webnovel

Part 47 : Sebuah Ruangan

"Ya ampun, Caca! Kamu dari mana aja? Papa bingung dari tadi cari kamu nggak ketemu. Papa khawatir sama kamu."

Caca memunduk menyembunyikan wajah, ketika Papanya yang tiba-tiba muncul dan langsung memeluknya erat. "Tadi Papa bilang tunggu kan, mau ambil barang dulu di bagasi?"

"Maafin Caca." Caca melengkungkan bibir ke bawah menyesal. "Caca mau cepat-cepat kasih hadiah ke Mama, biar Mama cepat sembuh."

"Maafkan anak saya, ya? Kalau dia nyusahin kalian." Pria dewasa itu menatap Adyra dan Dimas bergantian seraya tersenyum dengan wajah merasa bersalah.

Adyra sempat mengangguk dan tersenyum sebelum merendahkan tubuhnya menyejajari tinggi bocah di depannya itu. "Ini kalung Caca, Kakak balikin. Jaga baik-baik, ya! Jangan sampai hilang lagi."

Caca menerima benda itu dari tangan Adyra dengan binar di matanya. "Makasih ya, Kak!"

Setelah Caca dan ayahnya hilang dari pandangan, suasana rumah sakit yang memang cukup sunyi, membuat kecanggungan tercipta dengan sendirinya. Berselang cukup lama, hingga Adyra benar-benar mengangkat pandangannya dan bersitatap dengan kedua mata yang melengkung bak bulan sabit karena tersenyum. Adyra mengalihkan pandangan sempat terpana untuk beberapa saat.

"Saya nggak nyangka kamu ada di sini." Dimas sungguh tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. Bibirnya tak ingin berhenti tersenyum saat melihat Adyra.

Adyra menghela napas lalu tersenyum sekenanya. "Maaf, karena udah sembarangan masuk kamar pasien. Permisi."

"Kamu nggak ingat saya?" tepat di saat itu juga langkah Adyra terhenti setelah melewati tubuh lelaki di hadapannya.

Dimas menatap punggung Adyra yang mematung di hadapannya. Dimas sudah tahu kalau akan jadi seperti ini pada akhirnya. Hingga dia tak terlalu terkejut dengan reaksi Adyra setelah bertemu dengannya. Dari kejauhan, Dimas sempat melihat Andra berjalan menuju ke arahnya. Sudut bibirnya terangkat.

Gadis itu spontan menepis tak sengaja ketika Dimas menyentuh pergelangan tangannya. Saat Adyra berbalik, dia menemukan Dimas yang menunduk terlihat mengernyit kesakitan.

Dengan gerakan refleks, Adyra menahan bahu Dimas ketika lelaki itu terlihat kehilangan keseimbangannya.

"Adyra?"

Gadis itu menoleh, bersamaan dengan suara berat Andra yang melewati indera pendengarannya.

•••••

Andra duduk diam seraya menatap Adyra. Tatapannya memang mengarah pada satu arah saja. Namun, entah kenapa pikirannya melayang kemana-mana.

"Keadaan pasien baik-baik saja. Mungkin, hanya sedikit kelelahan dan butuh istirahat," kata dokter wanita itu sambil tersenyum. "Saya tinggal dulu."

Andra mengangguk seraya memberi jalan. Cowok itu beralih menatap Dimas setelah dokter itu sudah benar-benar menghilang.

"Gue bisa jelasin," Dimas membela diri.

Andra menatap Dimas sebentar hingga beralih menatap Adyra yang terlihat sibuk dengan ponsel dan acuh dengan keadaan sekitar. Sejenak, cowok itu menatap Dimas dan Adyra secara bergantian.

"Udahlah, lupain aja. Mending lo makan sekarang, dan nggak usah banyak protes. Gue mau ngobrol sama cewek gue."

Dimas menaikkan sudut bibir, saat melihat Andra menyeret sebuah kursi untuk Adyra agar duduk di sebelahnya. Dimas tak nafsu makan. Entah kenapa perhatiannya lebih tertarik mengamati percakapan mereka berdua. Walau sebenarnya pemandangan itu terasa sedikit mengganggu untuk Dimas sendiri.

"Jadi, nyokapnya Bara sakit?"

Adyra mengangguk. "Aku juga baru tahu dia dirawat di sini."

Alis kanan Andra terangkat, "Kebetulan banget."

Dimas tersenyum kernyih. Kebetulan katanya?

"Kamu jenguk dia, ya? Kamu kan udah jadi temannya Bara juga."

"Siapa yang bilang?"

Adyra memutar bola mata membuat gestur seperti berpikir. "Hm, kayaknya nggak ada, sih."

Andra terkekeh melihat ekspresi Adyra yang terlihat lucu dengan tatapan polosnya. "Tapi, kalian kan udah jarang berantem."

"Jarang berantem bukan berarti udah berteman, kan?"

Adyra mendengus. "Tapi kan dia teman aku. Teman aku, teman kamu juga."

"Kalo aku nggak mau?" Andra mulai menggoda.

Adyra mengangkat bibir atasnya. "Kalo nggak mau, jauh-jauh sana! Nggak usah deket-deket," balas Adyra sambil mendorong jidat Andra dengan jari telunjuknya.

Mendadak semakin gemas, Andra mengacak-acak rambut Adyra dan mendekatkan dahinya sekilas hingga menempel di dahi Adyra sambil tertawa. Dan entah kenapa melihat Andra tertawa membuat Adyra secara refleks ingin tertawa juga.

Dimas berdehem memberi jeda di antara interaksi mereka. Andra menggaruk tengkuknya, memberi sedikit jarak dari Adyra sambil tersenyum salah tingkah. "Sorry... gue lupa sih, kalo ada lo."

Dimas terlihat senyum memaklumi. Namun yang tertangkap dari sudut mata Adyra malah terlihat seperti memiliki arti yang berbeda. Adyra sendiri tak sadar jika masih ada Dimas di antara mereka. Saat bersama Andra, Adyra seolah melupakan semuanya. Beberapa kilas kejadian sebelumnya dan pikiran-pikiran yang membuncah di kepalanya, Adyra seakan tak ingat apa-apa.

"Eh, ponsel gue mana, ya?" Andra meraba saku jaket dan celananya.

"Coba inget-inget, deh. Tadi kamu taruh di mana?"

Andra melihat Adyra sekilas sambil mengingat-ingat. "Nggak tau."

"Coba cari di atas meja, atau keselip di bawaan lo tadi, kali." Dimas memberi saran dan Andra mengikutinya. Saat Andra terlihat mengacak barang bawaannya, dia teringat sesuatu.

"Kayaknya ketinggalan di dalam mobil, deh." Andra menyisir rambut ke belakang. "Aduh, kok gue bisa lupa, sih? Gue ambil dulu, ya!"

"Eh! Aku... ikut, ya?" Adyra langsung berdiri dan menatap Andra. Dalam hati, berdo'a agar cowok itu mengiyakan ucapannya. Adyra tak mau terjebak dalam sebuah ruangan dengan seseorang yang membuatnya canggung dan diam seribu bahasa.

"Nggak usah, aku parkirnya jauh. Kamu tunggu di sini aja. Temanin dia."

Seketika harapan Adyra seolah terhempas begitu saja.

"Tapi--"

"Aku nggak lama, kok. Nanti balik lagi."

Adyra berniat menahan lengan Andra, namum cowok itu lebih cepat darinya. Andra sudah berlari pergi dari ruangan ini meninggalkan Adyra... sendirian?

"Pasti canggung banget, ya?"

Dimas angkat bicara setelah sekian menit Adyra membelakanginya dan hanya melihat ke arah pintu.

"Atau... karena kamu emang nggak suka ya, ketemu sama saya lagi?"

Adyra menghela napas sebentar kemudian memutar badan. "Gue keluar sebentar."

Gadis itu ingin segera ke luar. Namun, ujung lengan bajunya tiba-tiba ditarik hingga membuat langkahnya mau tak mau terhenti. "Kenapa?"

"Sebelum kamu pergi, boleh minta tolong sesuatu?"

Adyra mengernyit dahi.

••••

Dimas tersenyum mengamati Adyra yang tengah duduk tak jauh di samping tubuhnya. Dimas yakin, jika cara ini memang berhasil. Dan Adyra tidak akan menolaknya. Setidaknya, Dimas bisa menahan Adyra sedikit lebih lama bersamanya. Walau hanya untuk beberapa saat.

"Makasih, karena kamu nggak nolak permintaan saya."

Dimas masih betah menatap Adyra. "Kamu tahu sendiri, kan? Tangan kanan saya digips. Jadi, gimana bisa saya ngupas jeruk cuma pakai satu tangan?"

Mendengar Dimas tertawa renyah, Adyra mendengus. Gadis itu masih fokus berkutat pada sebuah jeruk di tangannya. Adyra tahu kalau ini hanya bisa-bisanya cowok itu saja biar Adyra tak jadi pergi menyusul Andra. Lagian napa gue nurut, sih?

Adyra semakin cepat mengupas jeruk yang ada di tangannya dengan cepat agar dia bisa segera keluar dari tempat terkutuk ini.

Gadis itu menaruh buah yang sudah terkupas itu di atas piring kemudian langsung berdiri berniat segera pergi. "Udah, tuh. Gue pergi dulu--"

"Bisa kupasin satu lagi?"

Adyra mengernyit berniat protes. Namun ekspresi wajah Dimas yang terlihat memelas membuat Adyra mau tak mau harus duduk lagi. Tangannya meraih sebuah jeruk lagi dari kantong plastik dengan kesal. Saat Adyra tengah mengupas, dia sempat melirik Dimas di balik bulu matanya yang lentik. Lelaki itu masih menatap dirinya sambil tersenyum.

"Tambah satu jeruk lagi, boleh?"

Adyra sudah cukup kesal dan berusaha setengah mati untuk tidak memaki cowok itu di sini. Adyra merasa dipermainkan.

"Kamu tahu kan, saya suka banget makan jeruk. Tapi, kalau kamu nggak mau juga nggak papa, sih." Dimas terlihat memelas lagi ketika Adyra mengangkat pandangan. Lelaki itu tersenyum puas saat Adyra mengambil alih sebuah jeruk yang ada di genggamannya.

Adyra menggemelatukkan giginya keki. Andra ke mana, sih? Ambil hape aja lamanya seabad. Dia ambil hape apa hibernasi?

"Masih ada berapa jeruk lagi yang mau dikupas? Atau mau semuanya aja sekalian?" nada bicara Adyra terdengar ketus di telinga Dimas.

Untuk pertama kalinya, Adyra berbicara dengan Dimas seraya menatap mata lelaki itu. Adyra melihat Dimas tersenyum tipis.

"Nggak usah." Ekspresi Dimas seketika berubah. "Udah cukup, kok."

Adyra mengambil tas selempangnya, kemudian berdiri dan langsung pergi tanpa mengucapkan apa-apa.

"Saya mau bilang terima kasih," Adyra terhenti bersamaan dengan tangannya yang sudah sampai menyentuh ganggang pintu. "Andra bilang, kamu juga ikut ngerawat saya waktu saya masih belum siuman. Saya juga mau berterima kasih karena kamu udah bantuin saya kupas jeruk-jeruk ini, walaupun kamu tahu niat saya sebenarnya apa."

Adyra meremas ganggang pintu kuat-kuat. "Saya senang, bisa ketemu sama kamu lagi, walaupun cuma sebentar."

Adyra langsung menarik ganggang pintu dan membukannya. Setelah pintu terbuka, kakinya terasa melemas. Punggung Adyra tersandar di balik pintu, seraya mengambil napas panjang-panjang karena rongga dada yang mendadak menyesakkan.

Pandangan Adyra lurus ke depan. Namun nampak kosong. Hingga seseorang tiba-tiba muncul dari balik pintu dan berdiri tepat di hadapannya dengan ekspresi yang sama terkejutnya dengan Adyra.

Itu Andra.

••••