webnovel

Part 50 : Apologize

"Kenapa nggak kasih tahu kalo mau ke sini? Tahu gitu 'kan bisa aku jemput."

Adyra mendekatkan telapak tangannya ke bibir. "Surprise," bisiknya ke telinga Andra. Membuat Andra mengembangkan senyumnya.

"Woahh, Kak Adyra!" Adyra bergerak membalas pelukan Kanya. "Lama nggak ketemu, nih. Kangen."

Tanpa berniat mengabaikan Kanya, Adyra tersenyum sopan seraya menundukkan kepalanya ke arah Arya dan Reya secara bergantian. "Sama, aku juga," sahutnya merespon Kanya.

"Ayo, silahkan duduk."

Melihat Reya bersikap sopan, Adyra jadi canggung. "Ahh, iya. Terima kasih, Bu."

Wanita itu tersenyum tipis. "Kalau nggak di sekolah nggak usah panggil Bu, kamu bisa panggil Tante."

Adyra tersipu ditatap seperti itu. Gadis itu mengangguk.

"Kak Adyra bawa apa, tuh?" tanya Kanya.

"Oh, ini bawa makanan dari rumah, masih ada banyak."

"Kamu masak sendiri?" giliran Arya yang bertanya membuat Adyra tersenyum canggung. "Iya, Om. Kebetulan saya masak sendiri."

"Kamu bisa masak?" Andra berbisik.

"Bisa, dong. Aku 'kan cewek idaman. Masak doang mah, kecil." Adyra menyentil ujung kelingking dengan ibu jarinya.

"Wah, kayaknya enak, nih." Kanya menyenggol lengan Adyra.

Adyra menyendokkan beberapa suap masakan yang dia buat ke piring Kanya. Gadis itu menerimanya suka hati kemudian langsung memakannya. "Kan, udah aku bilang kalo enak!" Semua orang di meja makan tersenyum tipis mendengar Kanya bicara lagi.

Adyra juga menyendokkan beberapa suap untuk Reya dan Arya secara sopan, dan terakhir dia berikan kepada Andra yang tengah duduk di sampingnya. Dimas hanya diam melihat itu semua. Dia tahu, jika Adyra pandai merebut hati orang lain. Termasuk dirinya.

"Saya boleh cobain juga?"

Adyra menoleh. Merasa ditatap lekat, Adyra tak menghiraukan. Dia menyendokkan beberapa suap makanan di atas piring cowok itu.

"Gimana?" Adyra menyenggol lengan Andra menunggu respon dari cowoknya.

"Enak."

Andra urung mengungkapkan ekspresinya karena kalah cepat dengan Dimas. Kelakuannya mengundang perhatian semua orang yang melingkar di meja makan. Tak merasa jadi sorotan, Dimas melanjutkan makanannya dengan santai. Adyra tak tahu jika cowok itu memang sengaja dengan bersikap seakan tak terjadi apa-apa.

"Iya bener, enak banget." Andra menambahi. Membuat raut wajah Adyra terlihat senang kembali.

Di sisi lain, tanpa orang lain ketahui, Dimas mati-matian menahan hasratnya untuk menggebrak meja.

••••

Andra sibuk main PS di ruang keluarga ditemani teriakan Kanya yang mendukung Dimas melawannya bermain bola. Sesekali Andra menutup telinga kala gadis itu berteriak tepat di depan telinganya karena kalah melawan Dimas yang duduk santai dengan senyum bangga di wajahnya. Adyra melihat wajah Andra yang nampak kesal.

Gadis itu menepuk bahu Andra, "Numpang ke toilet, dong." Andra hanya melirik lalu lanjut main lagi.

Adyra mendengus. Kebiasaan cowok memang kalau sudah nge-date sama hobi. Nggak bakal mau diganggu.

Setelah lega buang air kecil, Adyra jadi haus. Gadis itu menuju dapur yang terlihat sepi, lalu mengambil air botolan yang dia dapat di dalam lemari es. Adyra menyeka bibirnya yang basah hingga dia melihat kaki jenjang seseorang yang berdiri di hadapannya. Ketika Adyra mengangkat kepala, dia melihat Dimas.

Cowok itu hanya diam beberapa detik saat kedua mata mereka saling menatap. Setelah itu, Dimas mengeluarkan jus mangga kemasan dari lemari es. Cowok itu berjalan santai mengambil gelas melewati Adyra tanpa menyapanya. Sangat berbeda jauh dengan Dimas yang Adyra temui di rumah sakit tempo hari. Dengan satu tangan yang tidak digips, cowok itu terlihat santai menuangkan jus ke dalam gelas.

Adyra mengembalikan botol kemudian berbalik mengamati Dimas secara terang-terangan. "Masih suka jus mangga?"

Gadis itu memecah keheningan. Namun, yang ada malah suasana jadi semakin canggung karena Dimas mengabaikannya. Entah apa alasannya, Adyra berpikir jika cowok itu sedang kesal. Adyra sangat tahu. Dia hapal tabiat cowok itu.

"Gue ikut berduka," ucap Adyra setelah beberapa saat keheningan menyelimuti mereka.

Dimas langsung berhenti menegak jusnya. Dia menaruh gelas di atas meja, dengan sedikit menimbulkan suara di sana. Dimas menunjukkan senyum tipisnya sebelum menjawab Adyra. "Andra yang kasih tahu?"

Adyra tak menjawab. Lagi pula tak dijawab pun, Dimas sudah tahu sendiri jawaban dari pertanyaannya. Gadis itu mengambil tempat duduk di sebelah Dimas.

"Kenapa lo nggak bilang apa-apa waktu itu?" Adyra menghela napas, "Apa segitu nggak pentingnya, ya, gue buat lo? Lo menghilang secara tiba-tiba setelah memutuskan sambungan telepon. Apa lo nggak tahu seberapa takutnya gue malam itu? Gue sendirian, dan gue kehujanan."

Kelopak mata Adyra terpejam sebentar, "Gue nungguin lo di sana. Gue khawatir, terjadi apa-apa sama lo. Kejutan yang lo kasih benar-benar berhasil. Dan sampai sekarang, gue bahkan belum bisa benar-benar melupakan kejadian di hari itu." Adyra mengakhiri kalimatnya dengan senyuman kernyih.

Dimas mengeratkan pegangan gelas di tangannya. Dimas benar-benar bodoh. Adyra tidak bersalah. Harusnya dia memikirkan akibat dari masalah yang dibuatnya jauh lebih awal, agar dia tak kehilangan sosok Adyra. Dimas menyesal setengah mati. Setelah sekian lama, dia mendengar Adyra mengungkapkan perasaanya. Tentang setahun lalu. Ketika Dimas meninggalkannya. Suaranya yang masih sama lembutnya seperti dulu, entah kenapa membuat batin Dimas terasa nyeri bertalu-talu.

"Maaf," kata Dimas pada akhirnya. Cowok itu sengaja memalingkan pandangannya, takut bersitatap dengan Adyra.

Dimas menghela napas. "Saya nggak tahu apa yang harus saya lakuin waktu itu. Kamu tahu sendiri, Mama itu sangat berharga buat saya. Dan kamu juga sama berharganya. Tapi--saya kacau. Harusnya saya bisa berpikir jernih waktu itu. Kamu nggak bersalah, tapi saya melampiaskan semua itu sama kamu."

Dimas berhenti sejenak. "Saya tahu, saya emang nggak pantes dapat maaf dari kamu, Ra. Saya pikir, kata maaf yang diucapkan seribu kali pun nggak akan cukup untuk menyembuhkan rasa sakit yang saya buat sendiri. Saya tahu kamu marah, saya tahu kamu kecewa."

Dimas menggeratkan gigi, "Dan kamu... berhak membenci saya."

Adyra mengamati manik mata Dimas yang tak mau menatapnya. Gadis itu mendengar nada bicara Dimas yang rendah, seolah menyampaikan seluruh penyesalannya.

Tak diduga, gadis itu menarik lengan sweater Dimas hingga kini cowok itu benar-benar menghadapnya. Dia sudah pasrah. Dimas bahkan sudah bersiap kalau Adyra menampar wajahnya.

"Nggak usah minta maaf."

Dimas bisa mendengar helaan napas Adyra. "Lo nggak salah."

Cowok itu terkejut bukan main. Bola matanya melebar mendengar pernyataan Adyra. Gadis itu terlihat tulus ketika Dimas menangkap sorot matanya. Dia benar-benar Adyra. Adyra yang dia kenal. Adyra yang tidak pernah berubah sampai sekarang. Yaitu, mudah memaafkan.

"Gue pernah ngerasain juga. Gue tahu lo ada di posisi yang sulit waktu itu. Mungkin lo nggak bisa berpikir jernih. Lupain aja. Toh, gue juga lagi berusaha ngelupain semuanya." Adyra memberikan senyum setelah mengatakan kalimat terakhirnya. Senyum yang selalu menenangkan setiap mata yang melihatnya.

Dimas tersenyum. Benar-benar senyum yang sesungguhnya. Dimas merasa lega. Beban yang selama ini dipikulnya kini terasa semakin mereda. Gadis itu bangkit dari tempat duduk dan menuangkan jus mangga ke dalam gelas kosong Dimas. "Semoga lo cepat sembuh."

Dimas merasa Adyra menepuk bahunya. Ketika gadis itu melangkah pergi menjauhinya, Dimas langsung sigap menahan tangan Adyra. Gadis itu berhenti. Saat berbalik, dia melihat Dimas sudah berdiri. Hingga Adyra sempat tertegun sejenak mendengar cowok itu mengatakan sesuatu. Sebuah pertanyaan, yang lebih terdengar seperti sebuah permohonan.

"Apa kita bisa jadi teman?"

••••

Pukul 01.15 dini hari.

Lelaki itu masih tak memejamkan mata. Bukannya tak bisa, dia hanya tak mau saja. Rasanya, malam ini terasa benar-benar istimewa baginya. Dia duduk bersandar di kepala ranjang dengan tangan kiri yang memegang selembar foto kenangan. Dalam foto itu, terlihat sosok wanita dewasa yang cantik tengah duduk di sebuah taman dengan seorang anak kecil. "Maaf, udah bawa-bawa Mama dalam masalah ini."

Jemarinya tak henti-henti mengusap sosok wajah di dalam lembar foto itu. "Aku nggak akan biarin semuanya jadi sia-sia. Aku akan jemput kebahagiaan aku seperti keinginan Mama."

"Aku..." Lelaki itu membuat lengkungan dari sudut bibirnya. "...akan jemput Adyra sebagaimana mestinya."

••••