webnovel

Part 5 : Gelenyar

"Andra!!!"

Cowok yang mengenakan jaket kulit berwarna cokelat itu memutar bola matanya kesal, melihat sosok gadis berkuncir satu yang dengan semangatnya berlari menyetarakan langkah kakinya. Disertai senyum-salam-sapa di depan gerbang sekolah setiap paginya, membuat Andra selalu muak setiap melihat wajahnya.

Hal ini sudah menjadi rutinitas bagi Andra setelah tragedi kotak makan yang membuatnya terpaksa harus memakan makanan dari gadis aneh itu. Tapi, untung saja setelah kejadian itu, dia tidak pernah membahas kotak makannya yang bahkan sampai saat ini masih berada di tangan Andra.

"Gue ke kelas bareng elo, ya?

Andra meliriknya sekilas, tanpa mengeluarkan sepatah kata, dan tanpa menghentikan langkah kakinya.

"Kalo elo diem, gue anggep jawabannya iya."

Adyra tersenyum sumringah melihat reaksi cowok itu belakangan ini. Ya, meskipun Andra masih sering bersikap dingin dan ketus, tapi setidaknya dia tidak pernah menunjukkan penolakannya kepada Adyra.

Seperti saat ini, dia membiarkan gadis itu berjalan dengan santai di sampingnya tanpa menyuruhnya pergi. Karena bagi Andra, walau dia mengusir gadis itu sekalipun percuma. Adyra nggak akan nurut. Daripada membuang-buang tenaga untuk beradu mulut dengannya, lebih baik Andra memilih diam.

Toh, Adyra akan capek sendiri kalo lama-lama dicuekin.

"Istirahat nanti, ngantin bareng yuk!"

Andra menatap lurus ke depan tanpa merespon gadis itu sedikitpun.

"Eh, jangan deh. Nanti gue harus ke perpus buat ngerjain tugas. Ah! Gimana kalo nanti siang kita pulang bareng?"

Andra masih diam tidak peduli.

"Jalan bareng ke taman, yuk! Gimana?"

Hening.

"Atau, mau dinner?"

Cowok itu masih bungkam enggan mengeluarkan suaranya barang sepatah kata saja. Hal ini membuat Adyra bosan setengah mati.

Adyra mencebikkan bibirnya, hingga beberapa detik kemudian gadis itu mendengus napasnya malas.

"Yaudah kalo gitu, nikah aja yuk!"

Sontak Andra menghentikan langkahnya sambil menatap tajam ke arah gadis itu. Bukannya merinding takut, gadis itu malah tersenyum lebar tanpa merasa bersalah sedikitpun.

"Gue bercanda." katanya sambil menepuk bahu Andra. "Lagian, diajak ngomong malah diem aja. Gue ngerasa kayak orang gila tahu nggak, ngomong sendiri!"

"Emang lo gila, kan?"

"Dan elo lebih gila lagi karena mau nyahutin orang gila." Gadis itu terkekeh sambil menepuk-nepuk bahu Andra sedikit keras. Tak ada sahutan lagi dari bibir Andra. Cowok itu malah berjalan lurus dan bersikap lempeng tak peduli.

Adyra mengernyitkan keningnya heran. Se-he-ran-he-ran-nya.

Baru kali ini gadis itu menemui sosok cowok langka seperti Andra.

"Untung sayang."

Eh, tadi gue bilang apa?

•••

"Gue heran tahu nggak sama lo! Yang naksir elo banyak, yang ngejar-ngejar elo juga banyak, tapi elo malah cuek-cuek aja."

Aldo dan yang lainnya menyambut Andra di palang pintu sambil menyenderkan punggungnya. Bahkan diapun tahu apa yang terjadi beberapa menit yang lalu, sebelum Andra sampai di depan pintu kelas.

Apalagi kalo bukan masalah cewek. Kalo nggak disapa, dikasih kado, ya ditembak. Lah! Enak banget kan hidupnya? Tapi sayangnya Andra nggak ada rasa bersyukurnya sama sekali. Dikasih rejeki malah ditolak. 'Bisa nggak sih, posisi Andra diganti sama gue?' Rutuk Aldo dalam hati.

"Merekanya aja yang nggak tahu diri. Dimana-mana, yang ngejar-ngejar itu cowok bukan cewek."

Sahutan singkat dari Andra membuat Aldo, Rio, dan Eric menahan tawanya. "Kalo mereka nungguin lo kejar, keburu lebaran monyet kali"

Celetukan Rio membuat mereka semua terbahak, kecuali Andra pastinya. Andra lebih suka menarik sedikit sudut bibirnya ke atas, hingga membentuk seulas senyum tipis.

"Eh! nyokap lo tuh, Ndra."

Rio mengendikkan dagunya ke belakang punggung Andra dan membuatnya membalikkan badan.

Semua temanya menghadiahi seulas senyum saat bertatapan dengan sorot mata tegas milik Reya. Wanita itupun tak kalah ramahnya. Dia membalas senyum mereka dengan manis. Hingga saat tatapan Reya berhenti tepat di manik mata Andra, entah kenapa dia merasakan ada sorot kebencian di sana. Reya tahu Andra tidak menyukainya, Reya juga tahu jika Andra membencinya. Sementara yang Andra tahu, Reya tidak pernah menyayanginya.

"Jam pelajaran akan dimulai lima menit lagi. Lebih baik kalian masuk kelas sekarang, dan jangan sekali-kali terbesit di benak kalian untuk bolos pelajaran. Kalau kalian masih betah di sekolah ini."

Mereka tersenyum kikuk menanggapi ultimatum yang dicetuskan Reya dengan lugasnya. Sementara Andra, tidak ada ekspresi apapun di wajahnya.

"Kita juga udah mau masuk kok, Bu." kata Eric.

Satu persatu dari mereka kini mulai memasuki ruang kelas mereka dengan tertib. Hingga baru dua langkah Andra berpindah, Reya menggerakkan bibirnya.

"Andra."

Tidak ada nada mengintimidasi dari kalimat Reya. Andra menangkap rasa ketulusan yang ikhlas melalui suara yang terucap dari bibir ibu kandungnya. Andra memiringkan wajahnya hampir menoleh, tanpa membalikkan badannya. Salah satu tangannya mengepal di samping tubuhnya. Ciri khas Andra, saat dia tengah berperang dengan egonya untuk menahan emosi. Tapi jika berhadapan dengan Reya, semua pertahanannya seakan runtuh. Emosinya bisa meledak kapan saja.

Hingga beberapa saat setelah itu, Andra memilih untuk melenggang pergi tanpa sekelumit katapun yang mencelos dari bibirnya.

Reya menatap punggung Andra yang kian menjauh dari pandangan matanya, lalu menghembuskan napas beratnya sejenak.

"Maaf."

•••

Hening.

Gadis itu bertopang dagu di atas meja dengan mimik frustasi. Mata pelajaran Fisika sudah berhasil membuatnya mabuk kepayang, hingga lehernya terasa tak sanggup lagi menopang bobot kepalanya, yang sudah berisi rentetan angka yang berputar-putar di sekeliling otaknya.

Bukan soal ulangan saja sudah membuat kepala Amy terasa pecah hingga terasa nyeri yang menjalar di bagian tengkuknya. Apalagi ulangan?

"Kusut amat tuh, muka."

Adyra tersenyum kernyih ke arah wajah kusut Amy, sambil merapikan tumpukan buku yang berserakan di atas mejanya. Amy tidak menampik sedikitpun penyataan Adyra yang menurutnya benar. Alhasil, dia memilih diam tak menggubris sambil menunggu bel pulang berdengung nyaring.

'Krriiiiiiiiiinnggggg

"Ya Tuhaaaannnn... Akhirnya pulang juga!" Amy berteriak histeris hingga membuat seisi ruangan menatap ke arahnya.

Untung saja Bu Etik sudah kembali ke ruang guru beberapa menit yang lalu. Jadi, dia terbebas dari omelan Bu Etik yang sangat membosankan di telinga.

"Ra," Amy melirik teman sebangkunya sekilas. "Gue balik duluan sama Siska, ya? Kepala gue mumet, sumpah."

Adyra hanya mengangguk sekilas, lalu mengalihkan pandangannya ke arah ponselnya.

Gadis itu berjalan dengan santai menuju gerbang sekolah dengan sesekali menempelkan ponsel di telinganya untuk menghubungi Andi agar segera menjemputnya pulang dari sekolah.

Hingga saat gadis itu hampir sampai di depan gerbang, dia melihat sosok Andra yang tengah duduk santai di sebuah bangku di pinggir lapangan basket. Seulas senyum mengembang dengan sempurna di wajah cantiknya.

Gadis itu menyimpan ponsel di saku rok abu-abunya, lalu beranjak menghampiri Andra yang terlihat sibuk berkutat dengan sebuah buku di tangannya.

Sejenak, gadis itu mengernyit. Sejak kapan cowok bandel kayak dia baca buku?

Adyra mengendikkan bahunya acuh. Masa bodohlah dengan apa yang dilakukan Andra saat ini. Toh Adyra juga tidak peduli.

"Andra sayang."

Adyra membelalakkan matanya kaget saat suara manja yang terkesan dibuat-buat itu mendengung jijik di telinganya.

Jangan berpikir itu suara Adyra. Terkadang, Adyra memang suka bersikap hiperaktif di depan Andra. Tapi jika bersikap genit seperti gorilla kegatelan itu bukan tipe Adyra banget.

Sumpah itu bukan suara gue! Batin Adyra berteriak.

Gadis itu mengurungkan niatnya menghampiri Andra saat ada seorang cewek ber-make up tipis yang masih terlihat cantik itu duduk manis di sebelah Andra.

Kalo nggak salah, namanya Cinta. Cewek populer di sekolah yang selalu mengagungkan image daripada kecerdasan otak.

Cewek itu bergelayut manja di lengan kanan Andra. Tapi, bukan Andra namanya jika dia tidak akan bersikap acuh seperti biasanya.

"Andra, pulang bareng yuk! Gue tahu lo belum pulang karena nungguin gue, kan?"

Adyra berdecih. 'Pede banget.'

"Ngapain sih, lo! Jauh-jauh sana!"

Adyra mengulum senyum saat melihat perlakuan jutek Andra kepada cewek itu. Tapi, tentu Cinta tidak akan tinggal diam saja menerima penolakan Andra. Dia malah makin mengeratkan pelukannya di tangan Andra.

Gelenyar aneh yang menjalar di rongga dada Adyra, membuat wajahnya memerah geram. Adyra memutar otak agar bisa mengusir cewek itu menjauh. Hingga beberapa saat setelah itu, sebuah ide brilian muncul di pikirannya.

"Hai."

Adyra menghampiri Andra dengan senyum manis khasnya yang tidak pernah luput dari wajahnya. Andra hanya meliriknya sekilas, lalu lebih memilih acuh dan beralih ke sebuah buku di tangannya.

"Siapa lo?" tanya cewek di samping Andra penasaran.

Adyra melirik cewek itu sejenak, lalu mengedipkan sebelah matanya ke arah Andra seperti memberi kode. Andra membalasnya dengan mengangkat satu alisnya.

"Gue? Ehmm..." Adyra berhenti sejenak seolah berpikir. "Oh, iya lupa. Gue ke sini mau tanya sesuatu."

"Tanya apa?" tanya cewek itu tidak sabaran.

"Engg...kalian berdua lihat Sweety gue nggak? Dia tadi lari ke sini deh kayaknya. Tapi dimana ya?"

Andra mengerutkan keningnya bingung. 'Ini cewek mau apa, sih?'

"Sweety?" Cinta terdiam sejenak seolah berpikir. "Sweety siapa?"

"Sweety...tikus gue."

"Oh, cuma tik-WHAT?? TIKUS?"

Cewek berambut panjang itu membelalakkan matanya kaget saat Adyra menyebut kata tikus dalam kalimatnya. Tiba-tiba wajahnya memerah seperti kepiting rebus. Dan dia terlihat lebih antisipasi sekarang.

Andra menatap Adyra kagum saat melihat perubahan ekspresi Cinta yang mendadak pucat pasi.

"Iya, gue punya tikus peliharaan. Namanya sweety. Bukan tikus got kok, tenang aja. Dia lucu banget malah. Kayak tikus anggora!"

Andra mengangkat sebelah alisnya. Emang ada tikus anggora?

"Astaga!! Itu tuh, Sweety gue udah ketemu."

"Di-dimana?" tanya cewek itu takut-takut.

"Itu!! Ada...di kaki lo."

"WHAT?!! Aaaaaa!! Tikus, Ndra! Tikus!" cewek bernama Cinta itu mencak-mencak ketakutan, sampai naik ke atas bangku. Adyra mengulum senyumnya berusaha bersikap biasa saja padahal tawanya sudah ingin meledak saat itu juga. Adyra melirik Andra sekilas seolah berkata, "Bagus kan, ide gue?"

"Cepetan ambil tikusnya!!! Gue takut!!"

"Kayaknya dia suka sama lo, deh. Dia nggak mau keluar dari kolong meja soalnya. Jadi, susah gue ngambilnya." jawab Adyra dengan tampang serius yang jelas dibuat-buat.

"Terus gue harus gimana??"

"Ya, menurut gue sih...lari."

"Lari?"

Cewek itu menelan ludahnya takut. Dia sedikit melirik ke bawah kakinya, lalu sejurus kemudia dia melompat dari bangku sambil lari terbirit-birit, meninggalkan Andra dan Adyra tanpa sepatah katapun.

"Hahaahahahaha!!! Apa deh! Sama tikus aja takut!"

Tawa Adyra meledak seketika melihat ekspresi cewek itu yang ketakutan setengah mati. Sekilas Adyra melihat lekuk bibir Andra yang mengulum senyum tanpa memandang ke arahnya. Seketika itu juga, Adyra menghentikan tawanya dan digantikan dengan seulas senyum cantiknya.

"Cewek manja kayak gitu mah, nggak pantes sama lo." Gadis itu menyeringai. "Pantesan juga elo sama gue."

Gadis itu tersenyum, menunjukkan deretan gigi rapinya. Sementara Andra, sudah pasti dia menatap Adyra sama seperti hari-hari biasanya, acuh tak peduli.

Tapi bukan Adyra jika dia menyerah begitu saja. Sejak mengenal Andra, dia lebih sering tersenyum daripada menangis seperti biasanya. Dia lebih sering ceria daripada murung seperti biasanya. Dan itu semua membuat perasaannya yang mulanya biasa saja mulai berkali-kali lipat tumbuhnya, hingga perlahan mengikis kerinduannya kepada sosok masa lalunya.

Andra menutup cover bukunya, lalu beranjak pergi meninggalkan Adyra tanpa tertarik sedikitpun untuk merespon banyolan Adyra yang menurutnya tidak penting. Saat dia baru saja melewati gadis itu, tiba-tiba langkahnya terhenti. Lengan kanannya terasa berat. Cowok itu melirik tepat pada telapak tangan Adyra yang terpaut dengan sengaja di lengannya.

Andra menatap mata itu lagi. Sorot mata meneduhkan itu menatap mata dinginnya dengan kehangatan yang terasa menjalar sampai rongga dadanya. Andra tersentak dari lamunanya, sejenak setelah bibir merah merekah itu bergerak.

"Kalau kamu bisa menutup hati untuk semua orang di luar sana, aku yakin kamu juga bisa membuka hati untuk satu orang saja. Aku tidak banyak berharap, karena aku juga belum tahu pasti ini perasaan apa. Tapi asal kamu tahu, kadang hati juga perlu direspon. Karena saat sekali saja kamu mengacuhkannya, bisa saja itu akan menjadi satu-satunya alasan mengapa penyesalan itu ada."

Adyra tersenyum getir, lalu melepas pagutan tangannya di lengan Andra.

Tubuhnya kaku seketika. Saraf otaknya seakan berhenti berfungsi secara bersamaan dengan rentetan kalimat singkat yang meluncur dari bibir Adyra. Andra tertegun, sambil melirik tepat dimana letak jantungnya berada. Ini aneh! Baru kali ini ada seseorang yang bisa membuat jantungnya terasa aneh hanya dengan ucapan bibir saja.

Cowok itu menatap punggung Adyra yang semakin lama semakin menjauh. Andra tahu, gadis itu berbeda dengan gadis-gadis kebanyakan yang sering Andra temui.

Mata besarnya selalu meneduhkan bahkan saat dia menerima perlakuan dan perkataan kasar Andra.

Bibir merah merekahnya bahkan tidak pernah lupa menyunggingkan senyum saat bertatap mata dengan Andra.

Tapi, hal itu masih tak bisa meluruhkan dinding kokoh yang telah dibuat Andra. Baginya, perihal Cinta itu omong kosong. Ketulusan hanya kata tipuan untuk mendapatkan hal yang diinginkan.

Semua itu hanya kebohongan semata. Mereka hanya ber-akting seolah-olah benar-benar cinta, tapi sebenarnya tidak.

•••