webnovel

Part 42 : Consciousness

Andra menyisir rambutnya ke belakang. Sambil membawa beberapa makanan dalam sebuah kantong plastik berukuran sedang. Cowok itu berjalan melewati koridor rumah sakit dengan kakinya yang panjang.

Usai pekan Ujian Akhir Semester, Andra jadi bebas keluyuran ke luar rumah pagi-pagi seperti ini. Karena jadwal libur yang lumayan panjang.

Selama berjalan melewati koridor, Andra tiba-tiba teringat Adyra. Sejak kemarin malam Adyra belum menghubunginya. Andra pikir, dia masih shock karena kejadian kemarin. Jadi, Andra membiarkannya.

Cowok itu mengeluarkan ponsel dari saku jaketnya, lalu mencoba menghubungi Adyra. Andra menempelkan ponsel di antara telinga dan pipinya, karena tangannya sibuk dia gunakan untuk membuka pintu ruangan.

Setelah Andra membuka pintu, langkahnya terhenti saat melihat seseorang.

"Hai."

Andra menarik sudut bibir, "Kamu di sini?"

Adyra berjalan mendekati Andra dan mengambil alih kantong plastik itu dari tangan Andra. Andra menurunkan ponselnya lalu menutup pintu. Kemudian berjalan memasuki ruangan.

"Kenapa kamu bisa ada di sini? Pagi-pagi lagi," kata Andra sambil membantu Adyra mengeluarkan beberapa buah segar dari kantong plastik.

"Aku tahu kamu bakal ke sini." Adyra menuangkan susu kemasan ke dalam gelas untuk Andra. "Jadi, aku datang ke sini buat nemenin kamu."

Andra menerima gelas dari Adyra. "Makasih."

Adyra menatap Andra yang tengah meneguk tandas susunya dari gelas yang diberikan Adyra.

"Buat apa kamu bawa makanan sebanyak ini?" tanyanya sambil menunjuk rentetan makanan di atas meja dengan pandangan.

"Buat nungguin dia, lah. Apalagi?" sahut Andra sambil mengangkat satu alisnya jenaka.

Adyra ikut tersenyum sambil mengambil tempat duduk di samping Andra.

"Kata dokter lengan kanannya patah," kata Andra membuat kepala Adyra langsung terangkat.

"Tapi, untungnya nggak ada luka yang serius karena benturan waktu kecelakaan. Dan semoga aja dia cepat sadar."

Adyra meremas tangannya sendiri. Sambil menatap lelaki yang berbaring itu disela-sela keheningan.

Andra menoleh, setelah berhenti mengunyah apelnya. "Dia nggak selemah itu. Setahu aku, Dimas itu orang yang kuat. Dia nggak akan kalah sama keadaan kayak gini."

Adyra tersenyum singkat, lalu menatap Dimas yang masih berbaring di hadapannya. Andra menelan apel dari kunyahannya, sambil mengamati wajah Adyra yang terlihat dari samping. Gadis itu memang nampak tenang. Namun yang Andra heran, kenapa tangannya bergetar?

Adyra terkejut saat Andra menggapai telapak tangannya. Telapak tangan Adyra yang selalu hangat, kini terasa begitu dingin saat kulit Andra menyentuhnya.

"Kamu sakit?"

••••••

Adyra mundur beberapa langkah. Gadis itu menatap Dimas dengan perasaan yang masih terombang-ambing. Ibarat sebuah perahu di tengah lautan yang diterpa badai besar.

Adyra melihat tangan itu tergenggam. "Kak, kenapa bisa kayak gini, sih? Aku kangen..."

Adyra mengembuskan napas. "Kemana Kak Dimas yang selama ini bikin hari-hari aku selalu terasa menyenangkan?"

Andra--yang berada tepat di samping Adyra, hanya bisa menatap interaksi monolog di depannya itu dengan wajah tanpa ekspresi.

"Aku pengen balik ke masa-masa, di mana Kak Dimas selalu ada buat aku. Kak Dimas yang nyubit bibir aku pas lagi monyong-monyong waktu ngambek, bawain aku permen pas aku nangis, dan yang selalu genggam tangan aku biar aku nggak ketakutan lagi."

Adyra terperangah. Gadis itu semakin meremas ujung bajunya seolah menyalurkan seluruh emosi yang menyerangnya bertubi-tubi.

"Aku tahu, Kak Dimas emang nyebelin. Tapi--aku sayang sama Kakak."

Napas Adyra tercekat.

"Buka mata Kakak, biar aku nggak kesepian lagi..."

Adyra menghela napas. Dadanya terasa begitu sesak. Dengan berat hati, Adyra mengulurkan tangannya untuk merengkuh tubuh Kanya yang seukuran dengan tubuhnya. Gadis itu menitihkan air mata setelah menekankan kalimat terakhir untuk seseorang yang tengah terbaring di hadapannya.

Kanya hanya diam, sambil menerima pelukan Adyra.

"Sejak kecil, mereka emang dekat."

Andra bicara setelah Kanya merasa sedikit puas bermonolog dengan Dimas. Sekarang, gadis itu tengah menjatuhkan kepalanya di atas ranjang sambil menghadap wajah Dimas. Sudah sejak tadi seperti itu sampai dia tertidur pulas.

Andra mendengus pendek, "Jadi wajar aja kalo Kanya emang bersikap kayak gitu sama Dimas."

Adyra menarik sudut bibir, "Kanya kelihatan sayang banget sama Dimas."

Andra mengangguk. "Iya. Dari dulu juga gitu. Seperti rasa sayang dia sama keluarganya sendiri."

Adyra membatin. Oh, ya? Bahkan Adyra bisa melihat maksud lain di balik embel-embel 'sayang' yang barusan disebut Kanya dalam kalimatnya. Terasa berbeda dan sangat kentara.

"Aku ke toilet dulu, ya?" kata Andra. "Mendadak sakit perut karena kebanyakan makan tadi."

Adyra mengangguk menyetujui. Setelah itu menatap punggung Andra yang menghilang di balik pintu ruangan.

Adyra berjalan menghampiri Kanya yang tertidur sangat nyenyak, sambil menatapnya. Gadis itu bahkan menaruh telapak tangan kirinya di atas lengan kanan Dimas yang tertekuk di atas perut.

Tatapan Adyra bergerak, berganti menatap Dimas yang masih terpejam.

"Sebenarnya, apa sih yang lo lakuin selama ini?" Adyra bergumam dalam hati.

Adyra tersenyum kecut. "Gue pikir, cuma gue selama ini yang dapat perlakuan special. Ternyata enggak. Kenapa semua yang lo lakuin ke Kanya, sama persis seperti apa yang lo lakuin ke gue dulu?"

"Kasih permen biar gue berhenti nangis, genggam tangan gue biar gue berhenti ketakutan karena percaya kalo ada lo yang selalu di samping gue."

Adyra menghela napas dalam-dalam. Tubuhnya mendadak lemas. "Jangan pura-pura tidur!" Adyra melirih.

"Gue tahu lo denger suara gue, kan?" Adyra menelan saliva. "Buktiin sama gue kalo yang ngirim pesan ke gue kemarin itu lo!"

"Lo pikir gue nggak tahu?" Adyra berbisik. "Gue tahu, cuma lo yang suka panggil gue dengan nama panggilan itu."

Dimas masih diam tak bergerak. Membuat Adyra menggemelatukkan gigi. Tangannya mengepal penuh emosi. "Kalo lo masih diam, gue nggak bakal maafin lo lagi. Dan elo, akan jadi orang pertama yang gue benci."

Dimas masih tak menunjukkan gerakan apapun, sampai saat ini.

Adyra tersenyum kernyih. "Harusnya, gue nggak perlu percaya sama lo sejak dulu."

"Lo tahu? Jatuh cinta sama lo adalah sebuah penyesalam buat gue. Kalo aja gue sedikit lebih cepet ketemu Andra daripada gue ketemu elo, semua nggak akan kayak gini..."

Mata Adyra berkaca-kaca. Namun, dia tidak ingin menjatuhkan air matanya untuk seseorang yang bahkan tak memerdulikannya sama sekali. Gadis itu menyeka bagian bawah matanya dengan kasar.

"Oke, kalo itu yang lo mau."

Adyra memalingkan wajah. Masih dengan telapak tangan yang terkepal, gadis itu membalikkan badan. Lalu berniat melangkahkan kakinya untuk pergi dari hadapan Dimas sekarang.

Adyra terhenti sejenak, seolah ada sesuatu yang menahannya. Menahannya cukup kuat hingga kakinya tak bisa bergerak. Adyra memejamkan mata, sambil menebar keyakinan yang kuat untuk dirinya. Beberapa saat kemudian, saat kelopak matanya terbuka, Adyra mulai melanjutkan langkahnya.

Hingga suara mesin elektromagnetik melewati pendengarannya, bersamaan dengan telapak tangan dingin yang mencekal pergelangan tangannya.

Adyra terperangah. Detik waktu Adyra seolah berhenti seketika. Tubuhnya tak bergerak. Perlahan, saat Adyra berbalik, dia melihat Dimas menggenggam pergelangan tangannya dengan lemah, namun masih dengan mata terpejam dan suara mesin elektromagnetik yang berdengung cepat di telinga.

Kanya langsung terbangun, bersamaan dengan sosok Andra yang keluar dari balik pintu.

Andra menghampiri Adyra dengan tatapan penuh tanya. Dia jelas melihat Dimas memegang pergelangan tangan Adyra dengan dada yang naik turun.

"Dimas udah sadar?"

****