenapa perasaan Andra tidak bisa tenang? Ia gelisah. Tak sengaja men-scroll asal ponselnya, ia melihat kontak Dimas. Dengan sedikit keraguan, ia mencoba menghubungi cowok itu. Namun, ia tak mengangkat telepon dari Andra.

Sesaat, ia teringat kembali dengan perkataan Bara. Sialan! Andra bisa gila.

Semua perhatian tertuju pada Andra ketika ia bangkit dari tempat duduknya. "Ada apa?" tanya Reya.

Andra menatap Mamanya. "Ma, aku pulang duluan, ya?"

•••••

Adyra menarik ujung lengan jaket agar menutupi seluruh telapak tangannya. Gadis itu berjalan sambil menunduk memandangi kedua sepatunya. Adyra sudah bertekad. Setelah sampai rumah, ia akan langsung pergi ke kamar untuk tidur dan melupakan semua kejadian barusan. Dan setelah ia membuka mata, Adyra akan menganggap jika tidak terjadi apa-apa. Ketika sampai di pekarangan rumah, Adyra mendadak terperangah.

"Udah pulang?"

Adyra melihat Andra berjalan ke arahnya. "Dari mana malam-malam gini?" tanya Andra.

Adyra berdehem menetralkan keterkejutannya tadi. "Kamu kok di sini? Bukannya lagi makan malam sama keluarga?"

Andra mengangkat satu alisnya. "Dari mana kamu tahu, kalo aku lagi makan malam?" Cowok itu tersenyum. "Perasaan aku nggak ada bilang sama kamu soal itu."

Jantung Adyra mendadak terasa lepas dari tempatnya. Ekspresi Andra benar-benar mengintimidasinya sekarang.

"Aku chat kamu dari tadi, tapi nggak ada kamu read sama sekali. Aku telepon, handphone kamu nggak aktif. Emang kamu abis ngapain, sih? Kamu dari mana?" Andra semakin gencar menanyai Adyra. Melihat Adyra yang tak menjawab apa-apa, membuatnya menaruh sedikit curiga.

Adyra gelagapan. "Aku dari..."

Gadis itu menggantungkan kalimatnya. Tatapannya terarah pada satu titik. Andra ingin tahu apa yang tengah menjadi pusat perhatian Adyra ditengah-tengah ia mengajaknya bicara. Ketika Andra berbalik, ia melihat Dimas berdiri tak jauh dari pandangannya. Cowok itu berjalan mendekati mereka berdua.

"Adyra..."

Dimas tersenyum sambil mengulurkan sebuah benda ke arah Adyra. "Handphone kamu ketinggalan."

•••••