webnovel

Part 46 : Si Penelepon, Kunjungan, dan Sebuah Kalung

Bara tertunduk lesu di sebuah kursi. Matanya sudah memerah. Cowok itu berusaha menahan jatuh air matanya.

Bara menyisir rambut dengan jari tangan, seraya meremasnya pelan sekadar menyalurkan kekesalan. Dia menghela napas, dan mengembuskannya perlahan berharap sesak di dadanya bisa segera menghilang.

Bara mengangkat kepala dan memeriksa ponselnya yang berkedip. Ketika Bara memungut benda pipih yang tergeletak di atas ranjang itu, dia langsung teringat seseorang.

••••

Keadaan langit yang agak mendung di siang hari ini, membuat suasana jalan tak sepanas biasanya. Namun, hal itu nyatanya tak selaras dengan kening Adyra yang terlihat berkeringat.

Adyra berjalan dengan pandangan lurus ke depan. Seraya menggenggam ponselnya dengan tangan kanan. Gadis itu mengulurkan tangannya untuk menyeberang di tengah jalanan. Ketika tubuhnya sudah berdiri tepat di depan kafe, langkahnya seketika terhenti.

Adyra tak tahu apa yang akan dia lakukan setelah ini. Pikirannya tertuju pada satu tempat hingga membuat tubuhnya seolah bergerak dengan sendirinya menuju tempat ini.

Gadis itu mengulurkan tangan, menyentuh pintu kaca yang berada di depannya sekarang. Adyra mendorong pintu itu agar dia bisa masuk. Setelah berada di dalam kafe, gadis itu mengedarkan pandangan. Dia mengamati setiap orang yang tertangkap bola matanya dengan seksama sambil berjalan.

Tanpa sengaja, Adyra menyenggol seorang pelayan kafe yang berjalan dari arah berlawanan. Gadis itu menundukkan kepala untuk meminta maaf. Beruntung secangkir kopi panas yang dibawa pelayan tadi tak jatuh menumpahi tangannya. Usai pria tersebut meninggalkan Adyra, gadis itu kembali pada tujuan utamanya. Namun sampai sekarang, Adyra masih tak menemukan apa-apa.

Adyra menghela napas, "Gue ngapain, sih? Orang nggak jelas gue ladenin!"

Seharusnya Adyra tak perlu terlalu memikirkan sesuatu yang tidak penting seperti ini. Pikirannya terlalu jauh. Adyra melihat sekilas ponsel yang ada di genggamannya, kemudian mendengus pelan.

Gadis itu memutar badan, berniat meninggalkan tempat ini dan segera pulang. Namun, langkahnya terhenti. Ketika pandangan mata Adyra menangkap seseorang yang tengah duduk memunggunginya. Adyra tak tahu apa yang tengah mengendalikan tubuhnya sekarang. Gadis itu berjalan menghampiri seseorang itu tanpa keraguan sama sekali. Tangannya terulur untuk menepuk pundak tegap itu. Seseorang itu terlihat seperti menyadari kehadiran Adyra. Dia memutar badan, dan berdiri tepat di hadapan Adyra.

Adyra melihat orang itu menyeringai, "Lo..."

••••••

Adyra menerima segelas lemon tea dingin dari seseorang. Salah satu tangannya menyentuh permukaan gelas, dan satu tangan lainnya terkepal lemah di atas meja. Pandangan Adyra nampak kosong, dan bibirnya terkatup rapat seakan enggan mengatakan sepatah katapun.

"Maaf..." Lawan bicaranya membuka suara. "Karena selama ini gue sering gangguin lo."

Selang beberapa detik, lelaki itu tersenyum nampak lega. "Dan makasih karena udah mau datang."

Adyra masih diam. Tangannya bergerak mengangkat gelas dan mengalirkan sedikit lemon tea tersebut dalam kerongkongannya. Gadis itu menelan ludah.

"Nyokap gue sakit..."

Kepala Adyra langsung terangkat. Pupil matanya langsung menangkap wajah Bara yang terlihat sangat kacau. Seharusnya Adyra menyadari sejak tadi. Bara terlihat pucat dengan sedikit lingkaran gelap di sekitar matanya.

"Selama ini, gue selalu nyusahin dia. Gue nggak pernah jadi anak yang bisa membanggakan dia." Bara menundukkan pandangan, "Semarah-marahnya gue, sampai kapanpun gue nggak bisa benci sama nyokap gue sendiri. Gue sayang sama dia, Ra."

Bibir Bara bergetar, "Mama--dia... sakit karena gue." Bara terengah-engah. "Kalau aja gue nurutin apa yang dia mau... Kalau aja gue nggak ngebantah... Dan kalau aja gue nggak cari masalah, semuanya nggak akan berakhir kayak gini. Asma nyokap gue nggak akan kambuh dan dia nggak akan masuk rumah sakit..."

Kepalan tangan Bara terlihat lebih kuat dari sebelumnya. Adyra seolah larut ke dalam sebuah cerita yang didengarnya. Gadis itu sangat perasa. Dia pernah ada di posisi Bara. Dia sangat menyayangi ibunya, hingga dia tak mampu menghitung seberapa sering Adyra merindukan mendiang Mama.

Tangan Adyra terulur secara perlahan. Lalu memosisikan telapak tangannya di atas telapak tangan Bara yang terkepal kuat. Adyra menggenggam tangan Bara, menyalurkan sedikit kekuatan yang dia punya di sana. Mata Bara terpejam, meresapi sensasi hangat tangan Adyra yang menyapu kulitnya yang terasa dingin.

"Nggak akan terjadi apa-apa. Lo harus percaya kalo nyokap lo akan baik-baik aja."

•••••

"Boleh.... gue ketemu sama Adyra?"

Andra mengangkat kepala, menatap Dimas tepat di manik matanya. "Lo bilang apa tadi?"

Andra mendengus sambil menghampiri Dimas di atas ranjangnya. "Kalo ngomong yang jelas, dong. Jangan bisik-bisik!"

Dimas mengangkat sudut bibirnya. "Enggak, kok. Gue nggak bilang apa-apa. Gue cuma butuh istirahat."

Alis kanan Andra terangkat. "Oh, oke." Andra mengambil hoodie yang dia sampirkan di sebuah kursi. "Gue juga mau pulang. Disuruh nyokap buat ngambil makanan bakal gue ama lo. Lo juga udah lama nggak ngerasain masakan nyokap gue, kan."

"Nggak usah repot-repot. Gue bisa makan makanan rumah sakit, kok."

Andra menipiskan bibir. "Udahlah, Dim! Selama ini lo juga udah sering ngerepotin gue. Jadi nggak usah tanggung-tanggung, ngerepotin guenya!"

Dimas tersenyum kecut, "Sialan lo."

Andra tertawa sambil memakai hoodie dan mengecek sebentar ponselnya sebelum dia masukkan ke dalam saku celana. "Gue cabut dulu. Istirahat lo, sana! Awas lo kalo kabur-kaburan lagi! Gue pasung lo sekalian!"

Dimas terkekeh.

"Bye!"

"Hm" Dimas mengangkat tangan membalas lambaian Andra, dengan wajah yang terlihat sumringah. Namun setelah Andra menghilang dari pandangannya, Dimas mengembalikan air mukanya sama seperti sebelum Andra memasuki ruangannya.

••••

Adyra mengeringkan rambut setelah keluar dari kamar mandi. Gadis itu duduk di meja rias, sambil memandangi pantulan wajahnya sendiri.

Saat tangannya masih sibuk menepuk-nepuk kepala dengan handuk, tiba-tiba gerakannya terhenti. Adyra mengembuskan napas panjang. Apa sih, yang lo pikirin, Ra? Yang ada di sekeliling lo itu banyak, bukan cuma dia. Dan yang sering lo ajak ke kafe itu juga banyak, bukan cuma dia doang!

Ketika ponselnya berkedip, Adyra menarik tangan, lalu meletakkan handuk itu di atas kedua pahanya. Adyra membuka sebuah pesan dari nomor yang tak dikenal.

From: +6285322xxxx

Beneran jadi jengukin nyokap gue, kan? Lo udah janji, loh. Gue jemput 10 menit lagi.

Adyra mengetik balasan.

Jadi, kok. Nggak usah jemput tapi. Share location aja di mana rumah sakitnya.

From: +6285322xxxx

Kok gitu? Pokoknya gue jemput!

Adyra membalas lagi.

Kalo lo jemput, gue batalin!

Adyra langsung menaruh ponsel dan melanjutkan kegiatannya mengeringkan rambut dengan handuk. Selang beberapa menit, ponselnya berkedip lagi.

From: +6285322xxxx

Haduh... Yaudah, iya! Terserah nyonya:)

Adyra tersenyum singkat kemudian meletakkan ponselnya lagi. Tapi, belum sampai ponsel itu tergeletak di atas meja, Adyra mengurungkan niat.

Gadis itu membuka aplikasi pesan kembali, menekan 'opsi' dan memilih 'simpan kontak'. Adyra mengetik nama "Bara" dengan lega di sana.

•••••

Adyra turun dari atas motor, sambil menyerahkan helm yang dia pakai. Gadis itu memutuskan untuk menggunakan ojek online sebagai transportasi. Dan saat ini, Adyra sudah sampai di rumah sakit yang sesuai dengan alamat yang dikirimkan Bara.

"Beneran alamatnya di sini?" Adyra kembali mengecek ponsel. "Bener kok, di sini. Tapi... kenapa harus di sini?"

"Adyra!"

Gadis itu menoleh dan langsung menemukan Bara yang tengah melambaikan tangan seraya menghampirinya.

"Jadi bener, di sini rumah sakitnya?" tanya Adyra.

"Iya bener. Emang kenapa? Lo kelihatan bingung gitu."

Adyra tersenyum sekenanya sambil menggelengkan kepala. "Enggak, nggak ada apa-apa."

•••••

Bara berjalan menyusuri koridor rumah sakit, dengan Adyra yang di belakang mengikutinya.

Koridor ini sangat familiar bagi Adyra. Gadis itu mengedarkan pandangan, hingga tatapannya berhenti pada satu titik yaitu; salah satu pintu kamar rumah sakit.

Adyra memandangi pintu itu terus-menerus. Seolah ada sesuatu dalam dirinya yang membuat Adyra ingin memasuki ruangan itu.

"Ra? Kok diam aja? Ayo masuk!"

Bara menoleh padanya, seraya membuka sebuah pintu yang berada tepat di depan ruangan yang sejak tadi menarik perhatian Adyra.

Gadis itu mengangguk, kemudian mengikuti langkah Bara memasuki ruangan tersebut.

Selang beberapa detik, pintu itu terbuka. Menampilkan seorang lelaki yang mengenakan pakaian khas rumah sakit. Tangan kirinya mendorong infus yang digantungkan dan lengan kanannya terpasang gips.

Lelaki itu menatap sebentar sebuah ruangan di depannya. Rasanya, dia seperti mendengar suara seseorang. Namun nyatanya tidak ada siapa-siapa.

"Mungkin perasaan gue aja," katanya sambil lalu.

Adyra menutup pintu, dengan perlahan. Dari sekian banyaknya rumah sakit, kenapa harus di rumah sakit ini? Rumah sakit yang sama, dengan tempat di mana Dimas dirawat setelah insiden itu.

Adyra menghela napas. Satu hal yang dia yakini selama ini, jika tak ada yang namanya kebetulan.

•••••

Adyra menaruh bucket bunga di atas meja. Gadis itu ikut tersenyum saat melihat Alisa menarik kedua sudut bibirnya.

"Saya senang, Bara punya teman yang baik seperti kamu." Alisa menghela napas. "Selama ini, yang saya tahu Bara selalu punya teman yang nggak jelas. Dia suka keluyuran buat ketemu geng motornya yang aneh itu. Pacaran sama cewek ini, cewek itu. Tapi saat ketemu saya dia selalu sok-sok'an jadi anak rajin yang suka belajar." Wanita itu tersenyum kernyih.

"Mama... tahu?" Bara terlihat menegang.

"Mama selalu tahu semua tentang kamu." Alisa menepuk punggung tangan Bara yang berada di atas punggung tangannya. "Mama juga tahu, kalau sebengal-bengalnya kamu, kamu nggak akan pernah bisa nolak permintaan Mama. Jadi, Mama nyuruh kamu ikut les sana-sini, ikut kelas tambahan dan apapun itu. Mama lakuin ini semua buat kamu. Mama cuma nggak mau kamu menghabiskan waktu kamu sama pergaulan yang nggak jelas. Mama sayang sama kamu."

Bara menangis. Memang dia tak mengeluarkan air mata, namun pandangannya yang begitu lemah jelas terlihat dari air muka Bara. Cowok itu menunduk mencium punggung tangan Alisa. "Maafin Bara... Maaf kalau Bara selalu nyusahin Mama."

Bara merengkuh tubuh Alisa yang tengah berbaring lemah. Lelaki itu menyembunyikan wajahnya, menikmati hangatnya suhu tubuh Alisa yang sangat membuatnya nyaman.

Adyra tersenyum haru melihat interaksi mereka. Melihat Bara yang memeluk Alisa, membuat Adyra teringat pelukan mendiang Mamanya. Pelukan yang begitu hangat dan sangat menenangkan.

•••••

"Lo yakin nggak mau gue anter pulang?" Setelah membiarkan Adyra keluar, Bara menutup pintu dari luar.

"Nggak usah. Jagain aja nyokap lo. Jangan jadi anak bandel lagi," tutur Adyra sambil mengepalkan tangan membuat gestur seperti memukul kepala.

Cowok itu terkekeh. "Iya deh, Tante," sahut Bara hiperbolis.

"Kurang ajar!" Bola mata Adyra berputar.

Bara mengacak puncak kepala Adyra sambil tertawa. "Makasih, karena udah mau datang waktu gue butuhin lo." Bara menurunkan tangannya. "Selalu hubungin gue kapanpun saat lo butuh temen, dan gue bakal selalu datang buat lo."

Adyra tersenyum simpul. "Oke, kalo gitu gue duluan."

"Take care, ya! Gue masuk dulu."

Adyra merogoh tas selempangnya, berniat mengambil ponsel sambil berjalan. Namun, baru beberapa langkah Adyra berjalan, tubuh Adyra tersentak saat tak sengaja menabrak seseorang.

"Astaga!" Adyra terkejut ketika melihat seorang gadis kecil yang jatuh tersungkur di atas lantai. Adyra langsung menghampiri dan membantunya berdiri.

"Ya ampun, Dek! Kamu nggak papa? Maafin Kakak, ya? Kakak nggak tahu kamu lari dari arah sana... Ada yang sakit? Kepala kamu nggak papa?" Adyra terlihat khawatir, seraya mengecek dahi dan lutut gadis itu kalau-kalau ada yang berdarah atau terbentur. Namun, gadis itu tak menangis. Dia malah terlihat seperti orang bingung yang tengah mencari sesuatu.

Adyra mengernyit, "Adek cari apa?"

Tatapannya yang semula menyusuri sekitar lantai mulai mendongak menatap Adyra. "Kakak lihat kalung yang dibawa sama Caca?"

Adyra berjongkok agar menyamai tinggi bocah itu. "Jadi nama kamu Caca," kata Adyra sambil mengusap puncak kepala.

"Tadi Caca lari dari sana!" telunjuk Caca terangkat. "Caca bawa kalung buat hadiah ulang tahun Mama. Biar Mama cepat sembuh. Tapi setelah jatuh, kalungnya hilang..."

Caca terlihat murung dan hal itu membuat Adyra semakin merasa bersalah. Adyra mengangkat wajah Caca yang tertunduk agar mau menatapnya. "Caca jangan sedih, ya? Kakak bantuin cari kalungnya Caca, oke?"

Rayuan Adyra berhasil. Dia melihat Caca mengangguk bersemangat sambil tersenyum.

Adyra menunduk, sambil menajamkan pandangannya. Dia mencarinya di sepanjang koridor, siapa tahu kalungnya terlempar dan jatuh sedikit jauh dari tempatnya berdiri. Sementara Caca, dia menempelkan pipinya di lantai mencari dikolong-kolong kursi panjang maupun celah pintu bagian bawah. Ditengah-tengah Adyra berjalan, Adyra mendengar Caca berteriak.

"Kak, kalungnya ketemu!"

"Dimana?"

"Di situ," Caca menunjuk sebuah pintu. "Masuk ke kamar itu.."

Adyra mengikuti arah pandang Caca. Dia menatap lama pintu itu seolah menimang-nimang sesuatu.

"Kakak kok diam?" Caca menggoyangkan tangan Adyra. "Kakak nggak bisa ambil?"

Wajah bocah itu terlihat murung lagi. Adyra jadi bingung harus berbuat apa. Kalau ada orangnya nanti gue bilang apa?

Adyra mendengus. Mau bagaimanapun, itu salah Adyra. Kalau saja Adyra tak menabrak bocah itu sampai jatuh, kalung itu juga tidak akan masuk ke sana.

"Kakak ambilin buat Caca, oke?"

Bocah itu mengedip hingga nampak binar di matanya. Toh, cuma mau ambil kalung. Kalaupun ada orangnya, ya tinggal bilang yang sebenarnya. Gitu doang repot amat!

Adyra melangkahkan kakinya mendekat, dengan telapak tangan mengepal ancang-ancang mengetuk pintu. "Permisi, ada orang?"

Caca menempelkan kupingnya di pintu, mengikuti gerakan Adyra. Bocah itu mendongak menatap Adyra. "Caca nggak dengar apa-apa, Kak."

Adyra kembali mengetuk lagi, dan masih tak mendengar sahutan sama sekali. Gadis itupun memutuskan untuk membuka pintu. Ketika Adyra melongok, ruangan itu nampak sepi dan tak ada orang.

Adyra melirik Caca sebentar, " Kakak masuk, ya?" dan dibalas anggukan penuh keyakinan dari bocah itu.

Setelah Adyra benar-benar masuki ruangan itu, dia langsung mencari kalung yang dimaksud Caca. Tak berselang lama Adyra berhasil menemukannya karena benda itu tergeletak tak jauh dari kakinya.

"Siapa?"

Adyra langsung bergeming mendengar suara dari arah belakangnya. Gadis itu menelan saliva dan menyiapkan kalimat yang akan keluar dari bibirnya. Ketika semua sudah siap, Adyra membalikkan badan dan langsung menundukkan kepala, "Maaf, saya tadi sudah lancang memasuki kamar anda."

"Adyra..."

Gadis itu kaget. Bagaimana orang ini tahu namanya? Namun, kalau dipikir-pikir lagi, entah kenapa suara itu terdengar sangat familiar di telinga Adyra.

Adyra mengangkat kepala dan menemukan seorang lelaki berpakaian rumah sakit yang berdiri tepat di hadapannya.

Adyra menegang seketika. Apa yang dia lihat benar-benar nyata.

Tidak salah lagi.

Adyra hanya mematung menatapnya. Dan kalau tidak salah lihat, Adyra melihat lelaki itu menarik sudut bibirnya tersenyum ke arah Adyra.

"Kamu beneran Adyra, kan?" tanya Dimas dengan sorot mata yang sulit diartikan.

••••