webnovel

Part 49 : The Guest

Adyra menatap kosong ke samping pria yang tengah sibuk dengan teleponnya. Gadis itu mendengus. Makanan di hadapannya sama sekali tak tersentuh ke mulutnya. Adyra hanya sibuk membuat suara denting dari sendok dan garpu di atas piring. Padahal Adyra tadi sudah capek-capek memasak untuk menghilangkan mood yang super duper buruknya. Namun, ternyata masih tidak mempan juga.

"Kok nggak dimakan?" ucap pria itu setelah menjauhkan ponselnya dari telinga.

Adyra bertopang dagu, sambil mengangkat pandangannya. "Nggak nafsu makan, Pa. Nggak tahu kenapa."

Andi mengangkat satu alisnya. "Tumben kamu nggak nafsu sama masakan kamu sendiri. Papa aja nambah terus, nih." Pria itu menunjukkan piringnya membuat Adyra tersenyum.

Gadis itu tak berkata lagi sampai ponsel Papanya berdering kembali. Pria itu kembali sibuk dengan ponsel dan Adyra masih betah memainkan sendoknya di atas piring.

"Malam ini?" Pria itu melirik Adyra. "Apa nggak bisa ditunda sampai besok pagi, Pak?"

"..."

Walau dengan kondisi setengah fokus, Adyra bisa mendengar suara helaan napas dari pria di hadapannya. "Baik, Pak. Saya akan ke sana secepatnya."

"Ada apa, Pa?"

Andi menaruh ponselnya di atas meja. "Ada sedikit masalah di kantor. Dan Papa disuruh ke sana secepatnya."

Adyra menekuk bibir. "Yah, padahal baru sejam lalu Papa pulang dari kantor. Udah mau pergi lagi, nih?"

Tangan pria itu terulur mengusap puncak kepala Adyra. "Iya, maaf. Papa jadi nggak bisa nemenin kamu main PS, deh."

"Iya nggak papa."

Melihat wajah murung Adyra, Andi jadi merasa bersalah. Pria itu kembali melanjutkan makan malamnya sampai ponsel Adyra berdering dan menyita perhatiannya.

Adyra membelalakkan mata. Sorot mata sayunya tadi sudah berganti menjadi sangat berbeda. Melihat perubahan ekspresi Adyra, Andi mengernyitkan dahinya. "Kenapa?"

Adyra menurunkan ponsel yang menutupi wajahnya lalu menatap Andi sambil menggigit kecil bibir bawahnya. "Nanti Papa 'kan mau ke kantor, Adyra mau sekalian bareng boleh, nggak?"

"Emang kamu mau ke mana malam-malam gini?" tanya Papa penuh selidik.

"Mau ke rumah... temen?"

Papa menangkap jelas keraguan dari nada bicara Adyra. "Temen apa temen?"

Adyra mencebikkan bibir. "Iya, deh. Ke rumah Andra, Pa--"

"Ngapain?" potong Papa tanpa basa-basi.

"Ya... dari pada aku di rumah sendirian kan lebih baik main ke sana ada temennya. Lagian, nih, Pa, rumah Andra itu rame, kok. Ada adek perempuannya juga." Adyra berusaha meyakinkan.

Papa mengangkat satu alisnya. "Kenapa nggak suruh Andra aja yang datang ke sini? Ngapain kamu repot-repot ke sana?"

"Papa yakin nyuruh aku ngundang dia ke sini?" Adyra memincingkan mata, "Di rumah ini 'kan cuma ada aku sama Papa. Entar kalo Papa pergi, tinggal aku berdua ama Andra doang, dong? Papa yakin mau ngijinin?" Adyra mengangkat kedua alis hiperbolis membuat Papa menatap begidik ngeri.

"Nggak usah! Papa antar kamu ke sana aja."

Adyra tersenyum menang. "Oke, aku siap-siap dulu."

Setelah bangkit dari kursi, Adyra sempat membuat gestur kiss bye hingga membuat Papanya mengedip keheranan.

••••

Dimas menutup pintu dan memasuki sebuah ruangan bercat putih lengkap dengan single bed berukuran sedang. Cowok itu berjalan seraya mengedarkan pandangan. Dia tak melihat banyak pernak-pernik di sana. Hanya ada lemari pakaian dan sebuah meja belajar. Dimas menangkap beberapa foto di balik bingkai figura yang terpajang di atas meja. Beberapa juga ada yang tertempel di dinding dengan penataan yang cukup rapih.

Cowok itu menyusuri satu-persatu foto tersebut dan banyak menemukan foto masa kecil Andra bersama Kanya. Beberapa juga ada foto Andra yang memenangkan trophy perlombaan basket dengan teman-temannya. Namun, pandangan Dimas terhenti ketika dia melihat sebuah foto hitam putih yang menampakkan dua anak laki-laki yang sedang memegang bola. Dimas tahu betul tentang foto tersebut. Itu potret dirinya bersama Andra ketika bermain bola di halaman rumah Dimas. Cowok itu menaikkan sudut bibirnya seperti membentuk senyum namun sama sekali tak terlihat seperti senyum bahagia.

Lalu Dimas berpindah pada meja belajar Andra. Dia duduk di kursi dan menemukan ponsel Andra tergeletak di atas meja. Tangannya bergerak menyentuh ponsel tersebut. Entah kenapa, dia ingin mengetahui sesuatu di dalamnya. Dimas tahu ini privasi, tapi dia tak begitu peduli.

Ponselnya terkunci. Namun, Dimas bisa dengan mudah menebak sandi apa yang Andra masukkan dalam ponselnya. Yaitu, hari ulang tahun mamanya. Dimas tahu, sebenci-bencinya dulu Andra dengan mamanya, wanita itu akan selalu jadi nomor satu untuk Andra.

Begitu sandinya terbuka, raut wajah Dimas berubah datar namun tak lama kemudiam, dia terkekeh melihat wallpaper Andra. Foto candid Adyra.

Cowok itu langsung melempar ponsel ke atas meja bersamaan dengan munculnya Andra dari balik pintu. "Ngapain lo?"

Dimas berbalik dan memasang senyum manisnya. "Cuma lihat-lihat aja."

Alis kanan Andra terangkat. Dia berjalan mendekati Dimas dan memungut ponselnya dari atas meja. "Kamar lo nyaman juga," ucap Dimas seraya berdiri menyejajarkan tubuhnya dengan Andra.

"Kenapa? Lo mau tidur di sini?"

"Emang lo mau berbagi kasur ama gue?"

"Enggak!" Andra melirik skeptis. "Lo kalo tidur kayak lagi demo, rusuh! Yang ada entar gue ditendang waktu lagi enak-enakan tidur. "

Dimas terkekeh, "Nah, itu tahu."

"Turun sana! Udah waktunya makan malam."

Dimas mengangguk singkat lalu berjalan melewati Andra. Saat sudah sampai di depan pintu, cowok itu berbalik sebelum menyentuh kenopnya.

"Ndra."

Andra menoleh. "Thanks, karena udah bawa gue tinggal di sini."

Andra menghampiri Dimas seraya menepuk bahunya. "Gausah berterima kasih. Lo udah gue anggep sebagai saudara, dan jadi bagian keluarga gue juga."

Sudut bibir Dimas terangkat. Dia melirik tangan Andra di bahunya sebelum kembali menatap Andra. "Selamat bertemu di meja makan."

Setelah berada di depan pintu, Dimas membukanya, kemudian berhenti sejenak dan mengambil napas sedikit panjang. Dia sempat menyelipkan seringai tipis dari kedua ujung bibirnya.

"Semoga lo nggak akan menyesal sama ucapan lo barusan."

••••

"Wah, Papa ikut makan malam lagi hari ini?"

Arya tersenyum melihat antusiasme Kanya. Tangannya jadi gemas terulur mengusap kepala gadis itu. "Iya, dong. Mulai hari ini, Papa bakal selalu menyempatkan buat makan malam sama kalian. Bukan cuma makan malam, kalau ada waktu kita pergi liburan gimana?"

"Woahh, beneran?"

Merasa sama gemasnya, kini giliran Reya yang mencubit kecil pipi anak gadisnya. "Iya, Sayanggg! Udah sekarang, Kanya makan dulu yang banyak, biar cepet gede. Oke?" sahut Reya sambil menyendokkan nasi ke piring Kanya.

Kanya meniup poninya sambil mencebik kesal. "Ihh, Mama. Kanya udah gede, tahu."

Andra berdecak. "Gede apaan? Malam-malam ke kamar mandi aja nggak berani, tuh. Masa udah gede sama setan aja takut."

Tak lama, cowok itu mendelik melihat Kanya melempar kulit pisang ke wajahnya. "Asem kamu, ya! Minta dipiting emang!" Andra hampir berlari membantai Kanya kalau Reya tak sigap menahan bahunya.

"Aduh, udah-udah berantemnya... Nggak malu dilihatin sama Dimas, tuh," kata Reya menengahi.

Dimas hanya tersenyum melihat interaksi kakak-beradik yang masih sibuk meledek sambil menjulurkan lidah.

"Ada tamu, ya?"

Reya yang mengerti ucapan Arya langsung dengan sigap meletakkan wadah berisi nasi yang ada di tangannya. "Biar Mama yang buka--"

"Biar Dimas aja, Tante."

Reya menatap Dimas, "Kamu kan juga tamu di rumah ini. Biar Tante yang buka pintunya."

Dimas langsung berdiri seraya tersenyum sopan. "Nggak papa. Tante lanjutkan makan aja."

••••

Adyra mengetukkan jari. Dia berdiri sambil mengintip di jendela kaca rumah Andra yang terlihat gelap. Gadis itu melihat seorang berperawakan mirip lelaki tengah berjalan menghampiri pintu.

Adyra langsung menegakkan tubuhnya, sambil memegang erat kotak makan yang dia bawa. Dan ketika pintu terbuka, dia disambut dengan wajah terkejut dari seseorang di hadapannya.

Adyra hanya diam tak berkata apa-apa. Lagi pula, dia sudah tahu jika Dimas tinggal di rumah Andra.

"Boleh masuk, kan?" ujar Adyra pada akhirnya, seraya membuat senyum di bibirnya.

••••