webnovel

Part 41 : Cemas (b)

"Tangan Mbak sudah selesai diobati. Saya tinggal dulu, permisi."

Andra berjalan mendekati Adyra, tanpa lupa mengucap terima kasih kepada suster yang--sudah mengobati dirinya dan Adyra--saat lewat di depannya.

Andra mengambil tempat duduk di atas ranjang, tepat di samping Adyra yang tengah terdiam. Tangannya terulur menyentuh telapak tangan Adyra yang terbalut perban.

"Masih sakit?" tanya Andra.

Adyra tersadar dari lamunan. Tatapannya jatuh pada telapak tangannya yang tengah dipegang oleh seseorang. Saat Adyra mengangkat pandangan dan menemukan Andra, gadis itu langsung berhambur memeluknya.

Andra merasakan kekhawatiran yang cukup dalam saat merengkuh tubuh Adyra. Gadis itu terlalu erat memeluknya. Andra menepuk bahu Adyra perlahan menenangkan.

"Aku baik-baik aja, kok." kata Andra masih dalam pelukan Adyra.

"Aku takut," lirih Adyra. Gadis itu semakin mengeratkan pelukannya.

Adyra merasa ada sesuatu yang mengganjal. Apa lagi yang Adyra takutkan? Andra sudah ada di depannya. Dengan keadaan baik-baik saja. Walaupun di sekitar pelipisnya terlihat jelas beberapa jejak luka. Harusnya Adyra merasa lega, bukan?

"Jangan takut. Aku di sini." Andra mengusap bahu Adyra. "Kalau bukan karena seseorang, mungkin aku nggak ada di sini sekarang."

Adyra mengernyit, "Siapa maksud kamu?" Sambil melepas pelukan mereka.

"Orang yang kamu lihat di ruangan tadi."

Adyra terperangah. Lalu memandang Andra yang tak lagi memandangnya dengan tatapan penuh tanya.

"Udah sekian lamanya dia menghilang, sekalinya muncul malah buat orang jantungan," kata Andra sambil terkekeh.

Tangan Adyra yang tadinya ada di bahu Andra, kini telah meluruh perlahan-lahan. Tatapannya mendadak kosong saat menatap balik Andra. "Kamu kenal sama dia?"

Andra menghela napas sejenak, lalu menaruh tangannya di lengan Adyra, kemudian menampilkan senyumnya.

"Iya," Andra mengangguk. "Kita cukup dekat."

Jantung Adyra seolah lolos dari tempatnya.

***

Apa yang terlihat di hadapan Adyra, bukan lagi sebuah mimpi seperti bayangan Adyra. Kini Adyra seolah tertampar keras oleh kenyataan yang tengah dia lalui sekarang.

"Dari kecil, kita udah main bareng. Bertiga sama Kanya yang masih suka nangis karena bonekanya dilempar sama Dimas ke genteng " Andra terkekeh geli.

"Dimas itu, udah lebih dari sekedar temen main buat aku. TK sampai SD kita barengan. Waktu SD, kalo ada yang gangguin aku, dia pasti maju paling depan buat belain aku. Walau akhirnya dia harus di panggil ke kantor karena udah bikin ngompol anak orang sampai nangis."

Adyra memejamkan mata.

"Sampai waktu SMP, dia pindah rumah. Dan kita lost contact. Tapi, beberapa tahun kemudian, aku ketemu dia lagi di bangku SMA. kita nggak satu sekolah sih, tapi masih sempet ngeluangin waktu buat main bareng."

"Selama ini orang yang selalu ada buat aku, waktu aku mengalami masa-masa sulit sama Mama, adalah Dimas." Andra tersenyum menerawang.

"Dia selalu berhasil bikin aku ngelupain masalah aku walau cuma buat beberapa jam. Entah itu ngajarin aku boxing, ngajak berenang, arung jeram sampai panjat tebing pun udah pernah kita lakuin."

Adyra mengeratkan pegangannya di pinggir ranjang masih dengan mata terpejam.

"Dimas udah seperti saudara buat aku, Ra. Sampai saat di mana dia lulus SMA, dia ngilang lagi. Nggak pernah ada kabar juga. Aku bahkan nggak tahu setelah dia lulus dia jadi mahasiswa, kerja kantoran, atau malah jadi pengangguran."

Andra terkekeh pelan, "Gue heran kenapa dia demen banget ilang-ilangan."

"Sekalinya muncul, kenapa dia harus nongolin batang hidungnya dengan keadaan yang menyedihkan?"

Benteng yang berusaha Adyra bangun kuat-kuat sudah runtuh tak tersisa. Air matanya berjatuhan secara berkala. Dengan menatap nanar seseorang yang berbaring di sana, dengan mata terpejam dan terjebak dalam keheningan, membuat Adyra semakin merasakan kesesakan.

"Ini bukan mimpi. Dimas emang ada di sini sekarang."

Kenapa dunia sesempit ini?

Adyra membiarkan batinnya mengatakan nama terlarang. Sekaligus membiarkan dirinya hanyut dalam hening yang menyakitkan.

Tanpa Adyra sadari, seseorang memerhatikannya dari luar ruangan. Dia melihat Adyra menangis dan bahkan melihat Adyra terjatuh karena tak kuat menahan diri.

Andra hanya bisa diam melihat apa yang tengah terjadi di hadapannya saat ini.

Walau ada banyak pertanyaan yang membuncah memenuhi isi kepala.

***

"Andra?"

Cowok itu tersenyum setelah Adyra membuka mata. Gadis itu membalas senyumnya. Usapan hangat telapak tangan Andra di kepala Adyra membuat gadis itu terbangun dari tidur lelapnya. Adyra bahkan tak tahu kenapa dia bisa tertidur di sana.

Menjatuhkan kepala samping tubuh Dimas dengan wajah Adyra yang menghadapnya.

"Mau aku anterin pulang?"

Adyra menegakkan tubuhnya, melihat wajah Dimas sebentar kemudian balik menatap Andra. "Nggak papa. Aku di sini aja nemenin kamu," katanya sambil tersenyum.

Andra menarik bibir, kemudian membirkan tangannya memindahkan sebuah kursi agar berada di samping kursi Adyra. "Nggak usah," sahut Andra sambil melepas tangan Adyra dari Dimas.

Gadis itu tersentak. Dia bahkan baru menyadari kalau telapak tangannya berada di sana. Andra masih tersenyum. Semakin lekat menatap Adyra dan mulai menggenggam tangannya menggantikan jejak dari tangan Dimas.

"Jangan khawatir. Aku bisa jagain dia sendiri, kok."

Adyra merasa ada sesuatu yang mengganjal. Hatinya seolah berat untuk meninggalkan. Entah meninggalkan Andra sebentar, atau meninggalkan Dimas sendirian.

"Aku anterin kamu pulang, ya?"

Adyra mengangguk. Melihat Andra yang tersenyum sambil menatapnya lembut, membuat Adyra tak memiliki alasan yang kuat untuk menolak.

Adyra bangkit dari tempat duduk, memandang Dimas sebentar, kemudian berjalan untuk keluar dari ruangan.

Andra menatap punggung Adyra dari belakang seraya berangsur-angsur memudarkan senyuman.

****

Setelah turun dari motor Andra, Adyra langsung masuk ke dalam rumahnya. Udara siang seperti ini membuat Adyra kepanasan. Jadi, gadis itu berpikir untuk langsung mandi dan merendam badan.

Adyra membuka lemari, berniat mengambil beberapa potong baju yang akan dia pakai. Saat dia berniat menutup pintu lemari, tatapannya terpaku pada sesuatu yang sangat familiar.

Di bawah gantungan baju, Adyra melihat sebuah box berukuran sedang. Tangan Adyra bergerak dengan sendirinya. Menyentuh permukaan box lalu mengambilnya. Gadis itu terduduk di samping lemari dengan kepala tertunduk menatap sebuah benda di tangannya.

Adyra mengeluarkan sebuah buku berwarna cokelat kayu. Dia menatap buku itu cukup lama, kemudian tangannya bergerak berniat membuka lembar buku itu. Namun gerakannya terhenti, saat melihat ponselnya berkedip. Adyra membuka notifikasi dari nomor tak dikenal.

Apa kabar? Rara cantik.

Jantung Adyra berdegup kencang. Ponsel yang tadi dia genggam sudah jatuh di lantai. Adyra tahu betul, siapa orang yang suka memanggilnya dengan gaya seperti itu.

Hanya satu orang.

****