webnovel

Part 43 : Mistrusted

Adyra meremas tangannya kuat-kuat. Bola matanya bergerak gelisah. Setelah kejadian tadi, dokter langsung datang setelah Kanya berinisiatif memanggil.

Mereka semua disuruh keluar, sementara dokter memeriksa keadaan Dimas. Perasaan macam apa yang tengah merengkuh Adyra saat ini? Khawatir, takut, maupun rasa bersalah, Adyra tak tahu pasti.

Adyra duduk di sebuah kursi, bersama dengan Andra yang berada di sampingnya sambil memeluk kepala Kanya.

"Kalo terjadi apa-apa gimana?" Kanya bertanya sambil mendongakkan kepala.

Andra menatap Kanya sebentar, lalu kembali membenamkan kepala adiknya itu dalam rengkuhannya. "Nggak akan terjadi apa-apa. Kamu tenang aja."

Nggak akan terjadi apa-apa.

Nggak akan terjadi apa-apa.

Kalimat itu berulang kali berputar di kepala Adyra. Memenuhi pendengarannya. Dan membuat batinnya berkali-kali juga menyuarakan kalimat yang sama.

Adyra mengatur napas, berusaha menenangkan dirinya. Hingga gadis itu tak sadar jika Andra terus memandanginya. Selalu menatapnya, sampai-sampai tak melewatkan sedikitpun ekspresi dari wajah Adyra.

Sampai saat pintu terbuka, secara spontan Adyra langsung berdiri dari posisi duduknya.

"Gimana keadaannya, Dok?"

Itu suara Kanya. Gadis itu langsung menyambar tidak sabaran.

"Keadaannya stabil. Dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Pasien juga sudah sadar sekarang." Dokter menjelaskan.

"Apa kita bisa lihat keadaan dia, Dok?" tanya Andra.

Setelah dokter mempersilahkan Andra, dia langsung memasuki ruangan diikuti Kanya di belakangnya.

Adyra juga ingin masuk. Telapak tangannya sudah menyentuh ganggang pintu berniat untuk membuka. Namun, gerakannya terhenti. Adyra memandang pintu itu sedikit lama bersamaan dengan kosongnya pikiran Adyra. Perlahan, Adyra semakin menurunkan tangannya menjauhi pintu.

"Kalau gue masuk... gue bakal ketemu dia."

****

Gadis itu menatap Dimas yang terbaring di atas ranjang dengan nanar. Merasakan ada seseorang, Dimas membuka matanya yang awalnya terpejam secara perlahan.

Dimas tertegun sesaat. Tatapan matanya tak bergerak sedikitpun dari gadis itu. Dia mengembuskan napas, kemudian tersenyum menyambut Kanya.

Ternyata cuma mimpi. Dimas pikir, tadi dia melihat Adyra didekatnya. Sambil mengajaknya berbicara. Namun, ternyata bukan. Dimas tersenyum, menertawakan dirinya sendiri.

"Kakak masih inget aku?"

Dimas tersentak dari lamunan.

"Siapa, ya?" Kanya terperangah. "Kamu... bidadari, bukan?" sahut Dimas dengan tatapan tak bersalah.

Ekspresi Kanya langsung berubah datar. Gadis itu menepuk pipi Dimas sebal. "Baru sadar juga udah ngeselin, ya!"

Dimas terkekeh pelan. "Orang sakit kok dipukul, sih."

Kanya mendengus, "Bodo amat."

"Yakin bodo amat, nih?" Dimas menggodanya.

"Tau ah."

Perut Dimas semakin geli hingga kekehannya tak henti-henti keluar dari bibirnya yang terlihat pucat pasi.

Kanya membuang muka. Mendadak keki banget rasanya. "Nyesel aku, doa'in Kak Dimas biar cepet sadar."

Dimas hanya membalasnya dengan segaris senyum menawan.

Kemudian, tatapannya berpindah ke sebelah kanan. Dia melihat sosok lelaki bertubuh jakung yang kini tengah menatapnya sayu.

"Lo... nggak papa?"

Andra mendengus. "Harusnya gue yang nanya kayak gitu," sahut Andra dengan wajah serius.

Mau tak mau, bola mata Dimas langsung bergerak menatap Andra. Cowok itu terlihat memberi jeda. Hingga di beberapa detik selanjutnya Dimas membuka suara.

"Gue nggak papa."

"Nggak papa apanya! Tangan patah kayak gitu masih bilang nggak kenapa-kenapa?" Kanya menyahut tak suka.

"Emang nggak papa, kok."

"Kak Dimas tuh--" Kanya kehabisan kata-kata. Gadis itu memutar bola matanya kesal. "Tau lah! Capek ngomongnya."

Kanya mengambil tempat duduk di samping Dimas. Tanpa mau memandangnya, sambil meminum segelas air di atas meja.

Andra menghela napas. "Kenapa sih, lo ngelakuin ini semua?"

"Gimana kalo lo mati?" Suara Andra merendah.

"Kenyataannya gue masih hidup."

Andra mengacak rambutnya frustasi. Dimas tak tahu seberapa bersalahnya Andra saat melihatnya terbaring lemah di pangkuannya setelah kejadian itu.

Kening yang berdarah dan mata yang hampir terpejam rapat-rapat.

Satu alis Dimas terangkat melihat Andra yang terlihat lelah meladeninya berbicara. Cowok itu terkekeh pelan. "Ngelihat lo kayak gitu, gue jadi yakin kalo lo emang baik-baik aja."

Dimas tersenyum. "Syukur, deh. Kalo lo nggak kenapa-napa. Seenggaknya, apa yang lakuin barusan nggak sia-sia."

Senyum yang tadi terlihat kini berangsur-angsur menghilang. Cowok itu bergeming sejenak, sebelum menggantikannya dengan seringai.

Setidaknya... untuk saat ini.

****

Adyra menjatuhkan tubuhnya di atas kasur dengan posisi terlentang.

Gadis itu melempar tas selempang dan sepasang sepatu yang melekat di kedua kaki dengan asal-asalan.

Adyra memutuskan untuk langsung pulang ke rumah tanpa mengabari Andra. Sengaja, biar Andra tidak banyak tanya. Adyra sudah pusing seharian ini. Ditambah lagi dengan kejadian tadi.

Gadis itu mengirim sebuah pesan untuk Andra. Memberitahunya kalau Adyra pulang lebih dulu dengan alibi ada urusan keluarga.

Setelah pesan terkirim, Adyra berniat mematikan ponsel. Namun, sebuah riwayat pesan tiba-tiba tertangkap bola matanya. Sebuah pesan singkat dari nomor tak dikenal yang memanggilnya dengan sebutan Rara.

Adyra mendengus malas. Gadis itu mengacak rambutnya dan berniat membanting ponsel saat dia mengangkat tangannya. Namun, Adyra sadar. Kalau beli hape tak semudah membeli cabe. Yang sekali beli langsung bisa kiloan.

Yah, namanya juga sayang. Hape kesenggol aja dibelai-belai.

Adyra bangkit dari posisi telentang. Tatapannya terarah pada beberapa tangkai bunga mawar yang sudah dia pindah dalam sebuah vas transparan

Adyra mengambil beberapa tangkai, sambil memandanginya penuh perasaan.

Adyra jadi teringat mawar pertama yang Andra berikan untuknya. Mawar yang dia berikan ditengah-tengah kerumunan. Hingga membuat Adyra jadi ditembaki berbagai pertanyaan yang sama dari beberapa orang.

Adyra tidak pernah menyukai mawar. Waktu kecil, jari Adyra pernah berdarah karena tak sengaja tertusuk duri saat Adyra ingin memetiknya. Adyra menangis waktu itu. Dari dulu, Adyra tak pernah menyukai apapun yang membuatnya terluka. Namun, sejak Adyra memberinya setangkai mawar waktu itu, Adyra jadi sangat menyukai mawar sampai sekarang.

Adyra menghela napas sejenak, sambil terus memandangi beberapa tangkai mawar di tangannya dengan senyuman.

"Apapun yang terjadi, gue nggak akan biarin lo pergi dari kehidupan gue, Andra."

****

Andra membuka notifikasi beberapa detik setelah layarnya berkedip.

Adyra:

Maaf, aku pulang nggak ngasih tahu dulu. Ada keperluan mendadak soalnya. Jadi nggak sempet bilang. Titip salam aja sama temen kamu, semoga cepet sembuh, ya:)

Andra menurunkan ponsel, lalu memindahkan tatapannya pada Kanya dan Dimas yang tengah sibuk bercengkerama. Sesekali, Kanya terlihat menyuapi Dimas dengan beberapa potong apel dan jeruk yang tadi dibelinya.

Andra menghampiri Dimas, hingga membuat perhatian mereka teralih padanya.

"Gimana, Kak?" tanya Kanya sambil menaruh pisau di atas meja.

"Nggak. " Andra menarik kursi dan mendudukinya. "Tadi dapet message kalau dia ada keperluan mendadak katanya."

"Oh," sahut Kanya sekenanya sambil memberikan Dimas segelas air.

"Oh iya, Dim."

Dimas berdehem setelah Kanya meletakkan gelas berisi air yang sudah kosong sehabis dia minum.

"Lo dapet salam dari cewek gue, Adyra. Cepet sembuh katanya."

Dimas langsung menoleh ke arah Andra, setelah mendengar nama Adyra. Andra melihat keterkejutan dari mimik wajah Dimas. Cowok itu hanya diam sambil melempar tatapannya ke bawah. Dimas sedikit memperbaiki posisi duduknya. Setelah cukup lama cowok itu diam, bibirnya bergerak mengulas senyuman.

"Makasih."

Andra ikut tersenyum beberapa saat. Namun, di detik berikutnya raut wajahnya sudah kembali seperti semula. Senyum yang tadi terlihat di wajah Andra sudah hilang entah ke mana.

Kenapa gue ngerasa ada yang aneh sama kalian berdua. Atau, cuma perasaan gue aja?

******